Kehadiran skuter listrik belum sepenuhnya mendapat respons positif publik. Penggunaan e-skuter telah bergeser, dari moda transportasi jarak pendek menjadi wahana hiburan karena ketidakjelasan payung hukum.
Oleh
Eren Marsyukrilla (Litbang Kompas)
·4 menit baca
Kehadiran skuter listrik belum sepenuhnya mendapat respons positif publik terkait keraguan pada aspek keamanan. Penggunaan e-skuter telah bergeser, dari moda transportasi jarak pendek menjadi wahana hiburan karena ketidakjelasan payung hukum.
Layanan persewaan skuter listrik berbasis aplikasi gawai yang dioperatori oleh Grab menapak pertama kali di kawasan komersial The Breeze BSD, Tangerang Selatan, pada Mei 2019. Kini, persewaan skuter listrik yang dioperatori Grab kian menjamur. Layanan ini hampir dapat ditemui di setiap sudut keramaian Jakarta dan beberapa lokasi di Tangerang hingga Depok dan diperkirakan jumlahnya sudah mencapai ribuan unit.
E-skuter memang sudah menjadi sebuah tren baru. Penyewanya tidak pernah sepi, semakin hari banyak orang yang rela mengantre untuk bisa menggunakannya. Pengguna otopet listrik banyak terlihat, mulai di taman, kawasan perumahan, jalan raya, hingga pusat perbelanjaan. Hampir 15 persen responden jajak pendapat Kompas pada awal November lalu mengaku pernah menggunakan skuter listrik tersebut.
Meski baru sebagian kecil yang menggunakannya, minat publik untuk mencoba e-skuter cukup besar. Hal tersebut ditunjukkan oleh sekitar 47 persen yang belum pernah naik, tetapi ingin mencobanya.
Berimbang dengan kondisi tersebut, sebesar 48 persen responden lainnya justru tidak ingin menjajalnya. Terbelahnya persepsi publik terkait sukter listrik ini memang tidak terlepas dari kejelasan fungsi e-skuter yang belum tersosialisasi baik.
Moda transportasi
Belum banyak yang tahu mengenai fungsi skuter ini. Hal tersebut terungkap dari pengakuan tiga perempat responden yang pernah menggunakan e-scooter hanya untuk memuaskan rasa penasaran dan wahana hiburan.
Padahal, sebenarnya E-skuter mempunyai peran penting. Otopet listrik ini sebagai alternatif sarana penunjang transportasi yang membantu orang untuk berpindah antartitik lokasi dalam jarak dekat, misalkan dari lokasi hunian ke halte ataupun stasiun. Jarak pendek, misal antara 1-2 kilometer, tidak lagi harus menggunakan kendaraan bermotor ataupun berjalan kaki. Konsep ini sebetulnya mirip dengan bike sharing yang sudah lebih dulu dikenal. Baru sekitar 14 persen responden yang menggunakan skuter ini sesuai fungsinya.
Modelnya yang ringkas dan mudah dikendarai juga menjadi keunggulan dari skuter listrik. Hal ini diungkap sekitar sepertiga responden lainnya. Unit skuter listrik sangat mudah dikendarai dan disimpan atau diparkirkan untuk keperluan mobilisasi jarak dekat, seperti berpindah antar moda transportasi.
Aturan
Puncak polemik penggunaan e-skuter ini terjadi beberapa waktu lalu. Kecelakaan tertabraknya pengguna skuter listrik oleh pengendara mobil yang mabuk pada Minggu (10/11/2019) pukul 03.00 dini hari memunculkan sorotan publik mengenai keamanan dan risiko penggunaan e-skuter.
Sebelumnya keluhan juga banyak bermunculan dari pengguna mobil dan pemotor yang menganggap para pengguna skuter cukup rentan jika harus berjalan berdampingan dengan mereka. Perbincangan negatif soal e-skuter juga terjadi ketika sosial media diramaikan dengan foto para pengguna skuter listrik di jembatan penyeberangan orang (JPO) di kawasan Sudirman. Tindakan mengendarai e-skuter di JPO tersebut membuat lantai jembatan rusak.
Terkait hal tersebut, tidak kurang dari 62 persen responden menyatakan agar seharusnya ada aturan hukum terkait jalur khusus e-skuter, batasan minimum usia pengguna, penggunaan kelengkapan wajib seperti helm, serta aturan berkendara. Hal ini memang penting sehingga pengunaan e-skuter dapat lebih aman dan tidak membahayakan pengguna jalan lain.
Pihak operator sebetulnya sudah memberikan informasi mengenai aturan kepada pengguna e-skuter untuk wajib helm, batas minimum usia 18 tahun, mematuhi aturan lalu lintas, dan larangan berboncengan. Namun, sepertinya aturan tersebut sebatas formalitas imbauan tanpa adanya ketegasan dan sanksi. Sebagian besar pengguna e-skuter yang ditemui justru masih melanggar aturan tersebut.
Di beberapa negara, bahkan sudah diberlakukan regulasi resmi yang mengatur penggunaan skuter listrik. Singapura, misalnya, sudah membuat aturan khusus untuk pengoperasian skuter listrik yang tidak lagi di trotoar karena bisa membahayakan pejalan kaki. Lain lagi di beberapa negara bagian di Amerika yang melarang penggunaan skuter listrik baik di trotoar maupun jalan raya karena alasan keamanan.
Ketegasan
Sementara di Indonesia, skuter listrik memang masih menjadi barang yang baru mulai familiar. Kalaupun ada, dahulu skuter model sebelumnya tidak digerakkan secara otomatis bertenaga listrik.
Skuter juga masih awam jika digunakan untuk sarana transportasi. Penilaian ini tergambar dari separuh lebih responden yang menyatakan bahwa e-skuter tidak layak beroperasi sebagai sarana transportasi karena alasan keamanan dan bahkan dapat membahayakan sesama pengguna jalan.
Seharusnya pemerintah dapat responsif untuk membuat aturan tegas tanpa harus menunggu terjadinya rentetan kasus karena ”keliaran” skuter listrik. Dengan kejelasan aturan, para pengguna e-skuter justru lebih tertib dan memanfaatkannya lebih dari sekadar hiburan, tetapi juga alternatif bermobilitas.