Stigma Mendorong Saya Meliput tentang Prostitusi
Meliput hal yang terselubung memang membuat jantung berdebar dan rasa takut memuncak. Namun, semuanya terbayar setelah berhasil wawancara, seperti yang saya rasakan seusai wawancara pertama saya dengan Sela.
Prostitusi kerap disebut sebagai pekerjaan tertua di dunia. Dalam cerpen On the City Wall di buku In Black and White (1888), Rudyard Kipling menyebutnya sebagai the most ancient profession in the world. Kini, prostitusi tetap eksis dan berkembang sedemikian rupa dengan hadirnya platform dalam jaringan (daring). Praktiknya pun ada di kota mana saja, termasuk di Manado, Sulawesi Utara.
Sebenarnya, prostitusi daring bukan hal baru di Manado. Pada 2018, kota ini sempat dihebohkan dengan sebuah aplikasi percakapan (chatting) yang disalahgunakan untuk prostitusi daring.
Para pelaku di dalamnya kemudian bermigrasi ke dua aplikasi lain setelah praktik prostitusi via aplikasi tersebut terendus polisi. Bahkan, ada yang sempat diproses hukum.
Di dua aplikasi tersebut, pengguna juga tetap bisa menemukan fitur khusus yang mampu mempertemukan dua pihak dalam radius tertentu.
Prostitusi bak lagu lama yang terus-menerus diputar tak hanya di Manado, tetapi juga di kota-kota lain di Indonesia. Namun, ada sesuatu yang mendorong saya ingin menguak sedikit tentang mereka yang berkecimpung di dunia seks komersial di Manado, yaitu stigma.
Laki-laki dari berbagai kalangan sepakat bahwa para perempuan Manado (dan Sulut) cantik dan rupawan. Sayangnya, berbagai julukan lain juga disematkan kepada mereka, seperti ”ubi kupas” atau ”bibir manado” yang seolah harus ”dicoba”. Entah berapa orang mengatakannya kepada saya sejak saya dipindahtugaskan ke Manado, April 2019.
Ungkapan ini muncul, misalnya, dari mulut Melky (nama samaran, 28) saat nongkrong di sebuah kafe di kawasan bisnis Megamas pada suatu malam awal Agustus lalu. Sambil tersenyum, ia mengomentari kecantikan beberapa perempuan yang lalu lalang di depan mejanya.
”Wah, boleh ini. Kemari dong, manis,” celetuk warga Manado ini sambil sesekali bersiul yang untungnya tidak terdengar oleh yang dimaksud.
Melky kemudian menceritakan pengalamannya memanfaatkan sebuah aplikasi untuk mencari wanita panggilan secara daring. Sebuah cerita yang membuat miris. Terlebih karena dikisahkannya sambil tertawa-tawa.
Berangkat dari pengalaman Melky menggunakan aplikasi untuk mendapatkan jasa layanan seks komersial, saya lantas mencoba menggunakan aplikasi yang sama untuk mulai menelusuri praktik prostitusi daring.
Kucing-kucingan
Meliput hal yang terselubung memang membuat jantung berdebar-debar dan rasa takut memuncak. Namun, semuanya terbayar setelah berhasil wawancara, seperti yang saya rasakan dalam wawancara pertama dengan wanita bernama Sela (20), seorang lulusan SMK.
Ia menjadi pintu masuk bagi saya memahami dunia prostitusi daring, sekaligus membiasakan diri masuk ke ranah abu-abu kehidupan malam. Tidak saya mungkiri, wawancara dengan Sela membuat jantung saya berdebar hebat.
Saya takut jika ternyata ia punya muncikari yang diam-diam mengawasi tamu yang singgah. Di Manado, kasus penikaman cukup lumrah terjadi dan itu yang paling saya takutkan seandainya Sela punya germo yang menjaganya.
Baca juga: Menyibak Prostitusi Daring di Manado
Di saat yang sama, debar jantung dan adrenalinlah yang saya cari dari profesi sebagai wartawan. Saya harus melihat sendiri dan mencari tahu agar pembaca tidak perlu repot-repot untuk mengatasi rasa ingin tahunya. Untungnya, semua rasa takut terbayar setelah berhasil wawancara.
Di wawancara kedua, saya berusaha mencari profil yang berbeda, yaitu lulusan universitas. Beruntung, seorang kenalan merekomendasikan saya untuk mewawancarai seseorang dengan akun bernama Jeje.
Berbeda dari wawancara dengan Sela, saya memutuskan untuk mengaku dari awal bahwa saya hanya ingin ngobrol. Jeje menyepakati, tetapi ia meminta jaminan berupa pulsa tanpa menyebut nominal yang diinginkan.
