Kita dan Kubangan Kotak-kotak Hoaks
Pertarungan politik menciptakan polarisasi antarkelompok masyarakat yang semakin parah. Pada akhirnya polarisasi membenamkan masyarakat yang telah terkotak-kotak pada kubangan-kubangan hoaks yang mereka ciptakan.
Pertarungan politik menciptakan polarisasi antarkelompok masyarakat yang semakin parah. Orang bahkan sampai tidak sadar bahwa perilaku dan tindakannya disetir kelompok-kelompok yang mereka ciptakan.
Kemajuan ilmu teknologi semakin memudahkan orang terkumpul dalam label-label tertentu, entah pilihan politik, agama, suku, etnis, atau hobi. Kecenderungan yang muncul dalam kelompok-kelompok tersebut adalah menguatnya eksklusivitas.
Sebelum Pemilihan Presiden 2019, polarisasi di masyarakat menguat hingga memunculkan kubu ”Kampret” dan ”Cebong” yang terus-menerus bersitegang, bahkan hingga terpilihnya presiden definitif. Sebagian orang berpikir, ”peperangan” dua kubu ini akan berakhir setelah pilpres selesai, tetapi polarisasi itu rupanya terus bergulir.
”Pada awalnya, kubu tertentu merasa senang ketika kelompok lain tertimpa musibah atau masalah. Lama-lama mereka berpartisipasi membuat hal-hal buruk menimpa kelompok sebelah, misalnya dengan mengorek-ngorek catatan buruk kelompok sebelah lalu mengunggahnya ke media sosial agar publik ikut curiga,” kata Presidium Komunitas Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Anita Wahid dalam seminar Bahaya Hoaks dan Cara Menangkalnya pada ajang Festival Media 2019 yang digelar Aliansi Jurnalis Independen di Jambi, Minggu (17/11/2019).
Baca juga : Polarisasi Versus Demokrasi
Dalam kubu-kubu, rata-rata setiap anggotanya hanya melihat hal-hal yang bagus mengenai kelompoknya saja dan segala sesuatu yang buruk dari kelompoknya cenderung diabaikan alias dibiarkan. Kalaupun kelompok itu disodori fakta-fakta buruk tentang mereka, dengan mati-matian orang-orang di dalamnya akan membuat justifikasi. Sebaliknya, jika hal negatif tersebut dilakukan oleh kelompok lain, tidak ada ampun bagi kelompok itu, kalau perlu dihajar habis-habisan.
Dalam situasi seperti ini, ibaratnya kita menjadi sulit melihat ketidakadilan yang dilakukan kelompok kita, tetapi mudah sekali melihat ketidakadilan dari luar kelompok kita. Efek mengkhawatirkan dari polarisasi ini adalah tidak ada lagi kemauan dari kelompok-kelompok yang berseberangan itu untuk bersatu.
Efek mengkhawatirkan dari polarisasi ini adalah tidak ada lagi kemauan dari kelompok-kelompok yang berseberangan itu untuk bersatu.
”Kelompok-kelompok ini tak mau lagi membicarakan nasib bangsa bersama-sama. Di kepala mereka hanya ada salah dan benar. Kelompok A beranggapan, kalau mau memikirkan bangsa ini, harus dengan cara kelompoknya. Sebaliknya juga kelompok B. Lalu, bagaimana nasib bangsa kita ke depan kalau seperti ini?” ujar putri presiden ke-4 RI Adurrahman Wahid tersebut.
”Kebenaran” untuk kepentingan
Polarisasi pada akhirnya membenamkan masyarakat yang telah terkotak-kotak pada kubangan-kubangan hoaks yang mereka ciptakan sendiri. Meskipun orang lain telah melakukan verifikasi terhadap sebuah fakta, kadang orang tetap akan berburu verifikasi demi menunjang kepentingannya. Sementara ketika ada orang dari kelompok lain terkena hoaks, mereka hanya berdiam diri. Ironisnya, semua merasa telah melakukan sesuatu untuk bangsa ini.
Meskipun orang lain telah melakukan verifikasi terhadap sebuah fakta, kadang orang tetap akan berburu verifikasi demi menunjang kepentingannya.
Permasalahan serius dari masalah ini, menurut Anita, adalah modal sosial kita semakin terkikis, pemikiran kritis kita rusak, kemampuan untuk berempati rendah, dan rasa belas kasih kita terhadap mereka yang berbeda pilihan ideologi, politik, agama, suku, dan sebagainya tidak ada. Yang semakin mengkhawatirkan lagi adalah kapasitas kita untuk memanusiakan sesama akhirnya hilang. Semua berpikiran orang lain yang berbeda sebagai setan atau iblis yang merusak bangsa. Mengerikan!
