Demokrasi dan Perang Iklan Politik di Media Sosial
Media sosial dianggap sebagai salah satu corong kampanye politik yang berperan besar mengarahkan pemilih untuk memilih salah satu kandidat politik.
Setiap aturan akan dimulai dengan suatu pendefinisian. Di situlah persoalan iklan politik di media sosial dan persoalan status media sosial berawal.
Menjelang pemilu di Inggris pada Desember 2019 dan di Amerika pada 2020, berbagai media sosial berbenah memperbarui kebijakan terkait iklan politik. Alasannya, media sosial dianggap sebagai salah satu corong kampanye politik yang berperan besar mengarahkan pemilih untuk memilih salah satu kandidat politik.
Pasca referendum Brexit di Inggris pada 2016 dan pemilihan presiden AS 2016, iklan politik di media sosial menjadi salah satu topik perbincangan dunia. Kemenangan pro-Brexiter di Inggris dan Donald Trump di AS dianggap sebagai kemenangan para data scientist dalam meramu iklan kampanye di media sosial. Era big data menunjukkan fungsinya di bidang politik dengan menyajikan basis data pengguna media sosial yang spesifik bagi target kampanye politik.
Ketika media sosial dianggap tak hanya menampilkan iklan politik, tetapi ikut serta menyebarkan berita bohong dan tidak akurat, berbagai media sosial kemudian menerapkan kebijakan terkait iklan politik. Persoalannya, tak semua media sosial menerapkan kebijakan iklan politik dengan ketat.
Facebook menjadi salah satu media sosial yang disorot karena kebijakan iklan politiknya. Ada persoalan terkait kebebasan berpendapat dan pendefinisian isu politik dalam penerapanya. Facebook teguh dengan pendiriannya menampilkan iklan politik. Apa yang perjuangkan Facebook?
Atas nama kebebasan
Facebook tidak melakukan cek fakta terhadap iklan politik yang ditampilkan. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Mark Zuckerberg, pendiri dan CEO Facebook, dalam pidatonya di Universitas Georgetown pada 17 Oktober 2019. Menurut Zuckerberg, Facebook tetap memegang prinsip kebebasan berpendapat.
Kebijakan Facebook tersebut diambil bukan untuk membantu para politisi, tetapi agar orang dapat melihat sendiri apa yang dikatakan oleh para politisi. Bagi Facebook, di alam demokrasi, orang harus memutuskan sendiri apa yang dianggap tepercaya, bukan perusahaan teknologi.
Bagi Zuckerberg, kekecualian perlu diberikan kepada konten yang memicu kekerasan dan membungkam kebebasan pemilih. Karena Zuckerberg memandang pemilihan suara sebagai bagian dari pendapat, pembungkaman kebebasan memilih merupakan suatu pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat yang dijamin oleh undang-undang.
Facebook masih membuka kesempatan bagi iklan politik di platformnya (dan Instagram) dengan beberapa persyaratan sesuai dengan negara asal.
Menurut Zuckerberg, melarang iklan politik sama dengan memberikan keuntungan bagi petahana. Sedangkan, calon penantang membutuhkan juga panggung untuk berkampanye di media sosial. Oleh karena itu, Facebook membuka kesempatan yang sama bagi para kandidat untuk beriklan dan membiarkan pengguna Facebook untuk menilai sendiri konten kampanye dari tiap kandidat.
Asumsi positif yang digunakan oleh Facebook adalah bahwa kesadaran dan tingkat pendidikan politik para pengguna Facebook sudah tinggi dan seragam. Di situlah celah yang tidak dibahas oleh Facebook sebagai media sosial yang diakses oleh beragam orang dari beragam latar belakang dan pendidikan. Celah tersebut yang kemungkinan dapat dimainkan oleh tim kampanye tiap kandidat politik yang beriklan di Facebook untuk berkampanye.
Ditinggal sendiri
Sikap Facebook di atas tidak diikuti oleh media sosial lain, bahkan Facebook terkesan ditinggalkan sendirian dengan sikapnya. Berbagai media sosial besar memperbarui kebijakannya terkait iklan politik. Bahkan, raksasa teknologi Google juga mengubah kebijakannya terkait iklan politik.
Pada 20 November 2019, Google mengumumkan perubahan kebijakan terkait iklan politik. Mereka menyatakan bahwa kebijakan baru tersebut akan melindungi audience sebagai target spesifik bagi iklan politik.
Google melakukan tiga perubahan pada kebijakan terhadap iklan politik. Pertama, Google membatasi data pengguna yang dapat menjadi target iklan politik dalam tiga kriteria, yakni umur, jenis kelamin, dan lokasi umum hingga tingkat kode pos. Informasi pribadi lain dari calon pemilih, seperti misalnya afiliasi politik, tidak dapat digunakan sebagai target iklan.
Kedua, Google menegaskan bahwa kebijakan barunya tentang iklan, terutama iklan politik, lebih eksplisit menyatakan hal-hal yan dilarang. Google menyebutkan beberapa hal yang dilarang, meliputi deepfake, informasi keliru, klaim keliru tentang proses sensus, hingga iklan yang mengecilkan partisipasi atau kepercayaan dalam pemilu atau demokrasi.
