Menuntaskan Janji untuk Perempuan
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030 menghendaki tak seorang pun tertinggal dari capaian pembangunan. Nyatanya, perempuan masih menghadapi berbagai persoalan pelik yang mengancam kesejahteraan dan jiwanya.
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030 menghendaki tak seorang pun tertinggal dari capaian pembangunan. Nyatanya, perempuan masih menghadapi berbagai persoalan pelik yang mengancam kesejahteraan dan jiwanya.
Sejak disepakati sebagai konsensus, program aksi Konferensi Kependudukan dan Pembangunan Internasional (ICPD) Kairo, Mesir, 1994, telah membawa perubahan besar bagi perempuan. Hak kesehatan reproduksi perempuan dijamin. Kesehatan reproduksi jadi prasyarat pemberdayaan perempuan dan kesetaraan perempuan dengan laki-laki adalah kunci tercapainya kesejahteraan.
Pengakuan atas hak kesehatan reproduksi itu mencakup akses terhadap layanan kesehatan reproduksi yang lengkap, penggunaan kontrasepsi secara sukarela, layanan kehamilan dan persalinan yang aman, hingga pencegahan dan pengobatan atas penyakit infeksi menular seksual.
Namun, hingga 25 tahun pelaksanaan program aksi ICPD itu, nasib perempuan masih jauh tertinggal di banding laki-laki. Di seluruh dunia, 800 perempuan tiap hari meninggal akibat kehamilan dan persalinan, 33.000 anak perempuan dipaksa menikah, 4 juta anak perempuan disunat dengan alasan nonmedis, dan 232 juta perempuan tak bisa mengakses layanan kontrasepsi walau menginginkannya.
Hingga 25 tahun pelaksanaan program aksi ICPD itu, nasib perempuan masih jauh tertinggal dibanding laki-laki.
Di Indonesia, 1-2 ibu meninggal setiap jam karena hamil dan bersalin, 5 juta perempuan yang ingin menggunakan kontrasepsi belum terlayani, dan 1 dari 3 perempuan pernah mengalami kekerasan minimal sekali seumur hidupnya. Praktik kawin anak dan sunat perempuan juga masih banyak terjadi hingga menempatkan perempuan dalam bahaya.
Baca juga: Perempuan Masih Tertinggal dari Laki-laki di Sejumlah Bidang
Berbagai persoalan itu membuat perempuan menghadapi tantangan lebih berat untuk hidup sejahtera dibanding laki-laki. Tanpa menyelesaikan persoalan itu, mustahil target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030 bisa dicapai. Khusus bagi Indonesia, peluang untuk mendapatkan bonus demografi yang akan berlangsung hingga 2036 juga akan hilang.
Untuk menuntaskan berbagai persoalan itu, sebanyak 9.500 anggota delegasi dari lebih 170 negara berkumpul di Nairobi, Kenya, dalam Pertemuan Tingkat Tinggi Nairobi untuk Memperingati 25 Tahun ICPD atau Nairobi Summit on ICPD25 pada 12-14 November 2019. Mereka ingin meneguhkan komitmennya untuk mengakhiri berbagai hal yang memundurkan perempuan.
”Sekarang waktunya menyelesaikan berbagai masalah yang belum tuntas,” kata Direktur Eksekutif Badan Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) Natalia Kanem. Dunia hanya memiliki waktu 10 tahun untuk mewujudkan komitmen baru mereka untuk perempuan dan anak perempuan.
Pertemuan tersebut menghasilkan Pernyataan Nairobi yang berfokus untuk mewujudkan three zero demi dunia yang lebih adil. Tiga nol itu adalah tidak ada lagi kematian ibu hamil dan melahirkan, tidak ada perempuan yang ingin mengakses kontrasepsi tetapi tak terlayani, serta mengakhiri kekerasan berbasis jender dan praktik-praktik berbahaya terhadap perempuan.
Komitmen Indonesia
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo selaku Ketua Delegasi RI dalam pertemuan tersebut mengatakan, Indonesia berkomitmen kuat untuk melaksanakan Program Aksi ICPD. Namun, Indonesia tidak dalam posisi untuk mendukung Pernyataan Nairobi.
”Indonesia belum bisa berkomitmen secara penuh dengan seluruh upaya untuk mewujudkan three-zero,” katanya dalam wawancara dengan Kompas.
Indonesia berkomitmen untuk mengatasi kesenjangan dalam layanan kontrasepsi atau unmet need. Namun, Indonesia tidak bisa memberikan akses kontrasepsi itu untuk semua, termasuk bagi remaja. Indonesia hanya bisa memberikan layanan tersebut bagi pasangan usia subur atau orang yang sudah menikah.
Indonesia belum bisa berkomitmen secara penuh dengan seluruh upaya untuk mewujudkan three-zero.
Hal sama juga berlaku untuk persoalan aborsi. Indonesia belum mengakui aborsi sebagai bagian dari hak kesehatan reproduksi dan seksual dan membolehkan aborsi atas permintaan sendiri. Namun, Indonesia membolehkan aborsi untuk alasan tertentu, seperti pertimbangan medis dan bagi perempuan korban perkosaan.
Pemberian kontrasepsi untuk remaja dan aborsi aman banyak didesakkan pegiat masyarakat yang menaruh perhatian besar terhadap isu kesehatan reproduksi dan seksualitas. Namun, usulan tersebut ditentang keras kelompok agama. Sejumlah undang-undang pun sudah membatasi atau melarang upaya tersebut.
