Presiden Diminta Batalkan Grasi Koruptor Annas Maamun
Alasan kesehatan sebagai dasar grasi tak dapat dibenarkan. Pemberian grasi terhadap terpidana korupsi juga melukai hati masyarakat.
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Alasan kesehatan sebagai dasar pemberian grasi dari Presiden Joko Widodo untuk terpidana korupsi yang pernah menjabat Gubernur Riau Annas Maamun, tak dapat dibenarkan. Pemberian grasi terhadap pelaku kejahatan luar biasa juga menyakiti perasaan publik. Oleh karena itu, Presiden diminta membatalkan grasi untuk Annas.
Peneliti Pusat Kajian Anti-korupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman berpendapat, pemberian grasi memang kewenangan dari Presiden. Namun, pemberian grasi, apalagi bagi terpidana korupsi, dengan alasan usia dan kesehatan tidak dapat dibenarkan.
"Kalau atas alasan kesehatan, di dalam lembaga pemasyarakatan itu terdapat fasilitas kesehatan. Kalau butuh rawat inap atau rawat jalan yang lebih intensif bisa dilakukan di fasilitas di luar lembaga pemasyarakatan. Selama ini kan begitu prosedurnya," kata Zaenur saat dihubungi Kompas dari Jakarta, Rabu (27/11/2019).
Dalam surat permohonan grasi yang diajukan oleh Annas Maamun, tertulis ia sudah berusia 78 tahun dan menderita berbagai macam penyakit, antara lain depresi, lambung, hernia, dan sesak napas. Atas permohonan ini, diterbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 23/G Tahun 2019 tentang Pemberian Grasi terhadap Annas Maamun pada 25 Oktober 2019.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima surat keputusan itu kemarin sore dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin tempat Annas ditahan. Selain alasan grasi, isi surat juga meminta KPK melaksanakan keputusan tersebut. Grasi mengurangi satu tahun masa tahanan Annas dari vonis selama tujuh tahun. Dengan demikian, dia akan bebas pada 3 Oktober 2020.
Pemberian grasi bagi terpidana kasus korupsi apalagi dengan alasan yang tak dapat dibenarkan, menurut Zaenur, akan memunculkan pandangan publik bahwa Presiden tidak serius memberantas kejahatan luar biasa tersebut. Efek jera juga berpotensi tak akan muncul dengan pengampunan itu.
"Spirit pemberantasan korupsi semakin luntur dan mundur," ujarnya.
Cabut Keppres
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana melihat bukan kali ini saja keputusan Presiden bertolak belakang dengan semangat pemberantasan korupsi.
Sebelumnya, Presiden meloloskan calon pimpinan KPK 2019-2023 yang integritasnya diragukan. Kemudian Presiden tak berupaya menahan upaya DPR untuk merevisi Undang-Undang (UU) KPK yang dinilai banyak kalangan bakal melemahkan KPK. Selanjutnya, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK yang pernah dipertimbangkan Presiden, tak jadi dikeluarkan dengan dalih menunggu uji materi UU KPK.
"Jadi jika selama ini publik mendengar narasi anti korupsi yang diucapkan oleh Presiden itu hanya omong kosong belaka," tambah Kurnia.
Untuk itu, Presiden harus segera mencabut Keputusan Presiden yang memberikan grasi kepada terpidana Annas Maamun.
Semakin pudarnya semangat pemberantasan korupsi dari Presiden itu menurutnya, kian menyakiti perasaan masyarakat. Sebab, bagaimana pun pihak paling terdampak atas kejahatan korupsi adalah masyarakat.
"Untuk itu, Presiden harus segera mencabut Keputusan Presiden yang memberikan grasi kepada terpidana Annas Maamun," tegas Kurnia.
Korupsi kehutanan
Korupsi yang dilakukan Annas adalah suap untuk merevisi kawasan hutan. Tujuannya agar perkebunan sawit yang dimiliki oleh penyuap, ditetapkan berada di luar kawasan hutan.
Annas Maamun menerima suap sebesar 166.100 dollar AS atau sekitar Rp 2,34 miliar, Rp 500 juta, dan Rp 3 miliar dari janji Rp 8 miliar dalam bentuk dollar Singapura.
"Ini termasuk korupsi yang berada di dua sektor, pertama korupsi itu sendiri dan berada dalam sektor kehutanan. Kalau kita pelajari korupsi di sektor kehutanan, sebenarnya kerugiannya bukan hanya bicara kerugian negara dan pihak-pihak tertentu tetapi terhadap lingkungan itu sendiri," ucap Juru Bicara KPK Febri Diansyah.