Kemiskinan keluarga membuat sebagian anak di Medan turun ke jalan dan terminal untuk membantu ekonomi keluarga. Anak-anak itu pun kerap dipukul dan diperas preman. Uang yang didapat terkadang harus lepas dari genggaman.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
Kemiskinan keluarga membuat sebagian anak di Medan turun ke jalan dan terminal untuk membantu ekonomi keluarga. Mereka bertumbuh dan berkembang di tengah kerasnya kehidupan jalan. Mereka pun kehilangan waktu bermain dan belajar. Anak-anak itu pun kerap dipukul dan diperas preman. Uang yang telah dikumpulkan seharian terkadang harus direlakan.
Anak-anak dengan celana pendek, kaus kusam, dan sandal jepit tampak berjejer di pintu masuk Terminal Pinang Baris, Kota Medan, Sumatera Utara, Jumat (22/11/2019). Dengan bermodal sapu kecil dan minyak solar dalam botol plastik, mereka menawarkan jasa untuk membersihkan angkot dan bus.
Dayat (15) pun naik ke sebuah angkot jenis minibus. Sembari angkot itu berjalan mengitari terminal, ia bergegas menyapu sampah-sampah yang ada di lantai angkot. Ia pun menyemprotkan solar ke lantai angkot itu. Setelah angkot itu bersih, ia mendapat uang Rp 3.000 dari sopir. ”Ini pekerjaan saya hampir tiap hari,” kata Dayat.
Dayat pun sudah melakoni pekerjaannya itu sejak masih SD hingga sekarang duduk di kelas X SMA. Ia biasanya bekerja setelah pulang sekolah dengan penghasilan sekitar Rp 20.000 per hari. ”Sering juga aku bolos sekolah biar bisa dapat uang lebih banyak sampai Rp 30.000 sehari,” katanya.
Dayat pun sudah melakoni pekerjaannya itu sejak masih SD hingga sekarang duduk di kelas X SMA. Ia biasanya bekerja setelah pulang sekolah dengan penghasilan sekitar Rp 20.000 per hari. ”Sering juga aku bolos sekolah biar bisa dapat uang lebih banyak sampai Rp 30.000 sehari,” katanya.
Dayat yang merupakan anak kedua dari tiga bersaudara ini turun ke jalan untuk membantu ekonomi keluarganya. Ayahnya bekerja serabutan. Lebih sering sebagai buruh bangunan. Sementara ibunya menjadi tukang cuci pakaian. Dua saudaranya yang lain juga sering turun ke jalan untuk mengasong atau menyapu bus.
Namun, perjuangannya mencari uang tidak selalu mulus. Sering sekali uang yang telah ia dapat dari keringatnya selama sehari dirampas oleh preman.
”Kalau uangnya tidak dikasih, aku dipukul. Lebih sering aku lari dan sembunyi kalau sudah melihat ada preman datang,” kata Dayat.
Jika bekerja sejak pagi, kata Dayat, sering ia harus menahan lapar dulu menunggu mendapat uang. Setelah dapat uang, baru ia membeli nasi yang hanya diberi kuah tanpa lauk-pauk agar lebih murah. Uang itu harus ia sisihkan untuk setoran kepada orangtua dan membeli solar sebagai modal untuk besok hari.
Hal serupa dialami anak jalanan yang mengasong di sekitar Simpang Pondok Kelapa, Jalan Gagak Hitam/Ring Road. David Manullang (14) harus berjualan setiap hari untuk membantu menopang ekonomi keluarganya. David yang duduk di kelas IX SMP ini berjualan dari pulang sekolah hingga malam hari.
Ia biasa menjual barang-barang musiman. ”Saat ini saya sedang menjual parfum kopi untuk mobil pribadi,” kata David, yang merupakan anak semata wayang orangtuanya.
David membeli satu parfum Rp 20.000 dan menjualnya Rp 25.000 hingga Rp 30.000. Jika mengasong dari siang hingga malam, ia bisa menjual 3-5 buah parfum dengan keuntungan sekitar Rp 30.000. Uang itu pun ia berikan kepada ibunya yang bekerja sebagai tukang jahit pakaian. Sementara ayahnya kerja serabutan dan lebih sering menganggur.
Koordinator Sanggar Kreativitas Anak Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Camelia Nasution mengatakan, anak-anak di Medan turun ke jalan umumnya disebabkan oleh kesulitan ekonomi keluarga. Mereka juga biasanya berasal dari orangtua yang mencari hidup di jalanan sehingga anaknya sudah terpapar kondisi jalanan sejak kecil.
Menurut Camelia, ada tiga jenis anak jalanan, yakni anak jalanan dengan risiko tinggi, anak jalanan rentan risiko tinggi, dan anak miskin kota.
”Sebagian besar anak jalanan di Medan saat ini adalah kelompok rentan dan miskin kota,” katanya.
Menurut Camelia, ada tiga jenis anak jalanan, yakni anak jalanan dengan risiko tinggi, anak jalanan rentan risiko tinggi, dan anak miskin kota. ”Sebagian besar anak jalanan di Medan saat ini adalah kelompok rentan dan miskin kota,” katanya.
Dua kategori anak jalanan ini biasanya masih hidup bersama keluarganya, mempunyai rumah, dan bersekolah. Namun, mereka menghabiskan sebagian waktunya di jalanan, terutama setelah pulang sekolah. Mereka mencari uang dengan mengasong, menyapu bus, dan belakangan banyak yang mengantar air minum galon isi ulang dengan becak.
Namun, Camelia mengingatkan, anak rentan ini berpotensi menjadi anak jalanan berisiko tinggi. Kelompok ini biasanya putus hubungan dengan keluarga, tidak sekolah, menghidupi diri sendiri, dan menghabiskan hampir seluruh waktunya di jalanan.
Mereka biasanya mengamen, mengasong, dan bermain di warung internet. Mereka pun tidur di jalanan, seperti di terminal, SPBU, dan teras ruko. Anak-anak seperti ini masih terdapat di Medan, tetapi jumlahnya tidak terlalu banyak.
Kepala Bidang Pemenuhan Hak Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Perberdayaan Masyarakat Kota Medan Syaiful Chalid mengatakan, pihaknya terus berupaya melakukan pengentasan anak jalanan.
”Anak jalanan di Medan saat ini sebagian besar berasal dari kelompok miskin kota. Mereka turun ke jalan untuk membantu ekonomi keluarga,” katanya.
Menurut Syaiful, anak jalanan di Medan umumnya masih bersekolah dan hidup bersama keluarga. Untuk memetakan kondisi anak di Kota Medan, kata Syaiful, mereka membentuk forum anak mulai dari tingkat kelurahan, kecamatan, hingga kota. Mereka juga memetakan permasalahan anak jalanan yang ada di Medan.
Syaiful mengatakan, sebagian anak jalanan dari kelompok berisiko tinggi datang dari luar kota. Mereka terpisah sama sekali dari keluarganya. Hal itu juga yang membuat pemerintah kesulitan memetakan kondisi anak jalanan di Medan karena banyak yang berasal dari luar Medan.