Pemilu Inggris 12 Desember 2019 dan Kesungguhan Rakyat Inggris tentang Brexit
Pemilu Inggris yang diselenggarakan Kamis, 12 Desember 2019, akan menjadi pembuktian ke mana rakyat Inggris ingin melabuhkan perjalanan Brexit.
Pemilu Inggris pada 12 Desember 2019 ini akan menjadi momen pembuktian Inggris di hadapan dunia. Seberapa besar sebenarnya keinginan Inggris untuk keluar dari Uni Eropa? Apabila rakyat memenangkan Partai Konservatif, Brexit akan segera terlaksana. Sebaliknya, jika Partai Buruh dan partai-partai anti-Brexit yang menang, peluang referendum baru tentang Brexit semakin terbuka.
Tiga setengah tahun setelah referendum yang memenangkan Brexit, politisi dan publik di Inggris masih terbelah antara mereka yang ingin segera keluar dari Uni Eropa dan mereka yang ingin membatalkan referendum Brexit.
Berkali-kali, kesepakatan yang berhasil dicapai Pemerintah Inggris bersama Uni Eropa dimentahkan parlemen yang tidak sepenuhnya dikuasai oleh partai pembentuk pemerintahan, Partai Konservatif.
Mantan PM Theresa May tiga kali harus mengalami penolakan dari parlemen. Proposal yang berhasil disepakati dengan Uni Eropa ditolak parlemen. Setelah diganti oleh Boris Johnson pun, penolakan parlemen terhadap proposal Brexit pemerintah masih saja terjadi.
Sudah sejak 4 September 2019, PM Boris Johnson mengajukan percepatan pemilu dari jadwal tahun 2022 menjadi 12 Desember 2019. Langkah tersebut diharapkan dapat mengubah tatanan di parlemen agar lebih bulat dalam mendukung pemerintah.
Percepatan pemilu yang diusulkan Boris Johnson tak segera disetujui parlemen sebagai penentu gelaran pemilu di Inggris. Dalam aturan yang disebut sebagai Fixed-term Parliaments Act 2011, pemilihan umum dilaksanakan setiap lima tahun pada kamis pertama bulan Mei. Mengingat pemilu terakhir dilaksanakan pada Mei 2017, dijadwalkan pemilu berikutnya akan dilaksanakan pada Mei 2022.
Dalam pemilu Inggris berlaku prinsip winners takes all. Pemenang pertama dari suatu wilayah akan terpilih menjadi anggota parlemen yang mewakili suatu wilayah.
Apabila pemilu dilaksanakan di luar interval lima tahunan, pelaksanaan pemilu tidak harus dilakukan pada Kamis. Terdapat dua syarat agar pemilu dapat dipercepat.
Pertama, saat pemerintah mendapat mosi tidak percaya dari parlemen dengan mayoritas sederhana dan kembali tak dipercaya hingga 14 hari. Kedua, saat percepatan pemilu disetujui oleh dua pertiga jumlah kursi di parlemen (434 dari 650 kursi).
Pada 28 Oktober 2019, para pemimpin Uni Eropa menyetujui menunda pelaksanaan Brexit yang seharusnya terlaksana 31 Oktober 2019 menjadi 31 Januari 2020. Keputusan para pemimpin UE tersebut menjadi salah satu pertimbangan parlemen Inggris kembali menanggapi usul percepatan pemilu yang beberapa kali diajukan Boris Johnson.
Pada 31 Oktober 2019, parlemen Inggris menyetujui Aturan Pemilu Legislatif 2019. Dengan dasar itulah, pemilu Inggris dipercepat menjadi 12 Desember 2019.
Kekhasan Pemilu 1212
Pemilu 12 Desember 2019 ini merupakan pemilu Inggris yang ke-28 sejak tahun 1918. Yang patut digarisbawahi, pemilu Inggris ini akan memilih anggota parlemen. Selanjutnya, partai yang paling banyak mendapatkan kursi di parlemen berhak membentuk pemerintahan.
Saat ini, pemerintahan dipegang Partai Konservatif yang merupakan partai pemenang pemilu 2017. Partai Konservatif menjadi pemenang pemilu dalam gelaran tiga pemilu terakhir, 2010, 2015, dan 2017.
