Jakarta Mengulang Mimpi
Pengalaman pesepeda atau insiden yang dialami pesepeda tidak membuat Pemprov DKI tergerak membuat kota lebih manusiawi. Justru kualitas udara yang sangat buruk membuat Jakarta mewujudkan 63 kilometer jalur sepeda.
Sudah bertahun-tahun, Nanda Tiga menempuh perjalanan menuju tempat ia beraktivitas di kawasan Senayan, Jakarta Selatan dari rumahnya di kawasan Kayu Manis, Matraman, Jakarta Timur dengan bersepeda. Jarak tempuh sekitar 10 km ia selesaikan dalam waktu 40 menit dengan kemacetan yang terjadi di kawasan Sudirman - Thamrin.
"Tapi ada kalanya saya bisa menempuh jarak itu kurang dari 30 menit. Dengan catatan, lalu lintas di pagi jam sibuk, bersahabat," katanya, Kamis (21/11/2019).
Sebagai pesepeda aktif yang juga berkegiatan di bidang kurir sepeda, ia sudah tentu sangat hapal jalan-jalan atau rute yang biasa ia lalui. Bahkan sampai lubang-lubang ataupun titik yang selalu macet, tidak nyaman, dan aman buat pesepeda, ia sangat paham.
"Kalau titik yang tidak nyaman dan membuat tidak aman perjalanan ada di depan kantor KPU di Imam Bonjol, Menteng. Selalu saja di depan gedung itu sepeda motor dan mobil parkir berderet-deret di pinggir jalan," jelas Nanda.
Titik lain yang menurut Nanda merepotkan ada di perempatan Sarinah. Di sana tidak ada tanda-tanda berupa rambu atau lampu pengatur khusus yang membuat perjalanan pesepeda lancar.
"Kita tidak tahu bisa terus atau harus berbelok dulu di perempatan itu. Padahal jalur itu bagian dari jalur uji coba tempo hari," kata Nanda prihatin.
Baca juga : Jalur Baru Pengguna Sepeda di Ibu Kota
Rencana induk
Bicara jalur sepeda, sejak September silam, DKI menguji coba 63 km jalur sepeda. Jalur sepeda untuk mengurangi polusi yang 75 persennya disumbang dari buangan gas kendaraan bermotor. Tak lupa disematkan juga tagline "Jakarta Ramah Sepeda."
Dengan 63 km, jalur itu dibagi dalam tiga fase dengan peluncuran uji coba yang juga bertahap.
Syafrin Liputo, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, menjelaskan, fase I terbentang sepanjang 25 km, mulai dari Jalan Pemuda, Jalan Pramuka, Tugu Proklamasi, Jalan Imam Bonjol, Jalan Diponegoro, Jalan MH Thamrin, sampai Jalan Medan Merdeka Selatan.
Fase II dibuat sepanjang 23 km dari Jalan RS Fatmawati Raya ke Jalan Panglima Polim, masuk Jalan Sisingamangaraja, lalu ke Jalan Sudirman. Fase II dan fase I bertemu di Bundaran Hotel Indonesia.
Untuk fase III, jalur terbentang sepanjang 15 km dari Jalan Tomang Raya lalu belok kanan ke Jalan Cideng, masuk ke Jalan Kebon Sirih lalu menyatu dengan fase I di MH Thamrin. Di fase III juga ada tambahan rute jalur sepeda, yaitu dari Jalan Pramuka belok kiri ke Jalan Matraman Raya, masuk ke Jatinegara timur, dan Jatinegara Barat. Jalur ini akan melingkar di Terminal Kampung Melayu.
Baca juga : Jalur Sepeda Sering Digunakan oleh Kendaraan Bermotor
Jalur sepeda ini diluncurkan dan sudah selesai di uji coba pada 19 November lalu. Di sejumlah ruas jalan, jalur-jalur sepeda itu beririsan dengan jalur sepeda yang rencana induknya sudah dibuat pada 2009.
