Menikah dengan Terop
Sujar tersenyum dan berusaha mengingat. Di dalam benaknya muncul sesosok anak laki-laki yang kerap bermain-main kipas penari gandrung. Bari nyaris tersedak mendengar tanggapan Sujar. Lalu mereka pun tergelak bersama.
Setelah bartahun-tahun tidak saling berkabar, mereka bertemu di sebuah kafe. Sujar menikmati segelas cold brew— jenis yang dibanggakan Bari sebagai menu favorit di kafe yang dikelolanya itu.
“Kamu masih ingat apa yang dikatakan ibuku?” tanya Bari. “Bahwa aku tidak akan pernah bisa lepas dari penari gandrung.”
Sujar tersenyum dan berusaha mengingat. Di dalam benaknya muncul sesosok anak laki-laki yang kerap bermain-main kipas penari gandrung. Suatu kali, Bari pernah mencuri sebuah kipas milik seorang penari gandrung yang sedang mengadakan pertunjukan di rumah keluarga besarnya.
“Aku tidak pernah lupa,” jawab Sujar. “Terutama keributan kecil malam itu. Ibumu memang sering mengingatkan, anak laki-laki mestinya tidak terlalu sering bermain-main kipas penari gandrung. Biar tidak mudah kepincut.”
Bari tertawa kecil. Diam-diam ia memuji ingatan kawannya itu. Dulu, di tempat mereka tinggal, sering digelar pertunjukan gandrung terop. Itu adalah malam-malam yang menyenangkan bagi mereka.
“Mungkin ibuku memang tidak ingin anaknya dekat dengan penari-penari itu,” ujar Bari.
Sujar berdeham. “Bagaimana kabar ibumu?”
Bari menundukkan kepalanya. Lalu dengan mimik muka yang berbeda ia menceritakan sesuatu perihal ibunya. Sujar mendengarkannya dengan saksama.
“Begitulah, mereka berpisah. Sampai sekarang, ibuku masih percaya bahwa penari gandrung itulah yang menggoda ayahku. Kena pelet Jaran Goyang, kamu tahulah.”
“Menurutmu bagaimana?”
“Laki-laki boleh saja jatuh cinta pada penari gandrung. Apanya yang salah?”
“Maksudku, kamu membenarkan tindakan bapakmu?”
“Tidak, tidak seperti itu. Tidak seharusnya bapakku meninggalkan ibuku!”
Bari melemparkan pandangannya ke meja-meja para tamu. Tamu-tamu itu tampak senang dengan semua hal yang disuguhkan: aneka jajanan tradisional, kopi dengan rasa khas, ruang-ruang yang longgar dalam bangunan rumah adat khas suku Osing. Hari itu serombongan karyawan dari sebuah BUMN telah datang sejak selepas Magrib. Sujar datang bersama rombongan itu, yang tidak lain adalah kawan-kawan sejawatnya. Setelah menyapa para pengunjung, Bari memilih berdua saja bersama Sujar.
“Bagaimana pekerjaanmu?” Bari mengalihkan tema obrolan.
“Lumayan,” jawab Sujar. “Bagaimana denganmu?”
“Ya, beginilah,” jawab Bari. “Setiap hari aku ke sini, ada tamu atau tidak. Oh, iya, Lina juga sesekali ke sini. Kadang sebulan sekali.”
“Bagaimana kabarnya? Apa Lina masih…”
Sujar tidak melanjutkan kata-katanya. Ia tidak bisa menemukan alasan mengapa dirinya tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Bari berusaha menanggapinya dengan enteng.
“Lina mengurus sebuah sanggar tari sekarang. Tentu, dia masih menari. Bagaimana, kamu tidak ingin menonton gandrung, ya?”
Sujar tersenyum. Ia berusaha agar senyumnya tampak wajar di depan Bari. Sementara itu, di tempat para tamu, seorang guide tengah menjelaskan sesuatu yang berkaitan dengan gandrung Banyuwangi.
