Larangan Bekas Napi Korupsi Maju di Pilkada Dicabut
Sebagai gantinya, Peraturan KPU Nomor 18/2019 melimpahkan ke partai politik untuk memutuskan mantan napi korupsi yang ingin maju di pilkada. Saat seleksi oleh partai, bakal calon harus diutamakan bukan terpidana korupsi.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA/KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Larangan bagi bekas narapidana korupsi untuk maju dalam pemilihan kepala daerah atau pilkada tidak tertera di Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pencalonan Pilkada. Padahal, sebelumnya, komisi memasukkan larangan itu, salah satunya berkaca pada kasus korupsi kepala/wakil kepala daerah yang berulang.
Saat produk hukum itu masih berupa rancangan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) memasukkan larangan tersebut pada Pasal 4 Ayat (1) huruf H. Pasal itu berbunyi, ”Warga negara Indonesia dapat menjadi calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau wali kota dan wakil wali kota dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut: bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi.”
Namun, pada dokumen Peraturan KPU (PKPU) Nomor 18 Tahun 2019 yang diunduh dari laman resmi KPU, Kamis (5/12/2019), Pasal 4 Ayat (1) huruf H tidak lagi melarang mantan terpidana korupsi. Yang dilarang hanya mantan terpidana bandar narkoba dan mantan terpidana kejahatan seksual terhadap anak.
Sebagai gantinya, PKPU No 18/2019 melimpahkan kepada partai politik dan KPU di daerah terkait mantan napi korupsi yang ingin maju dalam pilkada. Di Pasal 3A disebutkan, bakal calon harus diutamakan bukan terpidana korupsi.
Lengkapnya, Pasal 3A Ayat (2) berbunyi, setiap partai politik melakukan seleksi bakal calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau wali kota dan wakil wali kota secara demokratis dan terbuka sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, dan/atau peraturan internal masing-masing partai politik.
Kemudian Pasal 3A Ayat (3) berbunyi, dalam seleksi bakal calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau wali kota dan wakil wali kota secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) mengutamakan bukan mantan terpidana korupsi.
Selanjutnya, Pasal 3A Ayat 4 berbunyi, bakal calon perseorangan yang dapat mendaftar sebagai calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau wali kota dan wakil wali kota diutamakan bukan mantan terpidana korupsi.
Pasal 3A ini baru dihadirkan di PKPU No 18/2019. Di PKPU No 3/2017 yang digantikan oleh PKPU No 18/2019, pasal tersebut belum ada. PKPU No 18/2019 ditetapkan pada 2 Desember 2019, dan ditandatangani Ketua KPU Arief Budiman.
Meski demikian, Arief Budiman yang dihubungi Kompas, Kamis (5/12/12019), enggan berkomentar banyak tentang hilangnya larangan mantan napi korupsi maju dalam pilkada pada PKPU No 18/2019. Alasannya, dia tidak mengikuti proses harmonisasi produk hukum itu dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Dia hanya menyebut, jika larangan tetap dimasukkan, regulasi yang mengatur soal pencalonan kepala/wakil kepala daerah di pilkada itu tidak bisa diundangkan. ”Ya karena kalau tidak begitu, tidak bisa diundangkan,” ucapnya.
Untuk diketahui, sebelum regulasi pencalonan itu diundangkan, KPU menyerahkan draf rancangan PKPU ke Kemenkumham untuk proses harmonisasi. Proses ini untuk menyesuaikan seluruh aturan di draf rancangan PKPU dengan aturan perundang-undangan lainnya supaya tidak tumpang-tindih atau bertabrakan satu sama lain.
Kasus korupsi
Padahal, sebelum draf PKPU diajukan, KPU masih konsisten dengan sikapnya untuk mengatur larangan tersebut. Alasannya, antara lain, KPU ingin menghadirkan calon pemimpin daerah yang berintegritas kepada publik.
Selain itu, KPU juga berkaca pada sejumlah kasus korupsi selama ini, yakni kepala/wakil kepala daerah yang sudah pernah divonis korupsi kembali melakukan korupsi saat menjabat kepala/wakil kepala daerah.
Kasus terbaru, Bupati Kudus Muhammad Tamzil yang ditangkap tangan KPK karena diduga menerima hadiah atau janji pengisian jabatan, Juli 2019. Pada 2014, Tamzil pernah divonis bersalah dalam kasus korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Kudus. Setelah bebas pada 2015, dia maju pada Pilkada Kudus 2018 dan terpilih.
Alasan ketiga, Arief pernah mengatakan dasar pencantuman pelarangan pencalonan mantan napi korupsi di pilkada diadopsi dari persyaratan calon presiden yang melarang mantan napi korupsi.
”Pemilu kita ini, kan, jelas untuk memilih presiden, DPD, DPR, dan kepala daerah sehingga mestinya, kan, punya regulasi yang sama. Kan, mereka nanti berpartner dalam menjalankan pemerintahan,” katanya.
Menkumham Yasonna H Laoly, di Kompleks Parlemen, Jakarta, membenarkan, larangan bagi mantan napi korupsi maju di pilkada tidak diatur dalam PKPU No 18/2019. Menurut dia, sekalipun larangan tersebut bertujuan baik, mencantumkannya dalam PKPU adalah hal yang bertentangan dengan mekanisme pembentukan perundang-undangan.
”Ketentuan yang menghilangkan hak seseorang itu harus diatur dengan undang-undang. Itu merupakan hal yang paling prinsipil,” kata Yasonna.
Sementara di Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pilkada maupun UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dan aturan perundang-undangan lainnya, larangan itu tidak diatur. Ditambah lagi, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan yang menyatakan mantan napi korupsi bisa menjadi peserta pilkada.
Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 menyatakan, mantan napi korupsi dapat maju di pilkada setelah lima tahun mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara. Selain itu, mantan terpidana harus mengumumkan secara terbuka rekam jejaknya sebagai mantan napi korupsi.
Oleh karena larangan tak bisa diatur di PKPU, Yasonna melanjutkan, keputusan soal eks napi korupsi yang ingin maju di pilkada diserahkan kepada partai politik. Partai politik harus mengutamakan bukan mantan napi korupsi saat menyeleksi bakal calon kepala/wakil kepala daerah.
Aturan itu, menurut dia, sudah cukup. Sebab, sejauh ini dia melihat partai politik berkomitmen untuk tidak mengikutsertakan mantan napi korupsi dalam kontestasi pilkada.