Toto Sugito dari Bike to Work (B2W) dalam wawancara, Rabu (20/11/2019) menjelaskan, inisiatif pembuatan rencana induk jalur sepeda muncul setelah gerakan bersepeda atau kampanye bersepeda terus menerus dilakukan sejak 2004.
B2W merupakan komunitas pecinta sepeda dan setiap hari mereka bersepeda menuju tempat mereka beraktivitas. Upaya kampanye bersepeda di kota Jakarta muncul karena keprihatinan akan kemacetan yang terus menerus mendera ibukota yang saat ini berpopulasi 10 juta jiwa itu.
"Kalau macet kan memunculkan polusi. Sementara kita adalah para pecinta sepeda gunung yang selalu merasakan udara segar pegunungan. Kita ingin polusi di Jakarta berkurang, maka kami kampanyekan gerakan bersepeda," jelas Toto.
Gayung bersambut. Wakil Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo atau yang akrab disapa Foke saat itu, menyambut gerakan moral dan juga upaya komunitas itu yang kemudian melahirkan organisasi atau komunitas B2W pada Agustus 2005.
Dari sana, kampanye bersepeda di Jakarta yang sungguh semrawut lalu lintasnya bahkan sampai hari ini, terus berlangsung.
Dijelaskan Toto, gerakan moral mengajak warga bersepeda ini begitu penting. Itu sebabnya komunitas memilih untuk tidak terlalu dini menuntut fasilitas seperti tempat parkir sepeda hingga jalur sepeda.
Yang terlihat kemudian, hasilnya, sejumlah gedung kantor swasta dan pemerintah mulai melengkapi kantor dengan kamar mandi dan tempat parkir sepeda.
Baca juga : Skuter Listrik Tidak Boleh Melaju di Jalur Sepeda
Kemajuan kecil terwujud, sehingga komunitas memilih terus berkampanye masih dengan alasan karena keprihatinan tadi. Ribuan anak sekolah di DKI Jakarta lalu dirangkul supaya juga bersepeda.
Kalau macet kan memunculkan polusi. Sementara kita adalah para pecinta sepeda gunung yang selalu merasakan udara segar pegunungan. Kita ingin polusi di Jakarta berkurang, maka kami kampanyekan gerakan bersepeda.
Nirwono Joga, pengamat perkotaan menjelaskan, keberadaan dan kampanye yang dilakukan B2W sampai akhirnya menarik perhatian pemerintah pusat. Kampanye bersepeda itu berbuah pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009.
Dalam beberapa pasal dalam UU itu, sepeda (bukan sepeda motor), diakui keberadaannya dan bahkan pasal-pasal di dalamnya mengamanahkan mengenai penyediaan fasilitas jalur sepeda dan melengkapinya dengan aspek keamanan dan keselamatan.
Sayangnya, hak para pesepeda dan pejalan kaki itu tidak disosialisasikan baik oleh pemerintah ataupun kepolisian. Masyarakat tidak tahu ada hak pesepeda dan pejalan kaki di jalan. Selain itu juga tidak ada aturan turunan yang mengatur itu di Jakarta.
Baca juga : Pergub DKI Terbit, Penindakan Jalur Sepeda Pun Dimulai
Dari sana, B2W bersama Nirwono dan Dinas Perhubungan DKI Jakarta menyusun masterplan atau rencana induk jaringan sepeda terintegrasi di Jakarta. Penyusunan jalur didasarkan pada rute-rute yang biasa dilewati rombongan pesepeda.
Di Jabodetabek, lanjut Nirwono, ada banyak rombongan pesepeda. Mulai rombongan Bintaro, rombongan Bekasi, Rombongan Depok, rombongan Lebak Bulus, hingga rombongan dari Tangerang. Mereka bersepeda ke dan dari Jakarta dengan melalui rute-rute aman yang mereka pilih sehingga menjadi rute yang biasa mereka lalui.