”Jadi, pekerjaan rumah kita bukan lagi sekedar soal menelaah informasi yang benar atau salah, hoaks atau tidak, tetapi mengenai bagaimana kita. Tanpa sadar, kita dijadikan sebagai pion dengan dimanipulasi emosi kita untuk tujuan kepentingan-kepentingan tertentu,” katanya.
Baca juga : Ada Intoleransi di Balik Polarisasi Masyarakat
Karena itu, fokus bersama ke depan semestinya adalah melihat, apakah memang segala isu yang ada di masyarakat benar-benar untuk kepentingan rakyat atau untuk agenda-agenda tertentu? Dengan demikian, praktik cek fakta menjadi sangat perlu agar masyarakat tidak terjebak dalam pemikiran-pemikiran dikotomis kelompok A atau kelompok B agar siapa pun bisa bersikap kritis dan waswas terhadap informasi-informasi yang muncul bertubi-tubi dari segala penjuru.
Pada akhirnya, polarisasi harus segera diretas dengan membangun visi bersama-sama. Sebab, jika orang masih berkutat pada gap-gap, dipastikan yang muncul hanyalah perlombaan kepentingan sektoral semata.
Mendesak sikap bersama
Kekhawatiran situasi bangsa juga dirasakan 50 tokoh agama dan aktivis lintas iman dari Aceh hingga Papua yang berkumpul dalam forum Dialog dan Kerja Sama Lintas Iman untuk Indonesia yang Lebih Baik, Damai, dan Toleran secara Kritis-Konstruktif di Yogyakarta, 19-20 November 2019. Forum yang diinisiasi Institut DIAN/Interfidei ini dihadiri sejumlah tokoh, antara lain Prof Franz Magnis-Suseno SJ, Daniel Dhakidae, Prof Amin Abdullah, Yosep Adi Prasetyo, Elga Sarapung, Yayah Khisbiyah, para birokrasi lokal, pemuka agama, ustaz, pendeta, pastor, tokoh penghayat agama leluhur, akademisi, guru sekolah menengah, dan aktivis lintas iman.
Menurut perwakilan forum Elga Sarapung, forum dialog dan kerja sama lintas iman ini dilatarbelakangi keprihatinan atas terjadinya pelbagai kasus intoleransi, kecenderungan meningkatnya konservatisme dalam beragama yang dipahami dan dipraktikkan secara keliru, serta terjadinya sejumlah kasus ekstremisme-terorisme di sejumlah daerah. Para tokoh juga mencemaskan berkembangnya pandangan dan sikap intoleran ke institusi pendidikan serta pemanfaatan identitas agama sebagai kendaraan politik dan ekonomi.
Forum pada akhirnya merumuskan poin-poin rekomendasi yang ditujukan kepada pemerintah, masyarakat sipil, dan media. Rekomendasi untuk pemerintah, antara lain, desakan agar negara tidak boleh toleran terhadap kelompok intoleran, perlunya penguatan fungsi Ombudsman dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila untuk meninjau setiap kebijakan publik yang diskriminatif dan intoleran, serta mendorong pemerintah segera membuat undang-undang perlindungan umat beragama dan kepercayaan.
Rekomendasi untuk pemerintah, antara lain, desakan agar negara tidak boleh toleran terhadap kelompok intoleran.
Baca juga : Franz Magnis: Negara Harus Intoleran terhadap Intoleransi
Adapun rekomendasi untuk masyarakat sipil, antara lain, mendorong masyarakat menggunakan gawai secara cerdas dan bertanggung jawab, memperkaya konten positif di media sosial yang mendorong praktik-praktik toleransi, serta mendesak Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) agar meminta semua media tidak menggunakan media sosial sebagai bahan pemberitaan sebelum melakukan cek fakta.
Forum ini juga menyampaikan rekomendasi kepada media. Ada empat butir masukan yang disampaikan. Pertama, mendorong platform media sosial bertanggung jawab menangkal konten-konten kebencian dan melakukan langkah tegas bagi bot (akun palsu) dan buzzer yang menyebarkan konten kebencian.
Kedua, mendorong media untuk ikut mengampanyekan toleransi dan memberitakan contoh-contoh keteladanan kepada publik. Ketiga, mendorong media untuk mencari dan menggunakan kutipan-kutipan atau khotbah tokoh agama yang menyejukkan/mendorong toleransi. Keempat, mendorong media untuk tetap setia pada prinsip-prinsip jurnalisme yang berlaku di Indonesia dalam memberitakan isu agama dan keyakinan/kepercayaan.
Kembali lagi, seluruh elemen masyarakat mesti bahu-membahu membangun visi bersama ke depan. Dengan demikian, kita bisa bangkit dari ”kubangan” kotak-kotak hoaks.