Bosnia, Setelah 24 Tahun Perang Berakhir
Tidak ada peluru dan bom pada musim gugur itu. Ruang-ruang yang terkena bom telah dibetulkan dan diubah menjadi kedai kopi atau hiburan malam. Tetapi, para remaja tidak tampak antusias. Tidak ada film dan mode baru.
”Memang, tidak ada peluru dan bom pada musim gugur itu. Dan memang, ruang-ruang yang terkena bom dan terbengkalai telah dibersihkan, dibetulkan, dan diubah menjadi kedai kopi atau hiburan malam. Tetapi, kalaupun kini para remaja dapat duduk-duduk dan bercengkerama tanpa menjadi hancur berkeping-keping, mereka tidak tampak antusias melakukannya. Tidak ada hal-hal baru selama bertahun-tahun, tidak ada film baru, dan tidak ada mode baru.”
Kutipan di atas merupakan deskripsi tentang kota Gorazde, Bosnia, pada akhir 1995, yang dituangkan Joe Sacco, seorang jurnalis sekaligus komikus asal Amerika Serikat, dalam komik Zona Aman Gorazde.
Perpaduan karya jurnalistik dan komik tersebut menggambarkan kengerian dan penderitaan yang dihadapi penduduk setempat saat Perang Bosnia meletus pada kurun 1992-1995. Sacco mengumpulkan kisah-kisah itu mulai akhir 1995 hingga awal 1996.
Zona Aman Gorazde menjadi buku pegangan saya dalam memperoleh secuil sejarah Bosnia-Herzegovina sebelum saya bertolak ke negara yang terletak di semenanjung Balkan di selatan Eropa itu.
Komik itu saya pinjam dari perpustakaan Kompas tak lama setelah saya ditugaskan memenuhi undangan pariwisata dari Kedutaan Besar Bosnia-Herzegovina di Indonesia dan Qatar Airways yang berlangsung 26 Februari-3 Maret 2019.
Seusai membaca komik tersebut, terutama setelah teringat kutipan di paragraf awal tulisan ini, berbagai pertanyaan terus menghantui saya sebelum keberangkatan. Salah satunya: bagaimana kehidupan di Bosnia 24 tahun setelah perang berakhir?
Perjalanan ke Bosnia-Herzegovina saya tempuh bersama dua rekan wartawan, yakni Sari Kusumaningrum (The Peak Indonesia) dan Philipus Parera (Tempo), serta Trinity, penulis serial buku The Naked Traveler.
Selama enam hari, kami bermobil ke sejumlah destinasi wisata di enam kota, yakni Travnik, Jajce, Bihać, Sarajevo, Banja Luka, dan Mostar. Selama di sana kami dipandu dua warga lokal, yakni Nadim Idrizovic dan sahabatnya, Amir Dzedic.
Memupuk harapan
Setelah menginjakkan kaki di Bosnia, saya menyaksikan kehidupan di sana berjalan normal. Orang-orang berlalu-lalang di pusat kota. Sebagian lagi bercengkerama di kedai kopi sembari menikmati secangkir kopi lokal.
Di malam hari, para pemuda memenuhi tempat nongkrong yang tengah menjadi primadona di sana: shisha bar. Ingar bingar musik lokal menemani aktivitas mereka mengisap shisha.
Kontras dengan yang saya baca di komik Zona Aman Gorazde, tak tampak lagi ketakutan dalam raut wajah para penduduk. Semua orang yang kami temui dalam perjalanan begitu antusias dalam beraktivitas sehari-hari. Mereka hidup dengan memupuk harapan.
Baca juga: Gema dari Sarajevo
Tentu, kisah soal Perang Bosnia masih selalu terselip dalam perbincangan bersama kami. ”Perang Bosnia menjadi pelajaran hidup paling berharga bagiku,” ujar Emir Muharemovic, Manajer Stari Most Tour & Travel, saat mendampingi rombongan di Mostar.
Warga Bosnia pun tak memungkiri bahwa negara multietnis dan multireligi itu hingga kini masih kerap dikaitkan dengan perang. Dengan mengundang kami, mereka berharap agar warga Indonesia tak hanya mengaitkan Bosnia dengan perang.
Melalui pemberitaan kami, mereka ingin menyampaikan bahwa Bosnia membuka pintu selebar-lebarnya bagi wisatawan Indonesia untuk menikmati keindahan alam yang terbentang di berbagai pelosok negeri itu.
Liputan di Bosnia bisa dibilang nyaris tanpa kesulitan berarti. Sebab, setiap narasumber begitu bersemangat membagikan data terkait destinasi wisata di kotanya. Bahkan, mereka sudah menyiapkan bahan dalam bentuk brosur, buku, hingga kepingan DVD.
Sejauh ini mayoritas wisatawan ke Bosnia, di antaranya berasal dari Arab Saudi, Qatar, China, Jerman, dan Turki. Meski para narasumber tak bisa menyebutkan jumlah wisatawan Indonesia yang menyambangi Bosnia, mereka yakin angkanya tergolong rendah.