Sebelumnya, Partai Buruhlah yang menjadi pemenang pada pemilu 1997, 2001, dan 2005. Memang, sejak 1918, setiap pemilu dimenangkan bergantian oleh Partai Konservatif dan Partai Buruh.
Segera setelah mendapatkan kemenangan, ketua partai pemenang pemilu akan menghadap Ratu Inggris dan meminta izin membentuk pemerintahan. Partai pemenang pemilu akan langsung membentuk pemerintahan apabila mendapatkan kemenangan mayoritas mutlak, 50 persen plus satu. Partai pemenang dengan kursi kurang dari 50 persen dapat membentuk pemerintahan dengan berkoalisi dengan partai lain.
Cerita berulang
Langkah Boris Johnson meminta pemilu dipercepat ini seakan mengulang langkah yang pernah diambil Theresa May pada 2017.
Hasilnya, kursi Partai Konservatif di parlemen yang berjumlah 330 berkurang menjadi 317. Sebaliknya, Partai Buruh sebagai partai oposisi mendapatkan tambahan kursi terbanyak, 30 kursi menjadi 262 kursi. Pengurangan besar juga dialami Partai Nasional Skotlandia (SNP), dari 59 kursi menjadi 39 kursi.
Harapan May untuk memperkuat dukungan di parlemen sirna karena Partai Konservatif tak berhasil menambah kursinya di parlemen. Hal ini mempersulit langkah May dalam menjalankan hasil referendum rakyat Inggris untuk keluar dari Uni Eropa, Brexit. Setelah berkali-kali langkahnya kandas di parlemen, akhirnya May menyerah dan mengundurkan diri pada 7 Juni 2019.
Mengingat langkah mempercepat pemilu ini pernah dicoba May dan gagal, langkah Boris ini dapat dikatakan sangat berani. Akan tetapi, hasil yang akan diperoleh pun sebanding dengan risiko yang mungkin terjadi. Apabila berhasil menambah dukungan di parlemen, Boris Johnson akan lebih mudah mengegolkan proposal rencana Brexitnya yang telah disetujui UE.
Partai Konservatif di bawah Boris Johnson mengharapkan tambahan kursi menjadi minimal 326 kursi sehingga menjadi mayoritas mutlak. Saat ini, Partai Konservatif memiliki 298 kursi di parlemen. Konservatif butuh minimal tambahan 28 kursi untuk menjadi mayoritas mutlak di parlemen yang berjumlah 650.
Tak melulu Brexit
Jelang pemilu Inggris 2019, Brexit masih menjadi isu terhangat yang menjadi perhatian para calon pemilih dalam jajak pendapat yang hanya memberi kesempatan satu jawaban.
Dalam jajak pendapat yang dilakukan Deltapoll, Opinium, dan Panelbase pada akhir Oktober 2019, isu Brexit berada di urutan kedua di bawah isu kesehatan ketika responden boleh menyampaikan lebih dari satu isu. Isu lain yang muncul berturut-turut adalah imigrasi, ekonomi, serta kriminalitas.
Oleh karena itu, preferensi partai tentang Brexit diperkirakan tak akan menjadi penentu utama kemenangan dalam pemilu kali ini. Dengan demikian, partai-partai perlu menengok isu lain di luar Brexit, seperti isu kesehatan dan imigrasi karena muncul dalam tiga besar isu dalam jajak pendapat di atas.
Jualan kampanye Partai Konservatif dan Partai Buruh sebagai langganan pemenang pemilu dapat dijadikan gambaran arah kampanye menjelang pemilu.
Partai pemenang pemilu akan langsung membentuk pemerintahan apabila mendapatkan kemenangan mayoritas mutlak, 50 persen plus satu.
Dalam isu Brexit, Partai Konservatif tegas dalam keinginan membawa kembali persetujuan Brexit Inggris-UE ke parlemen. Sebaliknya, Partai Buruh lebih ingin menunda referendum baru tentang Brexit.
Dalam isu kesehatan, baik Partai Konservatif maupun Partai Buruh sama-sama berjanji menaikkan jaminan kesehatan ataupun anggaran kesehatan. Perbedaan lebih tampak pada jumlah kenaikan dan target waktu pelaksanaannya.
