Masa Depan Golkar dalam Pusaran Konflik
Konflik seperti tak pernah lepas dari Golkar. Bahkan, tak sedikit yang memandang konflik di hampir setiap gelaran Munas Golkar adalah hal yang biasa. Padahal, konflik demi konflik merugikan partai.
Sudah lama Partai Golkar tak mengajukan kadernya sebagai calon presiden. Suara Golkar pascareformasi pun terus menukik. Musyawarah Nasional Golkar 2019 seharusnya dimanfaatkan untuk membalikkan kondisi itu pada Pemilu 2024. Namun, konflik akibat perebutan kursi ketua umum berpotensi mengganjal, seperti konflik berulang yang selalu menghambat gerak partai selama ini.
Konflik di antara dua elite Golkar, Aburizal Bakrie dan Agung Laksono, saat Musyawarah Nasional (Munas) Golkar 2014 bisa jadi merupakan konflik terlama di tubuh partai yang kini telah berusia 55 tahun itu. Hampir dua tahun lamanya keduanya sama-sama mengklaim sebagai ketua umum Golkar.
Perpecahan kala itu sudah terdeteksi sejak Pemilu Presiden 2014. Sejumlah kader partai yang memilih mendukung calon presiden-wakil presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla dipecat Ketua Umum Golkar saat itu, Aburizal Bakrie, karena bertentangan dengan kebijakan partai yang mengusung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Menyusul kekalahan Prabowo-Hatta, kedudukan Aburizal sebagai ketua umum mulai doyong. Internal Golkar bergeliat, menuntut percepatan munas. Namun, Aburizal bergeming, munas tetap digelar awal Desember 2014. Kemudian, sebagai calon tunggal di munas, dia terpilih kembali sebagai ketua umum.
Baca juga: Golkar dan Kutukan Pilpres
Alih-alih meredam, pasca-munas konflik justru menguat. Kubu kontra Aburizal menggelar munas tandingan dan dari munas tersebut Agung Laksono terpilih menjadi ketua umum Golkar.
Selanjutnya, kedua kubu saling lapor ke kepolisian. Kedua kubu saling gugat di pengadilan. Kepengurusan ganda pun berimbas ke kerja partai di parlemen. Selain itu, berimbas pula pada persiapan menuju Pemilihan Kepala Daerah 2015 di 269 daerah.
Konflik tersebut baru bisa berakhir pertengahan Mei 2016 saat digelar Musyawarah Nasional Luar Biasa 2016.
”Konflik panjang menjadi salah satu penyebab suara partai tergerus pada 2019 selain karena korupsi yang menjerat Ketua Umum Golkar (2016-2017) Setya Novanto, dua tahun menjelang Pemilu 2019,” kata Ketua DPP Partai Golkar Tubagus Ace Hasan Syadzily.
Pada Pemilu 2019, raihan suara Golkar 17,2 juta atau turun dibandingkan dengan Pemilu 2014 yang 18,4 juta suara.
Baca juga: Golkar Menahan Erosi Elektabilitas
Jika dirunut ke belakang, sejarah Munas Golkar hampir selalu sarat dengan konflik. Ketatnya persaingan menjadi ketua umum Golkar dalam Munas Luar Biasa (Munaslub) Golkar pada 11 Juli 1998, misalnya, membuat Edi Sudradjat, kandidat yang kalah, memilih membentuk partai baru, Partai Keadilan dan Persatuan.
Kemudian, menjelang Munas Golkar 2004, giliran Ketua Umum Golkar (1998-2004) Akbar Tandjung yang dijegal. Sebelum munas digelar, misalnya, sejumlah pengurus tingkat II Golkar bertemu mantan Wakil Presiden Sudharmono serta sejumlah mantan pejabat dan menteri pada era Orde Baru (Kompas, 3/12/2004).
Ditambah lagi, Jusuf Kalla yang saat itu menjabat wakil presiden maju dalam pemilihan menjelang batas akhir pendaftaran serta berhasil mengajak Agung Laksono dan Surya Paloh bergabung, bersama-sama mengalahkan Akbar. Padahal, sebelumnya Agung dan Surya juga memutuskan maju dalam pemilihan.
Alhasil, dalam munas, Akbar, yang sebenarnya berhasil membawa Golkar menjadi partai pemenang Pemilu 2004, takluk kepada Kalla.
Konflik pun berulang di Munas 2009. Munas yang memilih Aburizal Bakrie sebagai ketua umum tak diterima kandidat ketua umum lainnya. Kandidat lain, seperti Surya Paloh, Yuddy Chrisnandi, dan Hutomo Mandala Putra, menilai pemilihan sarat kecurangan, salah satunya politik uang (Kompas, 9 Oktober 2009).
Selang satu tahun, Surya Paloh memilih mendirikan Nasdem yang kemudian menjadi partai pada 2011. Tak sedikit yang menduga Nasdem didirikan akibat kekecewaannya atas peristiwa yang terjadi saat Munas Golkar 2009.