“Jejer sudah dimulai,” ujar Bari. “Ayolah, bergabunglah bersama kawan-kawanmu itu!”
“Aku ingin menonton dari sini saja, bersama kawanku. Seperti masa lalu.”
Bari nyaris tersedak mendengar tanggapan Sujar. Lalu mereka pun tergelak bersama. Mereka pernah mengalami masa di mana hubungan mereka tidak baik-baik saja. Mereka tidak bertegur sapa dan saling membenci untuk beberapa waktu. Semuanya dimulai pada suatu malam ketika mereka terlalu banyak menenggak bir. Gara-gara berebut sampur sang penari pujaan, mereka berbaku hantam di malam yang penuh ocehan dan sendawa itu. Bahkan pertunjukan pun terpaksa dihentikan karena kericuhan yang disebabkan oleh mereka berdua.
Tapi penari itu—Lina—tampak baik-baik saja hingga hari-hari berikutnya. Bahkan tersebar desas-desus, Bari dan Lina telah menjalin hubungan istimewa. Lalu suatu hari—saat hubungan mereka kembali membaik— Bari mendatangi Sujar dan menceritakan hubungan istimewa itu tanpa beban. Sujar berusaha menjadi pendengar yang baik. Tapi dalam hatinya berjanji, bahwa ia tidak akan mendengarkan hal yang sama untuk kedua kalinya. Oleh karenanya, suatu hari di musim ketika para penari gandrung sering menggelar pertunjukan di rumah-rumah warga yang sedang hajatan, Sujar pergi meninggalkan desa itu.
Sujar berusaha mengubur perasaannya dan menerima begitu saja ketika salah seorang pamannya mendaftarkannya di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Sujar melanjutkan hidup seperti yang lainnya: lulus kuliah dan bekerja.
“Sudah lama, Sujar. Tiba-tiba kita bertemu dan sudah tidak muda lagi.”
Sujar kembali meyesap kopinya. Kali ini sesapan yang terakhir. Sujar menyalakan rokok dan mencoba mencuri pandang ke wajah Bari yang kembali mengamati para penari gandrung. Wajah itu tampak lebih kenyang dibanding bertahun-tahun sebelumnya. Pemuda ceking itu sudah menjadi lelaki tambun yang mapan.
“Benar katamu. Sudah sangat lama aku tidak menonton gandrung.”
“Ke sanalah! Sebentar lagi paju. Kalau beruntung, kamu akan kebagian sampur.”
“Berdoalah, agar aku beruntung malam ini,” tanggap Sujar seraya meninggalkan Bari.
***
Gending Kembang Waru dimainkan. Para penari membuat formasi, melenggak-lenggok seturut irama musik yang semakin rancak. Seorang pengundang memberi aba-aba, berulang-ulang menyemangati para penari. Lalu para penari pun turun ke arena. Mereka mendekati para tamu dan masing-masing memilih seseorang untuk diajak menari. Siapapun yang mendapatkan sampur dari penari tidak boleh menolak. Beberapa tamu menyambutnya dengan gembira, satu-dua yang lainnya tampak malu-malu.
Tiba-tiba Sujar merasa berada di suatu tempat dan waktu yang berbeda. Ia bisa menangkap sosok Lina di antara penari itu. Tentu saja, usia sudah mengubahnya. Tapi Sujar tahu, wajah bulat telur di bawah omprok warna keemasan itu, masih menyiratkan Lina yang sama—Lina yang selalu menebarkan senyum magis setiap kali Sujar menjadi pemaju . Sosok Lina itu pun mendekati Sujar. Sujar berusaha mengamatinya dengan saksama. Sujar berusaha tidak percaya. Tapi sampur itu sudah berkalung di lehernya dan Sujar tidak memiliki kesempatan untuk menolaknya. Sujar berdiri begitu saja dan mengikuti penari itu ke arena.
