Pusat perbelanjaan bertransformasi terhadap perkembangan digital dengan menghadirkan multisaluran. Kesadaran menyesuaikan diri terhadap teknologi telah berlangsung di mal-mal kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia mencatat, pusat belanja di kota besar yang tanggap digital dengan model multisaluran atau omnichannel menunjukkan hasil yang baik, tingkat okupansi peritel terjaga baik, dan jumlah pengunjung yang terus meningkat. Sebaliknya, performa pusat belanja yang tidak mengadopsi teknologi digital turun hingga 50 persen.
Populasi penduduk usia di bawah 30 tahun yang sangat ”dekat” dengan teknologi digital mendorong pengelola pusat belanja beradaptasi dengan kebutuhan pelanggan. Bahkan, meningkatkan layanan penjualan dalam jaringan.
Pusat belanja sudah menjadi bagian dari gaya hidup. Di akhir pekan, mal menjadi pilihan keluarga untuk rekreasi, tempat bermain, mencicipi aneka kuliner, menikmati hiburan, atau sekadar nongkrong. Peluang ini disadari sejumlah pemilik mal untuk menciptakan konsep yang menarik pengunjung, menyikapi penyewa yang performanya rendah, dan menciptakan kegiatan membidik komunitas.
Dengan memanfaatkan data raksasa berbasis digital, pengelola pusat belanja dapat memetakan tren konsumen, tren belanja, hingga asal konsumen. Dengan basis data itu, strategi promosi yang ditawarkan mal lebih spesifik sesuai target konsumen yang dibidik. Biaya operasional lebih efisien. Aplikasi pusat belanja juga dimanfaatkan sebagai sarana informasi untuk mendekatkan diri dengan konsumen.
Transformasi ke arah digital tak menutup ekspansi pembangunan toko-toko fisik. Grup Hero, misalnya, berencana membangun dua toko IKEA di Cibitung dan Bandung pada 2020, setelah pada November 2019 ini membuka toko IKEA di Sentul. Ekspansi pertokoan juga diikuti peningkatan layanan perdagangan secara dalam jaringan atau e-dagang.
Di Jakarta, persaingan ketat pusat belanja dengan layanan e-dagang tak terhindarkan. Perusahaan konsultan properti JLL merilis, pusat belanja premium yang cepat tanggap terhadap perubahan mampu mempertahankan tingkat okupansi di atas 90 persen.
Pada 2022 dan 2023, belum terlihat ada suplai baru pusat perbelanjaan di DKI Jakarta. Namun, moratorium pusat belanja tidak membuat pembangunan ruang ritel terhenti.
Sebagai alternatif pengembangan ritel, pengembang properti ada yang mengembangkan konsep ritel pada proyek properti mixed use, yakni pusat ritel yang terhubung perkantoran dan kondominium premium. Sejumlah proyek gedung perkantoran di Jakarta semakin marak diisi pusat ritel.
Di kawasan Thamrin, Jakarta, misalnya, proyek properti premium sedang dibangun yang terdiri dari gedung perkantoran, apartemen dengan layanan penuh, dan tiga lantai kompleks gaya hidup kelas premium. Gedung itu ditunjang akses langsung ke moda raya terpadu (MRT).
Transformasi tidak hanya terjadi pada pengelola pusat belanja, tetapi juga dari sisi penyewa. Ruang ritel tumbuh sesuai tren belanja konsumen, terutama restoran, pusat hiburan, pusat bermain anak, dan jaringan toko mode. Beberapa penyewa yang berguguran atau tutup di pusat perbelanjaan besar segera digantikan penyewa lain yang sesuai dengan tren pasar.
Langkah pusat belanja tanggap terhadap perkembangan teknologi digital, termasuk memanfaatkan kolaborasi toko dalam jaringan dan luar jaringan, tak hanya jadi strategi bertahan di era kompetisi. Cara ini juga memperkuat pasar. Digitalisasi mendatangkan peluang.