Baca juga: Persaingan Ketua Umum Bakal Sengit
Munas 2019
Kini, menjelang Munas Golkar 2019, publik kembali menyaksikan konflik antara Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto dan Bambang Soesatyo yang berambisi menjadi ketua umum Golkar. Intrik kedua kubu sempat meredam saat Airlangga dan Golkar memutuskan mengusung Bambang menjadi Ketua MPR 2019-2024. Namun, kembali menghangat beberapa pekan belakangan.
Tensi diperkirakan kian hangat karena tak hanya Airlangga dan Bambang, tetapi ada kader Golkar lain yang juga memutuskan maju dalam pemilihan ketua umum Golkar dalam Munas Golkar 2019.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana melihat, kemunculan sejumlah faksi yang berujung pada ketegangan di internal menjelang pemilihan ketua umum merupakan hal yang biasa. Fenomena ini tidak hanya terjadi pascareformasi, tetapi juga sejak masa Orde Baru.
”Suasana panas itu justru menunjukkan kekuatan Golkar sebagai partai yang berbeda dengan partai lainnya yang cenderung hanya menunjukkan ketokohan salah satu kader,” ujar Aditya.
Sekalipun panas, dia menilai Golkar memiliki kepiawaian mengelola konflik sehingga tak semuanya destruktif. Setelah konflik, mereka mampu membangun konsensus yang lebih kuat.
Baca juga: Hindari Perpecahan, Peserta Munas Golkar Tentukan Calon Ketua Umum
Akan tetapi, Direktur Eksekutif Charta Politica Yunarto Wijaya berpendapat, partai berlambang pohon beringin itu akan lebih tangguh jika memiliki manajemen konflik yang lebih baik.
Dengan demikian, tak perlu lagi ada kader yang keluar dari Golkar dan membuat partai baru, seperti Wiranto, Prabowo, dan Surya Paloh, yang justru ikut menggerus suara partai.
Selain itu, soliditas juga bisa membuat segenap kader Golkar berfokus untuk menggapai target yang lebih besar. Salah satunya membalikkan suara partai yang terus menurun pascareformasi.
Pada Pemilu 1999, Golkar masih dipilih oleh 23,7 juta orang, sedangkan dalam Pemilu 2019 suaranya 17,2 juta orang.
Tak hanya itu, soliditas juga bisa membawa Golkar menempatkan kadernya maju sebagai calon presiden (capres) dalam pemilu presiden (pilpres) sekaligus memenangkannya.
Suatu hal yang sudah lama tak pernah terlihat dari Golkar sekalipun kader-kadernya sudah teruji menghadapi ujian-ujian politik yang tidak ringan. Terakhir kali Golkar menempatkan kadernya sebagai capres terjadi dalam Pilpres 2009, yaitu Jusuf Kalla. Itu pun gagal. Bahkan, sejak reformasi, kader sendiri yang diusung oleh Golkar tak pernah memenangi pilpres.
Baca juga: Pelajaran dari Sejarah Konflik Internal
Pada Pilpres 2004 dan 2014, Kalla sebagai calon wakil presiden (cawapres) memang berhasil terpilih bersama pasangannya, capres Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004 dan Joko Widodo pada 2014. Namun, dalam dua pemilu tersebut, Golkar tak termasuk di dalam koalisi partai politik yang mengusung Kalla.
Munas Golkar 2019 hendaknya menangkap pula realita Golkar pascareformasi tersebut sehingga tak sepenuhnya larut dalam perebutan kekuasaan, apalagi sampai berkonflik kembali. ”Kedepankan adu program, adu gagasan, daripada intrik-intrik yang kental dengan perebutan kekuasaan, seperti terlihat beberapa pekan belakangan,” kata Yunarto Wijaya.
Adu program lebih penting sehingga kader yakin ketua umum terpilih memang memiliki kapasitas menakhodai Golkar menghadapi Pemilu 2024. Selain itu, keuntungan buat Golkar karena kematangan demokrasi di tubuh Golkar akan diapresiasi publik.
Pemilu 2024 pun menjadi momentum Golkar untuk membalikkan realita yang ada pascareformasi. Untuk menggapai tujuan tersebut, harus sudah dimulai sejak Munas Golkar 2019. Sebab, untuk memperoleh kepercayaan publik, kerja-kerja politik tak bisa hanya dilakukan mendekati pemilu.
Wakil Sekretaris Jenderal sekaligus Juru Bicara Munas Golkar 2019 Christina Aryani mengatakan, Munas kali ini akan menjadi ajang konsolidasi gagasan antarkader. Ada banyak tantangan dan harapan untuk Golkar ke depan yang perlu diperhatikan. Oleh karena itu, sebisa mungkin munas akan menghindari hal-hal yang tak perlu, seperti konflik internal.
Kita tunggu!
(INSAN ALFAJRI/PATRICIA SHARON/KURNIA YUNITA RAHAYU/DHANANG DAVID ARITONANG)