Baca juga: Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan Belum Terjamin
Sikap Indonesia terhadap Pernyataan Nairobi bukanlah menunjukkan lemahnya itikad Indonesia untuk menuntaskan persoalan three-zero. Hasto, saat membacakan pernyataan sikap Indonesia dalam pertemuan itu, menegaskan komitmen Indonesia untuk mengakhiri three-zero melalui peningkatan anggaran keluarga berencana dan meningkatkan umur minimal perkawinan hingga 19 tahun dari sebelumnya 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki.
Pemerintah juga akan mengintegrasikan penuh layanan kesehatan reproduksi dan seksual dalam program Jaminan Kesehatan Nasional, memastikan semua ibu hamil mendapat pemeriksaan selama kehamilan dan semua ibu bersalin dengan dibantu tenaga kesehatan yang terampil, serta meningkatkan kerja sama antara pemerintah dan swasta untuk menuntaskan persoalan tersebut.
Peneliti Utama Pusat Kesehatan Reproduksi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Siswanto Agus Wilopo, yang merupakan anggota Delegasi RI pada pertemuan ICPD di Kairo dan ICPD25 di Nairobi, mengatakan, Pernyataan Nairobi bukanlah dokumen politik yang dinegosiasikan atau tidak dibahas antar-anggota. Itulah yang mendasari sikap pemerintah untuk tidak mempromosikan Pernyataan Nairobi, tetapi berkomitmen penuh terhadap Komitmen Kairo.
Dalam Komitmen Kairo, persoalan soal aborsi aman dan kontrasepsi untuk remaja sebenarnya sudah diatur. Pelaksanaan hal-hal sensitif tersebut diserahkan kepada masing-masing negara untuk melaksanakannya sesuai dengan undang-undang, nilai, ataupun budaya yang berlaku di negara tersebut.
Sekretaris Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama Alissa Wahid menilai, sikap dan kebijakan Pemerintah Indonesia dalam menuntaskan persoalan three-zero masih sangat normatif. Namun, upaya dialog yang dilakukan dengan tokoh agama pun masih sangat terbatas. Ketegangan ini adalah persoalan besar yang harus segera diselesaikan.
Meski demikian, berbagai isu terkait, seperti aborsi aman dan kontrasepsi untuk remaja, perlu disikapi secara arif. Baik pemerintah maupun tokoh agama atau tokoh budaya tidak bisa memaksakan kemauannya dengan tutup mata dengan berbagai persoalan yang terjadi. Semua hal harus ditimbang berdasarkan tingkat maslahat dan mudaratnya.
”Setiap persoalan harus dilihat secara detail, tidak bisa digeneralisasi,” tambahnya.
Sementara itu, Ketua Yayasan Kesehatan Perempuan Zumrotin K Susilo menegaskan, jika aturan yang ada merugikan perempuan atau tidak mendukung mewujudkan hak-hak kesehatan reproduksi perempuan, aturan itu harusnya diubah. Keberhasilan mengubah batasan usia minimal kawin pada anak perempuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi UU Nomor 16 Tahun 2019 adalah bukti bahwa aturan yang tak sesuai bisa diubah.
”Pemerintah harusnya memiliki kajian tentang aturan mana yang seharusnya diubah. Tanpa itu, Indonesia akan makin tertinggal dalam mewujudkan three-zero,” katanya.
Slogan
Selain itu, target three-zero juga dianggap tidak realistis. Target itu dipandang sebagai utopia dan cita-cita yang ingin dicapai walau fakta yang ada tidak mendukung untuk mewujudkan hal tersebut.
Mewujudkan angka kematian ibu hamil dan melahirkan menjadi nol atau tidak ada sama sekali adalah hal yang tidak mungkin. Secara medis, kehamilan dan persalinan adalah kondisi yang berpotensi menimbulkan kematian walau kematian itu secara umum bisa dicegah.
Menurut Siswanto, pengalaman negara-negara maju dengan sistem kesehatan, kesejahteraan, dan tingkat pendidikan yang baik, seperti negara Skandinavia atau Singapura, tetap ada ibu meninggal karena kehamilan dan persalinan.
”Hamil atau bersalin itu sebenarnya tidak perlu sampai meninggal, ketidaksetaraan jender dan diskriminasilah yang membuatnya terjadi karena perempuan tidak memiliki peluang yang sama dengan laki-laki,” katanya.
Persoalan unmet need juga tak bisa diselesaikan secara mudah. Selain remaja yang secara peraturan tidak dibebaskan mengakses kontrasepsi, ibu sesudah melahirkan atau mereka yang masih menginginkan anak adalah kelompok yang paling rentan masuk dalam kelompok unmet need. Demikian pula mereka yang putus menggunakan kontrasepsi akibat keberlanjutan layanan yang kurang teperhatikan.
Selain itu, kekerasan berbasis jender juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut Zumrotin, hal itu disebabkan program kesetaraan jender yang dilakukan pemerintah masih terfokus pada perempuan, tidak melibatkan laki-laki. Padahal, konstruksi jender yang timpang itu sebenarnya juga merugikan laki-laki. Jika laki-laki paham, mereka sebenarnya mau mendukung kesetaraan jender.
Upaya menuntaskan berbagai persoalan terkait three-zero itu sebenarnya relevan dengan kebijakan Presiden Joko Widodo yang ingin fokus membangun sumber daya manusia berkualitas pada periode kedua kepemimpinannya. Jika persoalan three-zero bisa dituntaskan, pemerintah akan memiliki pijakan yang kuat untuk mewujudkan manusia Indonesia yang unggul. Karena itu, persoalan ini perlu dituntaskan secara bersama-sama dengan secepatanya.
”Kesehatan reproduksi dan seksualitas bukan hanya urusan pemerintah, tapi urusan semua orang,” kata Siswanto.