Pemerintah membuka ruang pemberian izin perhutanan sosial di hutan bergambut. Perhutanan sosial ini mengecualikan pemberian jenis izin hutan tanaman rakyat untuk menghindari risiko kerusakan hutan.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membuka ruang pemberian izin perhutanan sosial di hutan bergambut. Perhutanan sosial ini mengecualikan pemberian jenis izin hutan tanaman rakyat untuk menghindari risiko kerusakan hutan. Kini telah menumpuk sekitar 260.000 hektar pengusulan perhutanan sosial di lahan gambut.
Regulasi perhutanan sosial di hutan bergambut itu memakai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 37 Tahun 2019 tentang Perhutanan Sosial pada Ekosistem Gambut. ”Kita sangat hati-hati karena prinsipnya tidak boleh buka lahan gambut,” kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Kamis (28/11/2019), di Jakarta, seusai bersama Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki mengikuti Festival Perhutanan Sosial Nasional.
Ia menanggapi masih tertahannya usulan izin-izin perhutanan sosial di hutan gambut. Pemberian izin perhutanan sosial ini mengedepankan bisnis usaha jasa lingkungan dan hasil hutan bukan kayu. ”Tadinya orang lihat perhutanan sosial, kan, intention-nya itu hutan ditebang, cenderung hutan ditebang. Padahal, bisa pola lain,” ungkapnya.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK Bambang Supriyanto mengatakan, saat ini mengantre proses pemberian akses hutan desa seluas 242.914 hektar dan 16.824 ha hutan tanaman pada areal hutan bergambut. Hutan desa itu diusulkan oleh 83 desa di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, sementara hutan kemasyarakatan diusulkan 19 kelompok masyarakat di Sumatera, Kalimantan, dan Maluku.
Ia mengatakan, prinsip kehati-hatian pemberian izin di gambut ini dilakukan dengan memastikan subyek penerima merupakan masyarakat setempat dan obyek lokasinya tepat atau tidak tumpang tindih. Selain itu, peta usulan izin perhutanan sosial di gambut dianalisis tumpang-susun dengan peta kawasan hutan serta peta kesatuan hidrologis gambut.
”Dari situ akan kelihatan lokasi usulan berada di fungsi lindung atau budidaya pada ekosistem gambut,” ujarnya. Fungsi lokasi itu akan menentukan bisnis model dari perhutanan sosial tersebut.
Apabila lokasi berada di hutan gambut berfungsi lindung, model bisnisnya hanya boleh pemanfaatan hasil hutan bukan kayu. Sementara jika lokasi berada di fungsi budidaya, warga diperkenankan mengupayakan gambut untuk agriforestri dengan teknik paludikultur, yaitu budidaya dengan menjaga kebasahan gambut.
Peran pendamping
Bambang menambahkan, perhutanan sosial pada hutan gambut mensyaratkan keberadaan pendamping bagi kelompok masyarakat. Salah satu tujuannya yakni menjaga agar budidaya pada gambut itu tidak dilakukan dengan pembukaan lahan dengan cara membakar. ”Masyarakat harus merasakan manfaatnya dari mengelola akses hutannya. Dengan demikian, akan ikut menjaga wilayah tersebut dari kebakaran,” ujarnya.
Hingga akhir tahun ini, pihaknya memproyeksikan bisa melepaskan akses perhutanan sosial seluas 500.000 ha yang terdiri dari usulan-usulan di hutan mineral (regular), hutan adat, dan perhutanan sosial di gambut. Luas izin yang diberikan saat ini 3,5 juta ha bagi 770.000 keluarga.
”Saya punya utang yang harus dipenuhi, diharapkan akhir tahun ini bisa tercapai 4 juta ha,” ujarnya. Ia mengakui pihaknya tak hanya mementingkan luasan izin, tetapi juga kualitas operasional perhutanan sosial pasca-izin.
Pihak KLHK akan bekerja sama dengan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil-Menengah (UKM) untuk meningkatkan kapasitas koperasi tani hutan pada areal perhutanan sosial. Menteri Teten Masduki mengatakan, hasil hutan nonkayu dari gambut memiliki keunikan dan daya jual internasional dengan potensi ekonomi tinggi. Apalagi komoditas itu dihasilkan kelompok masyarakat yang mengelola hutan dengan menerapkan prinsip perlindungan hutan.
”Yang harus disiapkan juga membangun UMKM ke dalam supply chain (rantai pasok) sehingga punya daya saing,” katanya. Potensi dari perhutanan sosial tersebut dicontohkannya aneka buah untuk tujuan ekspor, bambu, dan kayu untuk furnitur, serta kopi.