Perhatian berbeda muncul di bidang imigrasi. Partai Konservatif memunculkan sistem baru imigrasi dengan basis poin, sedangkan Partai Buruh menjanjikan penerimaan bagi warga negara-negara Uni Eropa. Dengan basis poin, orang yang akan masuk Inggris diprioritaskan bagi mereka yang lebih memiliki keterampilan.
Yang patut diingat adalah, walaupun Brexit tak lagi menjadi satu-satunya isu penarik pemilih, pemilu ini dipicu oleh frustrasi tentang Brexit di parlemen. Semua partai menginginkan penyegaran dan pembaruan konstelasi di parlemen. Dengan demikian, strategi kampanye demi menarik pemilih bukanlah satu-satunya strategi untuk bisa berjaya di parlemen.
Strategi antarpartai
Usulan Partai Konservatif untuk mempercepat pemilu diterima oleh parlemen tidak tanpa alasan. Partai-partai di parlemen ingin membuka kemungkinan referendum baru terkait Brexit.
Terkini, hanya dua partai yang setuju untuk segera mewujudkan Brexit, yakni Partai Konservatif dan Partai Brexit. Di luar partai tersebut, kebanyakan partai oposisi mengharapkan terjadi referendum ulang terkait Brexit. Harapannya, referendum baru mampu mengubah hasil referendum 2016 yang memenangkan Leave (Brexit) menjadi Remain (tetap dalam UE).
Dalam kerangka penyegaran parlemen, beberapa partai menjalankan strategi membantu partai lain untuk menambah kursi. Dengan perubahan komposisi kursi, kebijakan terkait isu-isu krusial seperti Brexit juga akan berubah. Bahkan, kemungkinan untuk mengadakan referendum ulang akan terlaksana.
Perlu dipahami bahwa dalam pemilu Inggris berlaku prinsip winners takes all. Pemenang pertama dari suatu wilayah akan terpilih menjadi anggota parlemen yang mewakili suatu wilayah.
Oleh karena itu, partai-partai yang memiliki visi senada dapat membatalkan calonnya di suatu wilayah agar suara pemilih tidak terbagi. Harapannya, kandidat dari partai lain yang bervisi senada berhasil menang dan mengubah konstelasi proporsi kursi partai di parlemen.
Praktik menarik kembali calon anggota legislatif dapat dilihat contohnya di wilayah Canterbury. Kandidat dari Partai Liberal Demokrat, Tim Walker, menarik diri karena takut akan menggerus suara kandidat yang pro isu Remain (tetap di EU). Ia tidak ingin kursi Partai Buruh akan direbut kandidat dari Partai Konservatif.
Di sisi lain, Partai Brexit yang sevisi dengan Partai Konvervatif tentang isu Brexit memutuskan tak akan bertanding di 317 wilayah yang selama ini telah dimenangkan oleh Partai Konservatif. Partai Brexit lebih ingin memfokuskan diri untuk merebut kursi di wilayah yang selama ini dimenangkan Partai Buruh.
Jalan keluar
Berdasarkan jajak pendapat calon pemilih di atas, ternyata terdapat perbedaan keinginan rakyat dan strategi politik yang dimainkan oleh partai politik.
Beragamnya isu, mulai dari kesehatan, Brexit, imigrasi, hingga kriminalitas menggambarkan bahwa rakyat Inggris sudah mulai bosan dengan kebuntuan Brexit yang tak kunjung berakhir. Mereka menyuarakan persoalan nyata yang mereka hadapi selain Brexit.
Di sisi lain, partai politik masih terlihat memainkan politik koalisi berdasarkan isu Brexit. Mereka ingin penyegaran di parlemen demi mendukung posisi mereka tentang Brexit.
Akhirnya, pemilu Inggris yang akan diselenggarakan Kamis, 12 Desember 2019 esok hari, akan menjadi pembuktian ke mana rakyat Inggris ingin berlabuh.
Apabila Partai Konservatif menang, berarti rakyat Inggris masih tertarik dengan Brexit. Jika partai anti-Brexit yang menang, dapat diartikan bahwa referendum Brexit 2016 merupakan langkah keliru yang pernah diambil rakyat Inggris. Sebuah pelajaran politik bagi sebuah bangsa yang sangat mahal. Sejarah akan mencatat! (Litbang Kompas)