Ketiga, kebijakan Google yang baru ini memperluas larangan pada iklan politik yang menunjukkan kandidat pemilu, pejabat resmi, hingga suara pemilih.
Kebijakan yang baru diperbarui ini akan segera diberlakukan terutama di Inggris yang akan segera menggelar pemilu pada Desember 2019. Selanjutnya, aturan ini akan mulai diberlakukan di seluruh Eropa dan seluruh dunia mulai 6 Januari 2020.
Perubahan kebijakan dari Google ini seakan mengikuti pengumuman yang sebelumnya disampaikan oleh Twitter. Pada 30 Oktober 2019, pendiri dan CEO Twitter, Jack Dorsey, mencuitkan bahwa Twitter berencana untuk melarang semua iklan politik di platform mereka. Larangan tersebut juga menyasar twit berbayar dari kandidat politik.
Langkah Twitter tersebut dilatarbelakangi oleh pandangan Dorsey tentang pesan politik. Dorsey sangat sadar bahwa Twitter merupakan bagian dari ekosistem besar iklan politik di internet. Menurutnya, jangkauan sebuah pesan politis (di ekosistem Twitter) perlu didapatkan, bukan dibeli.
Sebuah pesan politik akan menjangkau banyak orang apabila orang memutuskan untuk mengikuti (follow) sebuah akun atau me-retweet cuitan sebuah akun. Sedangkan, membayar untuk menjangkau banyak orang merupakan upaya untuk menghilangkan keputusan orang, baik untuk mengikuti maupun untuk meretweet.
Rencana tersebut kemudian diresmikan dalam kebijakan iklan Twitter. Dalam kebijakan resminya, yang disebut sebagai konten politik adalah konten yang merujuk pada kandidat pemilu, partai politik, pejabat resmi pemerintah, pemilu, referendum, surat suara, undang-undang, aturan, maupun keputusan pengadilan.
Langkah Google dan Twitter di atas juga dilakukan oleh media sosial lain dengan taraf yang bermacam-macam, mulai dari pembatasan seperti dilakukan oleh Reddit dan Snapchat hingga benar-benar melarang iklan politik seperti yang dilakukan oleh LinkedIn, Pinterest, dan Tiktok di platform mereka.
Siapa yang Diuntungkan?
Sikap Facebook yang tidak diikuti oleh berbagai media sosial di atas dianggap memberi kesempatan bagi iklan politik untuk menyasar target iklan yang sangat spesifik. Kesempatan tersebut membuka ruang bagi tim kampanye tiap calon untuk menyapa potensi pemilih yang disasar secara spesifik. Hal ini juga berarti bahwa tim kampanye dapat memainkan kecemasan dan kebencian dalam suatu target populasi secara efisien.
Analisis sosial dengan pendekatan konflik berawal dari sebuah pertanyaan sederhana, siapa yang diuntungkan dan dirugikan dengan sebuah kebijakan. Pertanyaan tersebut dapat dikenakan setiap setiap kebijakan, entah dari pemerintah maupun lembaga non pemerintah.
Secara aturan, menurut Komisi Komunikasi Federal AS, hanya lembaga penyiaran publik yang dilarang menyensor iklan politik. Lembaga penyiaran swasta, termasuk TV kabel dan media sosial, tidak dilarang untuk menyensor iklan politik. Artinya, media sosial dapat melakukan sensor maupun pelarangan terhadap iklan politik di platform mereka.
Menurut Zuckerberg, melarang iklan politik sama dengan memberikan keuntungan bagi petahana.
Mengingat semua media sosial memiliki sistem tersendiri untuk menargetkan pengguna demi kepentingan iklan, semua media sosial dianggap memikul dosa yang sama ketika menampilkan iklan politik.
Kolumnis Axios, Scott Rosenberg, menyebutkan tiga hal yang disebut sebagai “dosa” media sosial di bidang politik.
Pertama, mengumpulkan data pengguna secara tidak benar untuk membangun basis profil data pengguna secara spesifik yang sangat besar. Kedua, mengizinkan politisi dan tim kampanye mereka untuk menyebarkan kebohongan. Ketiga, menciptakan ruang “kedap suara” bagi partisan kandidat atau golongan tertentu dengan klasifikasi ideologis.
Ketiga dosa yang dituduhkan tersebut sebenarnya bukan intensi dari media sosial. Basis data pengguna hingga ke tingkat spesifik yang dibangun oleh setiap media sosial sebenarnya merupakan upaya untuk mempertemukan dengan tepat pengiklan dengan target iklan mereka.
Mengingat kesempatan iklan politik di media sosial terbuka untuk semua kandidat, mereka yang diuntungkan dengan iklan politik di media sosial akan mendukung kebijakan platform media sosial yang digunakan. Sebaliknya, pihak yang dirugikan akan menentang dan meminta perubahan kebijakan dari media sosial terkait iklan politik.
Walaupun sang pendiri dengan tegas membela kebebasan berpendapat dan memberi kesempatan kepada semua pihak, termasuk kandidat politik, untuk bersuara, Facebook menyatakan bahwa mereka sedang memikirkan untuk mengubah kebijakan iklan politik di platformnya.
