Menjadi negara broker jujur tidaklah mudah. Satu syarat yang harus dipenuhi adalah imparsialitas, ketidakberpihakan pada salah satu negara yang berkonflik. Mediator perlu meraih kepercayaan negara yang berkonflik itu.
Oleh
Adhitya Ramadhan
·4 menit baca
Demokrasi menjadi nilai universal yang dijunjung tinggi secara global. Namun, kini semua itu terancam dengan munculnya unilateralisme dan proteksionisme yang berlebihan hingga konflik pun terjadi. Dalam situasi itu ada negara yang berinisiatif menjaga perdamaian dunia dan menunjukkan kepemimpinan berbasis nilai dengan menjadi penengah.
Salah satu negara yang memainkan peran sebagai mediator dalam sejumlah konflik adalah Swedia. Bagi Pemerintah Swedia, konflik sekecil apa pun di satu negara akan memberikan dampak yang luas ke negara lain di dunia. Sebaliknya, multilateralisme, perdamaian, dan ketertiban dunia akan memberikan keuntungan dan membuat dunia lebih sejahtera.
Itulah alasan mengapa sejak lama negara Nordik itu berperan aktif menjadi mediator bagi negara-negara yang berkonflik. Misalnya, di Timur Tengah dan Semenanjung Korea.
Negosiasi teknis antara Amerika Serikat dan Korea Utara di Stockholm, Swedia, pada Oktober 2019 adalah salah satu contoh terbaru. Meski pertemuan tersebut gagal menghasilkan kesepakatan, Swedia masih berkomitmen untuk menghadirkan kedua negara berkonflik itu untuk kembali bertemu di meja perundingan.
Dalam beberapa kesempatan, Duta Besar Swedia untuk Indonesia Marina Berg, menjelaskan mengapa Swedia bersedia memediasi Amerika Serikat dan Korea Utara.
”Inilah cara kami berbagi nilai-nilai menuju perdamaian dan kesejahteraan dunia,” kata Berg saat berkunjung ke Redaksi Kompas, Rabu (9/10/2019).
Marina menjelaskan, Swedia telah berada dalam situasi yang damai selama lebih dari 200 tahun dan merasakan manfaat besarnya. Situasi damai tersebut memungkinkan Swedia melakukan banyak hal, seperti membangun sumber daya manusia yang kreatif, produktif, dan inovatif.
Masa yang damai itu juga memberikan waktu bagi Swedia untuk mengembangkan kemampuan mediasi dan diplomasi global. Oleh karena itu, ujar Berg, penting bagi mereka mempromosikan diplomasi global, solidaritas, dan membantu negara yang berkonflik untuk berkomunikasi.
Salah satu faktor yang menjadi modal besar Swedia sebagai negara mediator atau kerap disebut sebagai broker yang jujur (honest broker) adalah tidak berpihak pada kekuatan besar mana pun. Sebuah prasyarat wajib bagi negara yang menjadi penengah konflik.
Salah satu faktor yang menjadi modal besar Swedia sebagai negara mediator atau kerap disebut sebagai broker yang jujur (honest broker) adalah tidak berpihak pada kekuatan besar mana pun.
Dengan demikian, negara yang ditengahi bisa menaruh kepercayaan bahwa Swedia tidak memiliki konflik kepentingan dalam mediasi.
Tantangan
Akan tetapi, menjadi netral atau tidak berpihak bukan berarti sepenuhnya tidak memiliki kepentingan. Satu-satunya kepentingan yang harus dimiliki oleh negara yang menjadi broker yang jujur adalah bagaimana bisa menghadirkan solusi dalam konflik yang ditengahi.
Menjadi negara broker jujur tidaklah mudah. Satu syarat yang harus dipenuhi adalah imparsialitas, ketidakberpihakan pada salah satu negara yang sedang berkonflik. Mediator yang menjadi penengah perlu mendapatkan kepercayaan dari negara yang bertikai. Kepercayaan ini bisa diperoleh dengan melihat rekam jejak diplomasi dan arah politik luar negeri negara bersangkutan.
Amerika Serikat menjadi satu contoh bagaimana sikap keberpihakan pada salah satu pihak yang berkonflik justru kontraproduktif terhadap proses negosiasi damai.
Di bawah pemerintahan Barack Obama, AS berusaha memosisikan diri sebagai penengah bagi Israel dan Palestina. Namun, beberapa langkah yang diambil Presiden Donald Trump kemudian mengubah kebijakan AS dan konsensus yang sejak lama diterima Timur Tengah.
Sejak mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan kedutaan AS ke sana, klaim AS sebagai broker yang jujur pun kian dipertanyakan.
Dalam konflik Israel-Palestina, negara yang sering kali muncul sebagai penengah justru Mesir, negara Arab pertama yang menjalin kerja sama dengan Israel.
Dalam cara yang berbeda, menyebarluaskan pesan persamaan manusia dan perdamaian juga dilakukan oleh Kesultanan Oman. Sejak tahun 2010, Oman menggelar pameran, diskusi dan kuliah umum, dialog lintas agama, serta kontraterorisme di 130 kota di 37 negara.
Duta Besar Kesultanan Oman untuk Indonesia Al Sayyid Nazar bin Al Julanda bin Majid Al Said, menyampaikan, saat ini banyak konflik yang dipicu oleh perbedaan etnik, agama, dan radikalisme. Oman ingin berperan lebih dalam menjaga perdamaian dunia dengan menyebarluaskan nilai-nilai universal Islam.
Peran perempuan
Dalam setiap mediasi, salah satu tantangan yang dihadapi Swedia adalah jarang melihat perwakilan perempuan dalam tim negosiasi negara-negara yang berkonflik.
Padahal, kata Berg, tim negosiasi merupakan perwakilan seluruh penduduk sehingga baik laki-laki maupun perempuan yang menjadi warga negara harus terwakili. Selain itu, perempuan juga memiliki pengetahuan yang dibutuhkan di meja perundingan.
”Kami tak ingin memulai negosiasi jika tidak ada perwakilan perempuan dalam tim delegasi negara yang dimediasi,” kata Berg.
Untuk itu, dalam 5-7 tahun terakhir melalui berbagai mekanisme internasional yang ada, Swedia selalu mendorong pentingnya melibatkan perempuan dalam proses politik.