"Dari sana lah masterplan jalur sepeda terintegrasi itu kami susun. Kami mempertimbangkan rute-rute jalan yang menjadi rute para pesepeda itu sehingga memang betul-betul sesuai kebutuhan pengguna. Dan penyusunan ini adalah inisiasi dari warga dari komunitas, bukan dari pemprov," jelas Nirwono.
Sayang sekali, rencana induk yang sudah selesai disusun pada 2009 dan siap diimplementasikan itu "masuk ke laci." Tidak ada perwujudan nyata dari rencana induk itu. Hanya satu dua jalur di Jakarta Selatan (Taman Ayodya - Blok M - kantor Walikota Jakarta Selatan) dan Jakarta Timur (rute BKT) yang sempat dibuat.
Namun jalur BKT itu pun diokupansi pedagang kaki lima, bus kopaja, hingga
kendaraan pribadi. "Sampai akhirnya kami membuat agenda damai merebut kembali jalur sepeda BKT. Selama seminggu jalur itu aman untuk pesepeda karena dijaga petugas dishub. Setelah itu ya diokupansi lagi," jelas Toto prihatin.
Sementara jalur Taman Ayodya - Blok M - Kantor Wali Kota Jakarta Selatan sekarang ini lebih banyak dipakai untuk parkir mobil juga sepeda motor. Lalu kalaupun ada jalur lain yang sempat muncul, itu pun tak dirawat.
Baca juga : Jalur Sepeda Dibongkar untuk Pelebaran Trotoar
Modal dengkul dan nyali
Lalu bagaimana para pesepeda beraktivitas di tengah kota Jakarta yang dipenuhi 18 juta unit kendaraan setiap hari?
"Ya kami mencari rute yang sekiranya aman buat kami. Tak jarang, kami harus merasakan betapa kami tidak dihargai pengendara roda dua ataupun roda empat," kata Nanda.
Nanda menuturkan, di rute yang ia lewati dari Kayu Manis ke Senayan, khususnya di terowongan Semanggi saat jam sibuk, terkadang para pesepeda dipepet roda dua dan tidak diberi ruang. Tak jarang pula ia melihat rekannya pesepeda diserempet roda dua atau roda empat. Hingga cerita pesepeda yang meninggal karena ditabrak roda empat di Jakarta ini pernah menghiasi pemberitaan media beberapa waktu yang lalu. Di Jakarta, pesepeda masih dianggap seperti hama yang tak perlu diberi ruang.
"Jadi naik sepeda di Jakarta itu bukan hanya modal dengkul (lutut) saja. Tapi juga mesti modal nyali," kata Nanda.
Baca juga : Pagi-pagi 40 Siswa Mendapat Hadiah Sepeda Baru
Tidak wujudkan kebutuhan
Pengalaman pesepeda juga insiden yang dialami pesepeda itu tidak juga membuat Pemprov DKI tergerak untuk membuat kotanya lebih manusiawi. Justru pemberitaan mengenai kualitas udara Jakarta yang sangat buruk lah yang akhirnya membuat Gubernur DKI mengeluarkan Instruksi Gubernur Nomor 66 Tahun 2019 tentang pengendalian kualitas udara.
Salah satu hal yang lalu diwujudkan secara tiba-tiba karena tidak ada di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) adalah pembuatan jalur sepeda sepanjang 63 km itu.
Dari uji coba, sejumlah pertanyaan lalu muncul. DKI hendak mengulang kembali mimpi 10 tahun lalu yang tidak terwujud itu?
"Jalur sepeda yang dibangun baru-baru ini dan lalu diuji coba itu tidak memenuhi kebutuhan para pesepeda, karena bukan jalur yang biasa digunakan pesepeda" Nirwono mengkritik.
Kalaupun mau membangun, ia menyarankan Pemprov DKI membangun jalur sesuai kebutuhan pengguna. Pemprov mengajak para pesepeda duduk bersama dan membicarakan rute-rute yang akan dibangun. Supaya memang betul dilewati dan dipergunakan.