Saya tawarkan pembayaran langsung ketika tatap muka, tetapi ia mengeluarkan jurusnya. ”Ya sudah, nda usah kalu nyanda baku percaya (tidak usah kalau tidak saling percaya),” katanya.
Karena sedang semangat-semangatnya, saya dengan lugu mengiriminya pulsa Rp 200.000, sebuah keputusan yang saya pertanyakan kepada diri sendiri sedetik setelah saya ambil.
Jeje kemudian mengirim lokasi yang disebutnya sebagai tempat indekosnya, lalu kami sepakat bertemu pukul 20.00 Wita. Dan ternyata benar, alamat yang dia kirim tidak jelas.
Akun saya ternyata dia blok, sementara nomor ponsel yang saya isikan pulsanya tak bisa dihubungi. Semangat liputan yang terlalu menggebu telah ”membodohi” diri saya sendiri.
Walakin, saya bukannya tak punya strategi. Saya berhasil mengantongi nomor telepon Jeje dari teman saya yang pernah berkenalan dengannya. Praktik bertukar nomor ponsel cukup umum di antara ”penjual” dan ”pembeli” jasa agar transaksi selanjutnya bisa lebih cepat.
Dengan aplikasi tertentu, kenalan saya itu bisa menemukan nama asli Jeje. Nama itu pula yang mengantarkan saya pada akun media sosial yang bersangkutan. Salah satu fotonya mengonfirmasi bahwa ia adalah seorang lulusan fakultas hukum sebuah universitas di Tomohon.
Saya pun memutuskan untuk menelepon Jeje. Ketika diangkat, saya sebutkan nama aslinya dan bahwa ia sudah punya janji untuk mengobrol dengan saya. ”Hah? Salah sambung mungkin,” katanya dengan nada tinggi.
Beberapa saat kemudian, akun percakapan Jeje mengirimkan chat kepada saya, ”Kamu siapa? Kamu orang baik-baik bukan?”
Singkat cerita, akhirnya Jeje sepakat bertemu di sebuah hotel. Namun, janji seseorang tak bisa dijamin hanya lewat aplikasi chatting. Ternyata, Jeje mengirim orang lain untuk datang ke lokasi.
Wanita yang menemui saya itu adalah admin akun Jeje. Ia mengaku mahasiswa fakultas pertanian salah satu universitas di Manado. Namun, tentu saya tak bisa memverifikasinya karena tak memiliki bekal identitas apa pun. Saya mencoba maklum dan mulai mengajaknya ngobrol, tetapi dia menolak.
”Buat apa tanya-tanya? Saya enggak suka. Kalau memang tidak jadi, saya pulang saja,” kata perempuan yang mengaku bernama Jelita itu.
Akhirnya, wawancara tetap batal. Uang Rp 200.000 sekaligus sekotak piza sebagai bentuk keramahan melayang. Setidaknya, dari kegagalan wawancara itu, saya belajar berhati-hati dalam membuat janji dengan orang yang tak dikenal via platform daring, apalagi di dunia malam yang tidak saya kenal.
Dalam proses peliputan prostitusi daring ini, total saya mewawancarai sembilan perempuan. Bagi mereka, waktu adalah uang dan identitas diri mutlak harus dilindungi. Mewawancarai mereka harus diakui memang perlu disertai iming-iming bayaran sesuai tarif yang mereka tetapkan saat menerima tamu.
Mengambil foto untuk artikel-artikel ini juga butuh iming-iming duit. Sebab, mereka membiarkan sedikit ciri-ciri fisik mereka terlihat publik. Saya berusaha menyisipkan obrolan selama proses pengambilan foto untuk menumbuhkan kepercayaan mereka.
Hasil peliputan saya kemudian dikemas dalam sajian multimedia dengan judul Menyibak Prostitusi Daring di Manado. Setelah tulisan itu dipublikasikan, saya cukup senang mengetahui respons publik di jagat pencuit, Twitter.
Cuitan saya disukai lebih dari 11.000 kali. Cuitan pendahuluan sebelum tulisan ditayangkan juga disukai lebih dari 17.000 kali dan di-retweet ribuan kali. Namun, jumlah itu bisa saja tidak berbanding lurus dengan kualitas membaca mereka yang mengklik.
Terlepas dari itu, saya cukup senang karena beberapa warganet menyebarkannya kepada teman-teman mereka. Selain ada yang mengapresiasi, ada pula yang mengkritik. Sebuah tantangan di masa depan untuk lebih peka terhadap perspektif jender.
Prostitusi daring adalah paradoks, hal tabu yang bisa diakses semua orang. Di Manado, praktik itu dianggap normal karena berbagai stigma yang disematkan kepada perempuan.
Para lelaki merasa bisa menguasai perempuan. Namun, nafsu menguasai itulah yang tidak jarang berbalik menjadi kelemahan mereka sehingga prostitusi daring berubah menjadi penipuan daring.