Sujar pun mulai menari. Sujar merangsek maju, berdekat-dekatan—terkadang dalam jarak yang nyaris tidak terkontrol. Sujar tidak peduli. Hasrat pemaju dalam dirinya meletup-letup tidak terkendali. Penari itu pun tampak mengimbangi. Lalu pada sebuah momen ketika jarak mereka begitu dekat, mereka pun saling berbisik.
“Selamat datang. Sudah berapa lama?”
“Aku tidak ingat. Tapi aku selalu ingat wajahmu.”
“Kamu pasti bercanda. Aku sudah cukup tua.”
“Tapi aku selalu ingat.”
***
Lina bercerita bahwa apa yang terjadi dalam paju gandrung malam itu, sudah direncanakan sebelumnya. Sujar teringat, sebelum kedatangannya, ia sempat menghubungi nomor kontak sebuah kafe yang terkenal dengan sajian kopinya. Kafe itu terletak di sebuah kawasan bebukitan, tidak begitu jauh dari desa kelahirannya. Tidak disangka, pemilik nomor kontak itu adalah Bari: pemilik sekaligus pengelola kafe. Bermula dari itulah, “kejutan kecil” itu pun direncanakan. Sujar tidak habis pikir, apa yang ada dalam benak Bari dan Lina sehingga melakukan hal semacam itu untuknya. Tapi jauh di dalam hatinya, diam-diam Sujar menyukai perjumpaan semacam itu.
Hari itu Sujar akan kembali ke Jakarta. Sambil menunggu teman-teman sejawatnya pulang dari city tour, ia menemui Bari dan Lina di sebuah kafe kecil tidak jauh dari hotel tempatnya menginap. Mereka sudah membuat janji sebelumnya. Namun ternyata Lina datang sendirian. Lina bercerita banyak hal, termasuk hubungannya dengan Bari.
“Jadi benar, Bari tidak pernah menikahimu?” tanya Sujar.
“Kamu sudah tahu jawabannya,” jawab Lina.
Sujar teringat apa yang dikatakan Bari soal kekhawatiran ibunya yang tidak menginginkan anaknya terlalu dekat dengan penari gandrung. Mengingat hal yang menimpa keluarga Bari, ia bisa memahami apa yang mungkin dirasakan oleh orangtua kawan lamanya itu. Pada akhirnya, hubungan Bari dan Lina benar-benar tidak direstui
“Bari mendapatkan jodoh yang tepat. Aku cukup dekat dengan istrinya. Sesekali aku datang ke kafe jika istri Bari ada di sana. Kami membahas pekerjaan. Undangan gandrung terop sudah sepi sekarang. Bari sering melibatkan penari-penari dari sanggar untuk menjamu tamu-tamunya. Kamu sendiri, bagaimana kabar keluargamu?”
“Baik,” jawab Sujar.
Seketika Sujar terbayang seorang bocah perempuan yang siang itu mungkin baru saja pulang di sebuah sekolah taman kanak-kanak. Sujar menikah ketika usianya tidak lagi muda. Usia pernikahannya pun tidak panjang. Istrinya mengalami sebuah gangguan medis yang tidak bisa diselamatkan ketika melahirkan anak pertamanya itu.
“Tapi kamu menikah dengan yang lain, kan?” tanya Sujar.
“Siapa yang akan menikahi penari gandrung?”
“Aku tidak percaya, bahwa kamu tidak pernah menikah.”
“Aku hampir lima puluh sekarang. Mungkin aku menikah dengan terop saja. Masalahnya, tidak ada terop yang menginginkanku.”
Lina tertawa kecil saat mengatakan itu. Sujar merasakan ada sesuatu yang getir dalam tawa itu. Lalu ia terbayang, Lina sedang menari dari satu terop ke terop lainnya. Hati Sujar pun terasa berdesir—desir yang begitu getir.
___________________________
Tjak S. Parlan, lahir di Banyuwangi, 10 Novermber 1975. Cerpen dan puisinya tersebar di berbagai media. Buku kumpulan cerpennya Kota yang Berumur Panjang (Penerbit Basa-basi, Desember 2017). Saat ini mukim di Ampenan, Nusa Tenggara Barat.