”Kami sangat berharap wisatawan Indonesia bisa mampir ke Bosnia untuk memperkaya keberagaman di sini,” tutur Adna Coralic, Manajer Hotel Opal Exclusive di Bihać.
Paket wisata lengkap
Enam hari mengelilingi negara dengan mayoritas penduduk Muslim itu meyakinkan saya bahwa Bosnia sebenarnya menawarkan pariwisata dengan paket lengkap.
Panorama di berbagai belahan negara Balkan itu begitu memanjakan indera penglihatan dengan asupan warna-warni alaminya.
Baca juga: Dari Air Terjun Pliva Menuju Senja Sungai Una
Penduduk setempat terus berpromosi bahwa Bosnia adalah rumah bagi banyak air terjun yang memesona.
Tak hanya wisata alam, Bosnia juga menawarkan wisata sejarah dan wisata religi. Perlu diketahui, Bosnia terus berupaya melestarikan nilai-nilai orisinal dan gaya arsitektur yang dibangun di era pendudukan Ottoman dan Austria-Hongaria.
Bangunan kuno, seperti menara jam, rumah ibadah, dan kota tua masih berdiri tegak untuk disambangi. Kondisi tersebut jelas membuat kami kaget. Sebelumnya, kami memang sama sekali tak ada bayangan tentang potensi wisata di Bosnia.
Baca juga: Jejak karya Ivo Andric
Trinity, misalnya, mengaku bahwa Bosnia tak asing di telinganya karena abangnya menjadi penjaga perdamaian PBB selama perang di sana. Sekitar setahun abangnya bertugas di sana, Trinity terus khawatir saat mengikuti perkembangan kondisi perang melalui pemberitaan di televisi.
”Begitu sekarang sampai di sini (Bosnia), kok, sudah bagus, rapi, dan keren? Bisa dibilang, top three alam yang kece di Eropa, tuh, di sini” katanya.
Saat itu Bosnia-Herzegovina menjadi negara ke-89 yang ia sambangi.
Domba tenggelam
Soal makanan, Bosnia menyajikan menu yang kaya rasa. Banyaknya pengembara dari sejumlah negara Asia dan Eropa, baik pada masa pendudukan Ottoman maupun Austria-Hongaria, memunculkan variasi masakan yang menggoda.
Hari-hari kami tak pernah lepas dari jamuan warga lokal. Di atas meja makan, selalu tersaji masakan dengan porsi besar (untuk ukuran orang Indonesia).
Baca juga: Masjid Istiklal, Lambang Persahabatan Indonesia-Bosnia
Saking besarnya porsi yang disajikan, saya beberapa kali tak sanggup menghabiskan makanan yang dibagikan. Akhirnya, kami bersepakat memesan satu porsi makanan untuk disantap berdua.
Menu-menu di Bosnia-Herzegovina didominasi daging domba. Cevapi, misalnya, terbuat dari daging domba berbentuk sosis yang digulung dengan roti pita, lengkap dengan bawang dan yogurt. Menu itu menjadi santapan sehari-hari mereka.
Suatu waktu, kami diajak makan siang di restoran Etno House di tepi Sungai Buna di Blagaj. Kami begitu senang saat mengetahui ada pilihan menu ikan trout.
Herannya, Nadim dan Amir, yang sejak awal perkenalan, menyantap menu domba, tetap memesan daging domba untuk makan siang mereka kali itu.
Kami pun bertanya, ”Apa menu seafood kesukaan orang Bosnia?”
Dengan kompak, mereka menjawab, ”Domba yang tenggelam!” Tawa kami seketika pecah mendengar gurauan tersebut.
Baca juga: Kecurian di Negara Teraman di Dunia
Enam hari di Bosnia, rasanya tak ada makanan yang tidak cocok dengan kami. Trinity pun dengan semangat berujar, ”Makanan Bosnia cocok buat lidah Indonesia. Gue jaminannya.”
Perjalanan kami di Bosnia harus berakhir pada 3 Maret 2019 untuk bertolak ke Doha, Qatar. Kehangatan dan antusiasme warga setempat meyakinkan saya bahwa Bosnia menjadi destinasi yang wajib diperhitungkan.
Selama penerbangan menuju Doha, saya mendadak teringat sebuah tulisan dalam komik karya Sacco. Dalam sebuah panel komiknya, ia menuliskan, ”Mereka (warga Gorazde, Bosnia) berpesta bagai baru dibangkitkan lagi dari kematian. Bukan seperti tidak ada hari esok, justru karena ada hari esok.”
Baca juga: Terperosok Investasi Bodong
Ya, rasanya kalimat tersebut masih relevan setelah saya berinteraksi dengan banyak individu di Bosnia.
Semuanya menunjukkan semangat hidup karena mereka sadar dalam kesempatan hidup kali ini, mereka harus menatap ke depan karena masih ada hari esok.