Saman Sepanjang Hari
Tari saman tak sebatas hiburan. Dalam setiap gerak dan syairnya, sarat dengan pesan. Saman juga perekat persaudaraan. Warisan leluhur orang Gayo itu coba terus dilestarikan agar tetap menjadi bagian dari kehidupan.
Kecepatan, ketepatan, keseragaman, dan keserasian dalam saman tak surut memesona khalayak. Dalam tempo cepat dan kondisi duduk bersila, para penarinya bisa menghadirkan gerak dinamis.
Tangan bergantian menepuk dada dan paha, kepala diputar ke bahu kiri dan kanan, bahkan dalam kondisi badan membungkuk.
Saat tempo tarian melambat, syair dalam bahasa Gayo yang didendangkan penari menjadi daya tarik lain dari saman. Hingga tarian usai, decak kagum tidak pernah habis.
Ini seperti terlihat saat penutupan Festival Saman 2019, di halaman Bale Musara, Blangkejren, Kabupaten Gayo Lues, Aceh, akhir pekan lalu. Sekalipun malam telah larut, dan hujan sempat turun, masyarakat tak beranjak menyaksikannya.
Terlebih tak hanya saman yang diperagakan. Untuk kali pertama, saman dikolaborasikan dengan tiga tradisional Gayo lainnya, yaitu bines, didong, dan didong tepok. Total ada setidaknya 300 penari yang terlibat dalam tarian kolaborasi itu.
Baca juga: Kolaborasi Empat Tarian Gayo Tutup Festival Saman 2019
Bagi orang awam, memeragakan saman apalagi dengan tempo yang cepat, sama sekali tidak mudah. Namun tidak halnya bagi orang Gayo. Bahkan ada pandangan di antara masyarakat Gayo, kalau tidak bisa menarikan saman maka dia bukan orang Gayo.
“Sejak masih anak-anak kami mempelajarinya. Dari sekadar melihat saman yang sering dimainkan orang-orang yang lebih tua, saman kemudian kami mulai mempelajarinya saat usia sekolah dasar,” tutur Syarifuddin (49), salah satu penari saman.
Anak-anak Gayo seperti tak mengenal waktu menarikan saman. Di sela-sela menjaga sawah atau ladang saat siang hari, mereka biasa menarikannya dengan duduk di batang kelapa atau sekadar duduk di pematang sawah. Kemudian saat malam tiba, saman menjadi hiburan sebelum akhirnya memejamkan mata.
“Laki-laki lajang biasanya berkumpul sampai tidur di meunasah. Di meunasah atau di luar meunasah mereka rutin memeragakan saman. Saman jadi alat hiburan,” katanya.
Ditambah lagi, di seluruh sekolah dasar di Gayo Lues ada grup tari saman sehingga semakin mendorong minat mempelajarinya.
Kemudian saat di kampung akan digelar bejamu besaman, laki-laki Gayo lebih intens lagi berlatih. Orang-orang tua kampung memilih satu orang tua sebagai pengawas untuk melatih saman.
“Dulu pengawas ini galak. Salah gerak, kami disepak. Tapi sekarang tidak lagi,” ujar Alimuddin (40), penari saman lainnya.
Adu saman
Dalam bejamu besaman, saman ditarikan hampir sepanjang hari selama dua hari lamanya. Saman hanya berhenti saat waktu salat dan saat pergantian hari atau pukul 12 malam. “Tengah malam itu paling istirahat satu sampai dua jam, setelah itu lanjut lagi,” kata Syarifuddin.
Bejamu besaman merupakan tradisi warisan leluhur yang tujuannya merekatkan persaudaraan orang Gayo. Tradisi ini biasa digelar saat Idul Adha atau pasca-panen raya.
Di dalamnya, salah satu kampung Gayo mengundang kampung Gayo lainnya. Sebelumnya, laki-laki kedua kampung itu dibagi ke banyak kelompok tari dengan setiap kelompok minimal terdiri atas sepuluh penari. Hanya laki-laki yang dipilih karena itulah ciri khas dari saman, hanya ditarikan oleh laki-laki.
Kemudian di kampung tuan rumah, kelompok tari tuan rumah “beradu” saman dengan kelompok tamu.
“Penari tuan rumah memeragakan saman yang sudah dimodifikasi, penari tamu harus bisa menirunya. Kalau tidak bisa, ya kalah. Kemudian nanti gantian, terus seperti itu selama dua hari,” tutur Alimuddin.
Tidak ada hadiah bagi kelompok yang menang. Tak ada pula sanksi bagi kelompok yang kalah. Bejamu besaman murni untuk mempererat persaudaraan orang Gayo.
