Menambah Laju MRT di 16 Kilometer
Delapan bulan silam, melajunya si roda besi MRT mendapatkan sambutan yang luar biasa. Warga berlomba-lomba menjajal moda transportasi modern ini. Kini, tersisa pekerjaan rumah lainnya untuk mengoptimalkan laju MRT.
Delapan bulan silam, melajunya si roda besi MRT mendapatkan sambutan yang luar biasa. Warga Jakarta, Bodetabek, hingga sejumlah daerah lain berlomba-lomba menjajal moda transportasi modern ini. Kini, euforia itu mulai reda, kecuali bagi mereka yang baru sempat singgah di Jakarta. Tersisa pekerjaan rumah untuk mengoptimalkan angkutan kebanggaan Jakarta ini.
Euforia warga menjajal kereta moda raya terpadu (MRT) barangkali menjadi jawaban atas kerinduan akan moda transportasi umum yang modern. Orang mulai jenuh dengan kemacetan lalu lintas. Di sisi lain, wajah angkutan umum beberapa tahun silam belum sebaik kini.
Tak heran, pembangunan jalur MRT rute Lebak Bulus-Bundaran Hotel Indonesia menyita banyak perhatian orang. Setelah menunggu sekitar 24 tahun, warga Jakarta akhirnya bisa menyaksikan dimulainya pembangunan proyek besar mass rapid transit, Kamis (10/10/2013).
Meskipun terjadi penutupan atau penyempitan jalan, proses konstruksi ini membangun harapan warga akan adanya kereta kelas dunia di Ibu Kota. Pembuatan terowongan untuk jalur dan stasiun MRT pun mengundang decak kagum. Begitupun saat kereta baru yang didatangkan dari Jepang ke Jakarta.
Presiden Joko Widodo meresmikan beroperasinya MRT pada Minggu (24/3/2019) pagi. Dari situ, cerita MRT Jakarta memasuki babak baru.
Perluasan rute
Dengan jalur yang baru 16 kilometer, MRT masih amat terbatas mengakomodasi perjalanan banyak warga. Pelayanan baru terbatas di rute Lebak Bulus-Bundaran Hotel Indonesia.
Selama 1-27 Oktober, tercatat 41.249 hingga 109.792 penumpang MRT per hari. Jumlah ini jauh di bawah pengguna bus Transjakarta yang berkisar 900.000 orang sehari.
Berbeda dari bus Transjakarta dengan jejaring JakLingko-nya yang memiliki banyak rute, MRT amat bergantung pada kecepatan pembangunan prasarana jalan rel baru.
Dalam dua kali pertemuan kelas Fellowship Jurnalis MRT Jakarta 2019, Direktur Operasi dan Pemeliharaan PT MRT Jakarta Muhammad Effendi serta Direktur Keuangan dan Manajemen Korporasi PT MRT Jakarta Tuhiyat menyampaikan rencana jangka panjang menambah jalur MRT hingga total 240 kilometer. Jangkauan MRT diproyeksikan hingga daerah di sekitar Jakarta.
Yang sudah di depan mata, rel MRT bakal diperpanjang sejauh 9 kilometer, dari Bundaran HI hingga Kota. Penentuan titik akhir MRT utara-selatan sampai Ancol atau Kampung Bandan masih dalam pembicaraan dengan pihak lain selaku pemilik lahan.
Sama seperti pembangunan jalur Lebak Bulus-Bundaran HI, rute fase 2 Bundaran HI-Ancol juga memakai skema pembiayaan JICA selaku pemberi pinjaman lunak untuk pembangunan prasarana MRT.
”Dengan asumsi pembangunan saat ini, fase 2 membutuhkan Rp 22,5 triliun hingga ke Kota dan bertambah Rp 4 triliun-Rp 5 triliun untuk sampai ke Ancol,” kata Tuhiyat, Selasa (19/11/2019).
Biaya pembangunan MRT fase 2 ini lebih besar ketimbang fase 1 karena seluruh jalur dibangun di bawah tanah. Biaya pembangunan infrastruktur dan kereta MRT Lebak Bulus-Bundaran HI sekitar Rp 16 triliun. Sebagian jalur kereta fase 1 dibangun berupa jalur layang dan sebagian bawah tanah.
Selain itu, jalur barat-timur juga tengah disiapkan. Dalam rencana besar, jalur ini menghubungkan tiga provinsi, yakni DKI Jakarta, Banten (Tangerang), dan Jawa Barat (Bekasi). Akan tetapi, ujar Tuhiyat, untuk sementara jalur yang akan dibangun adalah jalur yang ada di dalam Provinsi DKI, yakni Ujung Menteng-Kembangan.
Apabila jalur Lebak Bulus-Ancol dan Ujung Menteng-Kembangan terwujud, mobilitas warga yang terakomodasi dengan MRT bakal lebih luas. Pengguna yang terangkut juga akan lebih besar. Bisnis kereta api di luar penjualan tiket pun lebih mudah dikembangkan.
Dalam jajak pendapat Kompas, 1-2 April 2019, sejumlah 28,4 persen dari 500 responden menyebutkan rute yang masih sedikit sebagai kekurangan utama MRT.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang menggarisbawahi kebutuhan untuk memindahkan pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum seperti MRT. ”Indikator kesuksesan MRT adalah perpindahan moda dari kendaraan pribadi ke MRT, bukan perpindahan antarmoda angkutan umum. MRT diharapkan dapat membantu target pemerintah 60 persen pengguna transportasi publik pada tahun 2029,” katanya.