Akan tetapi, hingga kini Facebook masih membuka kesempatan bagi iklan politik di platformnya (dan Instagram) dengan beberapa persyaratan sesuai dengan negara asal.
Di AS, kubu Demokrat yang kalah pada pilpres 2016 menyalahkan kebijakan Facebook dalam menerima iklan politik. Facebook dianggap menyalahgunakan doktrin kebebasan berpendapat sehingga menguntungkan Donald Trump.
Ketika terdengar bahwa Facebook mendiskusikan kemungkinan memperbarui kebijakannya terkait iklan politik, pihak yang diuntungkan pun bersuara lantang menentang. Kedua kubu yang bertentangan di AS, Demokrat dan Republik, sama-sama menyayangkan. Bahkan, kubu Republik menyerang kemungkinan perubahan kebijakan Facebook.
Sejak media sosial memberikan layanan iklan yang menyasar profil pengguna yang spesifik dengan harga yang lebih murah daripada televisi, media sosial menjadi pilihan strategi tim kampanye kandidat politik dalam beriklan.
Secara politis, kebijakan pembatasan dan pelarangan iklan politik di media sosial akan mengurangi kesempatan tim kampanye politik menjangkau target yang spesifik dan donatur mereka. Strategi baru perlu dibuat oleh tim kampanye mengingat target audience yang disasar akan menjadi kurang spesifik.
Sebagai media sosial terbesar dengan basis data yang sangat spesifik, Facebook akan menjadi arena perang iklan politik sepanjang 2020 apabila tidak mengubah kebijakan iklan politiknya.
Persoalan definisi
Larangan iklan politik di media sosial akhirnya bertemu dengan kosakata yang harus diperjelas oleh setiap media sosial. Apa itu politik? Di mana posisi media sosial di alam demokrasi?
Hal itulah yang menjadi pemikiran Mark Zuckerberg dalam pidatonya di Universitas Georgetown di atas. Menurutnya, kesulitan yang harus dihadapi Facebook ketika melarang iklan politik adalah memberi batasan pada makna politik, isu politik.
Hal tersebut masuk akal mengingat isu politik merupakan spektrum yang sangat luas. Luasnya spektrum isu politik, secara sederhana, dapat dilihat dari pidato kampanye seorang calon kandidat politik.
Beragam isu mulai dari isu kesehatan, pendidikan, pembangunan, etnisitas, anak-anak, wanita, hingga isu perkawinan dapat menjadi bahan kampanye kandidat politik. Oleh karena itu, sangat sulit untuk menarik garis pemisah dalam isu politik.
Dukungan terhadap seorang calon dapat mendompleng pada berbagai isu sosial, seperti misalnya jaminan kesehatan maupun biaya pendidikan. Oleh karena itu, perlu definisi yang disepakati berbagai pihak apabila diharapkan muncul aturan untuk melarang iklan politik di media sosial.
Menolak didefinisikan
Pendefinisian tentang iklan politik di media sosial kemudian, mau tidak mau, menyangkut juga tentang posisi media sosial di alam demokrasi.
Sulitnya mengatur iklan politik di media sosial menunjukkan bahwa media sosial sendiri hingga saat ini belum dapat dan terkesan menolak didefinisikan. Persoalannya, begitu media sosial dapat didefinisikan, ia akan masuk dalam “jerat” aturan.
Hingga saat ini, media sosial menikmati dan berlindung di bawah kebebasan berpendapat sebagai prinsip utama demokrasi. Akan tetapi, media sosial ternyata menyimpan potensi yang mampu untuk menghancurkan demokrasi itu sendiri.
Hal ini menggemakan kontradiksi terhadap penerapan nilai kebebasan. Suatu penerapan kebebasan secara maksimal di alam demokrasi, mengharuskan untuk memberi ruang terhadap semua pendapat dan suara, termasuk mengakomodasi suara-suara yang ingin melenyapkan demokrasi.
Media sosial bukanlah kantor berita yang menerapkan kerja jurnalisme dengan verifikasi fakta di dalamnya. Nilai-nilai jurnalisme tidak dapat dikenakan kepada media sosial karena media sosial tidak menegaskan diri sebagai perusahaan media tetapi sebagai forum publik.
Mengingat belum jelasnya posisi media sosial dan aturan yang menaungi, berbagai sudut pandang digunakan untuk menempatkan media sosial di alam demokrasi. Kongres AS menawarkan tiga cara untuk menempatkan media sosial, sebagai perusahaan, sebagai media penyiaran, maupun sebagai editor berita. Usaha tersebut merupakan salah satu cara untuk mendefinisikan media sosial sehingga dapat diatur.
Usaha mengatur iklan politik di media sosial berakhir pada perdebatan tentang definisi tentang apa itu politik dan apa itu media sosial.
Ya, media sosial perlu tunduk pada aturan. Akan tetapi, seperti pendapat Mark Zuckerberg dalam pidatonya di atas, jangan sampai pengaturan menghilangkan kebebasan berpendapat yang selama ini menjadi nafas media sosial. (LITBANG KOMPAS)