Belum lagi, masalah keselamatan dan keamanan bersepeda di Jakarta masihlah menjadi pertanyaan besar. Terutama dengan perilaku berkendara warga ibukota.
"Baru juga lampu hijau menyala, motor-motor dan mobil sudah membunyikan klakson. Mereka seperti terburu-buru. Belum lagi jalur sepedanya tidak steril. Masih banyak jalur yang dipakai berhenti ojek online atau mobil," kata Nanda.
Meski tentang sterilisasi itu Syafrin menjelaskan ada petugas dishub bersepeda dan mobile di rute-rute sepeda. Mereka mengawasi pelanggaran yang terjadi dan bisa melakukan penderekan kendaraan.
Baca juga : Mengayuh Asa di Jalur Sepeda
Hal lain yang dilihat Nirwono adalah rute yang dibangun itu seperti mendorong lebih banyak orang bersepeda dalam jarak panjang dari ujung ke ujung. Dengan situasi lalu lintas Jakarta hari ini yang sangat semrawut dan macet, orang akan berpikir berkali-kali sebelum bersepeda melintasi rute itu.
Belum lagi cuaca Jakarta yang panas dan lembab. "Kalau itu ya pemerintah harus membangun kanopi atau dengan penanaman pohon perindang di jalur sepeda," ujar Toto.
Lainnya, kalau pun jalur dibangun untuk integrasi dengan angkutan umum, imbuh Nirwono, yang tepat bukanlah rute sepeda panjang begitu. Melainkan bike sharing.
Begitu penumpang keluar gedung atau keluar dari stasiun MRT atau stasiun LRT atau halte bus, ia bisa melanjutkan perjalanannya dengan menyewa sepeda. Ada titik-titik penyewaan sepeda sehingga ia bisa melanjutkan perjalanan 5 - 7 menit nya. Lalu di tujuan ia bisa mengembalikan sepeda sewa.
Atau, kalaupun di dekat rute sudah ada jalur angkutan umum macam MRT atau bus Transjakarta, maka yang diharapkan dari sepeda adalah sepeda menjadi kendaraan pengumpan. Sebagai kendaraan jarak pendek, sepeda dipakai dari rumah ke halte atau stasiun terdekat, dan sebaliknya.
"Namun kalaupun ada tempat parkir sepeda, harus ada petugas yang terus menerus berjaga supaya sepedanya tetap aman tidak hilang," Toto mengingatkan suasana Jakarta dimana warga tidak bisa begitu saja meninggalkan sepeda dengan tenang karena kriminalitas masih tinggi.
Baca juga : Pemakaian Jalur Sepeda Perlu Dioptimalkan
Baik Nirwono atau Toto atau Nanda setuju. Supaya jalur yang sudah dibuat tidak mubazir dan program juga tidak menjadi program yang hangat-hangat tahi ayam, harus ada sosialisasi terus menerus tentang jalur sepeda. Itu akan menumbuhkan kesadaran pengguna jalan lainnya. Kalau tidak, konflik horisontal akan terus menerus terjadi.
Fasilitas itu juga mesti dilengkapi dengan regulasi, entah perda atau pergub sebagai dasar kepolisian menindak sekaligus menjadi dasar pemprov membuat kebijakan pendukung. Toto menyebut kebijakan pendukung itu adalah pembatasan kendaraan bermotor. Pembatasan kendaraan perlu dilakukan di jalan-jalan yang ada rute sepeda. Pembatasan kendaraan bisa menjaga keselamatan dan keamanan pesepeda.
Regulasi, juga mesti dilengkapi dengan rencana induk supaya ada panduan bagaimana menyiapkan fasilitas yang berkelanjutan dan bermanfaat.
Tanpa disertai semua kebijakan tegas, Jakarta Ramah Sepeda hanya akan tinggal kata-kata dan pencitraan saja.
Baca juga : Jalur Sepeda Terintegrasi Trotoar