Baca juga: Jaga Pakem Tari Saman Sembari Kembangkan Kreasinya
Persaudaraan lebih kuat terjalin karena selama dua hari tamu tinggal di rumah-rumah kampung tuan rumah. Tamu dijamu sepenuhnya. Dari mulai makanan, minuman, kasur hingga peralatan mandi. Tak sebatas itu, dalam perjumpaan itu, masing-masing tak sungkan membantu saat salah satu sedang butuh bantuan.
“Contohnya ada yang cerita anaknya mau kuliah, pihak lainnya ikut membantu tanpa diminta,” tambah Alimuddin.
Ikatan persaudaraan pun berlanjut setelah bejamu besaman. Saat salah satu mendengar “kerabatnya” sedang tertimpa musibah misalnya, tanpa perlu diminta mereka membantu sebisanya.
Dalam arti kata lain, tidak hanya bejamu besaman yang merekatkan persaudaraan Gayo tetapi juga saman sebagai atraksi utama pada setiap bejamu besaman.
Gerak dan syair
Pesan-pesan leluhur sejatinya tersirat pula dalam hampir setiap gerak saman. “Gerak menggeleng-gelengkan kepala itu seperti saat dzikir. Dalam arti kata lain, gerak itu ingin menyampaikan agar kita selalu ingat Allah,” ujar Syarifuddin.
Selain itu, gerak membolak-balikkan telapak tangan yang menyiratkan pesan agar orang Gayo menerima perbedaan. Masih dari gerak telapak tangan itu, menyiratkan pula pesan agar orang Gayo tidak hanya menerima tetapi juga memberi dalam hidup.
Menurut Bupati Gayo Lues Muhammad Amru, saman juga seringkali dijadikan media untuk melampiaskan kegembiraan.
“Kalau ada pegawai yang naik pangkat atau gajinya naik contohnya, mereka biasanya refleks menggerakkan saman. Tapi gerakan dasar saman. Jadi, tangannya saja yang gerak-gerak menepuk dada dan paha,” katanya sambil tersenyum.
Selain dalam hampir setiap geraknya, syairnya pun bermakna, berisi ajaran-ajaran agama, nasehat, percintaan hingga sindiran. “Ada syair yang memang warisan leluhur, turun-temurun diajarkan tetapi banyak juga yang baru diciptakan dengan melihat perkembangan terkini,” kata Syarifuddin.
Baca juga: Aceh Godok Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata
Pelestarian saman
Saman sebagai warisan budaya leluhur ditambah lagi kuatnya nilai-nilai dalam saman mendorong pemerintah untuk terus melestarikan, bahkan mengembangkannya.
Festival Saman salah satunya. Festival merupakan buah kerja sama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Pemerintah Kabupaten Gayo Lues, dan Indonesiana, platform pendukung pemajuan kebudayaan Indonesia yang diinisiasi oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud.
Festival digelar selama tiga bulan di 11 desa di semua kecamatan di Gayo Lues secara bergantian. Tahun 2019, menjadi gelaran kedua festival setelah sebelumnya digelar tahun lalu.
Festival yang di dalamnya menonjolkan saman dan bejamu besaman itu, selalu ditutup pada akhir November.
Pemilihan akhir November, menurut Dede Pramayoza, salah satu tim ahli kurasi dan produksi Indonesiana, bertepatan dengan peringatan Hari Saman Internasional, setiap 24 November.
Tanggal itu merujuk pada penetapan saman sebagai warisan budaya tak benda oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa, 24 November 2011.
Upaya pelestarian dan pengembangan saman tak berhenti di situ. Bupati Amru bercita-cita membangun Museum Saman di Gayo Lues. Museum nantinya akan jadi tempat untuk memamerkan pesona saman, mulai dari sejarahnya, filosofi yang terkandung di dalamnya, hingga gerak tarinya. Selain itu, museum bakal jadi tempat untuk berlatih dan mengembangkan gerakan saman.
Baca juga: Dukungan Pusat Diharapkan untuk Museum Saman
https://youtu.be/R-1g1ljOQyc
Untuk merealisasikan mimpi itu, dia mengatakan Pemerintah Kabupaten Gayo Lues telah menyiapkan lahannya. Hanya saja untuk merealisasikannya, sokongan dari pusat dibutuhkan.
“Saman bagi orang Gayo tak sebatas hiburan, saman juga bagian dari kehidupan. Oleh karena itu saman harus terus dilestarikan dan dikembangkan,” tambah Amru.
Maka, saman teruslah menari menghibur masyarakat dan menyampaikan pesan-pesan untuk menuntun generasi penerus.