Tiket yang terjangkau
Dari pengalaman operator kereta api mancanegara, tiket yang terjangkau juga menjadi salah satu penarik orang memakai angkutan umum.
Société Nationale des Chemins de fer Français (SNCF) atau Perusahaan Nasional Kereta Perancis, menerapkan tarif berlangganan untuk tiket kereta komuter.
Dalam wawancara dengan Kompas, Juni 2013, Direction Exploitation Departement Soutien Operationnel Proximities Transilien—yang merupakan anak perusahaan SNCF—Jean-Louis Bars mengatakan, pekerja komuter dan warga bisa mengakses tiket bulanan seharga 62,9 euro per bulan.
Tiket berlaku di semua jalur KRL dalam kota (zona 1 dan 2) serta di bus kota yang dikelola SNCF. Tidak ada pembatasan jumlah perjalanan dalam sebulan. Harga tiket berlangganan akan bertambah jika mobilitas pemilik tiket berada di daerah sekitar Paris atau zona 3 dan 4. Harga tiket berlangganan bulanan termahal mencapai 111,5 euro.
Biaya transportasi hanya mengambil di bawah 3 persen dari rata-rata pendapatan warga Paris yang berkisar 1.800-2.000 euro per bulan.
Tarif berlangganan transportasi publik ini akan lebih murah jika pemegang tiket merupakan pekerja kantoran. ”Separuh dari harga tiket dikembalikan perusahaan kepada karyawannya yang memakai transportasi massal. Dengan begitu, karyawan hanya membayar separuh dari harga berlangganan,” ujar Bars.
Ia menyebutkan, harga tiket untuk menutup seluruh biaya operasional kereta perkotaan di dalam kota Paris mencapai 200 euro per bulan per penumpang. ”Namun, 40 persen biaya operasional berasal dari subsidi pemerintah dan 35 persen dari nontiket. Penumpang hanya membayar 25 persen dari biaya operasional kereta,” ucap Bars.
Dalam artikel di situs www.railway-technology.com pada 13 Agustus 2018, disebutkan bahwa pendapatan SNCF naik 4,2 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kenaikan ini didorong oleh peningkatan jumlah penumpang dan angkutan barang yang dikelola operator ini. SNCF mengoperasikan lebih dari 30.000 kilometer jaringan kereta, dengan beragam jenis pelayanan.
Di Jakarta, subsidi pemerintah juga masih menjadi andalan bagi operator angkutan umum. Sebab, harga tiket yang diberlakukan juga ikut ditentukan pemerintah. Apabila harga tiket dilepas sesuai harga komersial, besar kemungkinan orang enggan memakai angkutan umum ini.
Tuhiyat mengatakan, subsidi pemerintah berkontribusi atas 58 persen dari total penerimaan PT MRT Jakarta. Adapun tiket penumpang baru memberikan 18 persen (Rp 180 miliar) pemasukan. Sejumlah 24 persen (Rp 225 miliar) penerimaan lainnya diperoleh dari pendapatan lain di luar penjualan tiket, seperti iklan, ritel, ataupun hak nama (naming right) di stasiun.
Dari perhitungan MRT, lanjut Tuhiyat, penumpang seharusnya membayar Rp 30.000. Saat ini rata-rata penumpang membayar Rp 8.000. Selisih biaya, yakni Rp 22.000 per penumpang, ditanggung Pemerintah Provinsi DKI. Tahun 2020, kebutuhan PSO diperkirakan Rp 900 miliar untuk menyubsidi penumpang MRT selama 12 bulan.
Skema subsidi dari perusahaan kepada karyawan mereka yang memakai angkutan umum, seperti dilakukan SNCF, barangkali bisa dikaji untuk diterapkan di Jakarta. Selain mengurangi subsidi dari pemerintah, langkah ini juga bisa mendorong karyawan untuk memakai angkutan umum.
Tentu saja, perusahaan yang sudah memberikan dukungan atas angkutan umum ini juga perlu mendapatkan imbal balik dari regulator.
Penataan kawasan
PT MRT Jakarta juga tengah menanti payung hukum untuk menggarap kawasan berorientasi transit (KBT) di sekitar stasiun MRT. Adapun lima kawasan yang akan diprioritaskan adalah Dukuh Atas, Istora Senayan, Blok M, Fatmawati, dan Lebak Bulus.
Tuhiyat mengatakan, pihaknya sudah memiliki desain penataan kawasan di sekitar stasiun-stasiun itu.
Tentu saja, dalam rencana penataan kawasan, urusan konsolidasi lahan menjadi krusial. Apalagi di sekitar stasiun MRT, nyaris tidak ada lagi tanah tidak bertuan. Sebagian besar sudah dimiliki pihak lain, terutama pihak swasta.
Tuhiyat menambahkan, KBT berpotensi memberikan manfaat ekonomi bagi banyak pihak, termasuk MRT. Potensi pendapatan ditaksir Rp 240 triliun. Adapun modal untuk membangun KBT diperkirakan Rp 120 triliun.
Kerja sama yang saling menguntungkan antarpihak bakal mewujudkan KBT sekaligus menata kawasan sekitar jalur MRT menjadi lebih indah dan juga memudahkan warga mencapai tempat tujuan tanpa kendaraan pribadi.