PDHI Dorong Pemerintah Deklarasikan Demam Babi Afrika
Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia sudah mendapat informasi ada kasus demam babi afrika di Indonesia, tetapi belum dideklarasikan pemerintah.
Oleh
Subur Tjahjono
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia mendorong Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mendeklarasikan demam babi afrika (african swine fever). Selain merupakan kewajiban dari Organisasi Kesehatan Hewan Dunia, wabah ini berpotensi merugikan secara ekonomi.
”PDHI sudah mendapat informasi ada kasus ASF (african swine fever) di Indonesia, tetapi belum dideklarasikan pemerintah,” ujar Ketua Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PB PDHI) Drh Muhammad Munawaroh di Jakarta, Kamis (5/12/2019).
Dalam pernyataan resminya, Munawaroh menyebutkan, kasus kematian babi pada sejumlah usaha peternakan di Sumatera Utara terus terjadi sejak Agustus 2019 sampai awal Desember 2019 dan mencapai jumlah 20.500 ekor yang mati.
Berdasarkan pengamatan gejala klinis di lapang, perubahan patologi, dan pengujian laboratorium di Balai Veteriner Medan terhadap sampel darah dan organ yang berasal dari babi yang mati atau sakit pada bulan Oktober 2019 dengan menggunakan teknik laboratorium reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) menunjukkan sejumlah sampel positif terhadap ASF. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kematian babi di Sumatera Utara disebabkan oleh virus ASF.
Munawaroh mengingatkan, Indonesia adalah anggota Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) yang berpusat di Paris, Perancis. Setiap negara anggota OIE wajib melaporkan kejadian penyakit hewan di negaranya masing-masing secepatnya.
Sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan serta Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2014 tentang Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan, deklarasi status penyakit hewan atau wabah dilakukan oleh Menteri Pertanian
"PB PDHI meminta pemerintah segera mengumumkan dan menetapkan kasus wabah ASF di Sumatera Utara,” ujar Munawaroh.
Dalam situs web OIE dijelaskan, ASF adalah penyakit virus parah yang menyerang ternak babi dan babi liar. Penyakit ASF menyebabkan kerugian serius produksi dan ekonomi. Penyakit hewan lintas batas ini dapat disebarkan oleh babi hidup atau mati, babi ternak atau babi liar, dan produk babi.
Secara epidemiologi, Indonesia sudah terkepung. Sulit menghindari agar tidak tertular karena sumber penular dan pintu masuk banyak sekali.
Menurut OIE, penularan juga dapat terjadi melalui makanan yang terkontaminasi. Benda mati yang terkontaminasi virus ASF juga dapat menularkan penyakit, seperti sepatu, pakaian, kendaraan, ataupun pisau, karena tingginya ketahanan virus ASF pada lingkungan. Sampai saat ini tidak ada vaksin yang disetujui OIE untuk melawan ASF.
Secara historis, menurut OIE, wabah telah dilaporkan di Afrika dan beberapa bagian Eropa, Amerika Selatan, dan Karibia. Sejak 2007, penyakit ini telah dilaporkan di banyak negara di Afrika, Asia, dan Eropa, baik pada ternak babi maupun babi liar.
Dokter hewan praktisi di Bali, drh Soeharsono PhD, menambahkan, secara epidemiologi, negara tetangga Indonesia sudah tertular virus ASF. Vietnam tertular sejak 12 Februari 2019, Kamboja 2 April 2019, Laos 20 Juni 2019, Myanmar 1 Agustus 2019, Filipina 9 September 2019, dan Timor Leste 27 September 2019.
”Secara epidemiologis Indonesia sudah terkepung. Sulit menghindari agar tidak tertular karena sumber penular dan pintu masuk banyak sekali,” kata mantan penyidik penyakit hewan di Balai Penyidikan Penyakit Hewan Denpasar ini.
Sebagai anggota OIE, seharusnya Indonesia taat mendeklarasikan ASF. ”Biar lambat asal dideklarasikan secepatnya sekarang. Deklarasi bukan sesuatu yang aib, tetapi bukti komitmen sebagai anggota OIE,” kata Soeharsono.
Munawaroh menambahkan, kerugian ekonomi bisa mencapai Rp 4,9 triliun per tahun potensi. Kerugian ekonomi itu, antara lain, dari matinya ternak babi jika mati terserang virus. Saat ini populasi ternak babi di Indonesia sekitar 8,5 juta ekor. Jika Indonesia tertular virus ASF, ekspor babi akan dihentikan.
”Saat ini ekspor babi dari Kepulauan Riau ke Singapura rata-rata 1.000 ekor per hari. Nilainya sekitar Rp 60 miliar per bulan,” kata Munawaroh.