Benahi Fundamental Olahraga
Dengan kontingen yang diperkuat lebih dari separuh atlet muda, Indonesia mampu melampaui target perolehan medali emas pada SEA Games 2019. Namun, ada kerapuhan dari prestasi itu.
Keraguan bahwa prestasi Indonesia di SEA Games 2019 akan terpuruk setelah mengirimkan lebih dari 50 persen atlet muda terhapuskan. Di Filipina, Indonesia memperbaiki peringkat dari posisi kelima pada SEA Games 2017 dengan perolehan 38 medali emas, 63 perak, dan 90 perunggu, menjadi peringkat keempat dengan 72 emas, 84 perak, dan 111 perunggu.
Meskipun belum berhasil memenuhi ambisi untuk naik ke peringkat kedua di Asia Tenggara, para atlet melampaui target medali yang telah direvisi, dari semula 45 emas menjadi 60 keping emas.
Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Gatot S Dewa Broto mengatakan, prestasi atlet muda ternyata bisa dicapai asalkan ada keberanian untuk menurunkan mereka pada ajang multicabang olahraga.
”Kami mengakui, masih ada cabang yang belum melepas atlet muda. Tetapi atlet-atlet muda yang diturunkan, mereka ternyata bisa,” katanya dari Manila, Kamis (11/12/2019). Di antara mereka adalah enam lifter muda angkat besi, yang seluruhnya meraih medali, termasuk dua medali emas.
Tak terukur
Yang menjadi catatan, medali yang diraih Indonesia sebagian besar dari cabang tak terukur dan bukan cabang Olimpiade. Pada cabang terukur, serta cabang induk Olimpiade yang menyediakan banyak medali seperti atletik, akuatik, dan senam, Indonesia justru tak berdaya.
”Fundamental prestasi olahraga suatu negara terletak pada cabang-cabang induk itu, seperti atletik dan akuatik. Kalau bisa kuat pada cabang itu, prestasi Indonesia akan lebih stabil pada setiap ajang multicabang. Hal itu ditunjukkan oleh Thailand, Vietnam, dan Singapura, sehingga menjadi tuan rumah ataupun tidak, mereka tetap menjadi ancaman di SEA Games. Mereka pun bisa berbicara di Asian Games maupun Olimpiade,” ujar pengamat olahraga Fritz E Simandjuntak dihubungi dari New Clark City, Filipina, Rabu (11/12/2019).
Harapan Indonesia sempat memuncak ketika perolehan medali emas melejit melewati target awal 45 emas, lalu menembus target revisi 60 emas empat hari terakhir. Bahkan, Indonesia sempat berada di posisi kedua klasemen sementara perolehan medali, bersaing ketat dengan Vietnam.
Namun, ada kerapuhan yang terlihat dari prestasi itu. Kelemahan Indonesia pada cabang akuatik dan atletik yang berlangsung hingga 9 dan 10 Desember membuat posisi Indonesia tersusul oleh Thailand dan Vietnam, yang mendulang banyak emas dari dua cabang itu.
Dari daftar perolehan medali tiga cabang utama itu, Indonesia memang tertinggal jauh. Pada atletik yang menyediakan emas terbanyak, 49 emas, Indonesia berada di posisi kelima dengan 5 emas, 4 perak, dan 2 perunggu. Tertinggal jauh dari Vietnam di posisi teratas (16-12-10) dan Thailand (12-11-12).
Di cabang akuatik disiplin renang dengan 38 emas, prestasi Indonesia merosot ke urutan keenam (1-6-7), tertinggal jauh dari Singapura di urutan pertama (23-10-4), dan Vietnam (10-6-9). Adapun untuk cabang senam disiplin artistik, Indonesia berada di posisi keempat (2-3-1), di bawah Malaysia (5-1-3).
Dari cabang Olimpiade yang menyediakan banyak medali, prestasi Indonesia hanya meningkat di cabang menembak. Dari posisi keenam tahun 2017 dengan satu emas, kali ini Indonesia menjadi juara umum dengan 7 emas, 6 perak, dan 2 perunggu.
”Lewat dominasi emas di dua cabang itu, Vietnam dan Thailand pun dengan mudah berada pada posisi tiga besar, yang memang menjadi tempat mereka pada SEA Games satu dekade terakhir,” kata Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Olahraga Universitas Negeri Jakarta, yang juga Manajer Tim Atletik Indonesia, Mustara Musa.
Catatan lain, prestasi emas Indonesia dicapai oleh atlet-atlet senior. Meski lebih dari 50 persen anggota kontingen Indonesia adalah atlet muda, perolehan emas masih didominasi para atlet elite.
Pada cabang atletik, lima peraih emas adalah atlet elite, tiga di antaranya atlet senior. Mereka adalah Agus Prayogo (34) di nomor maraton, Hendro Yap (29) di jalan cepat 20 kilometer, serta Maria Natalia Londa (29), pelompat jauh putri yang sudah memutuskan pensiun usai SEA Games 2019.
Dua peraih emas lainnya adalah Sapwaturrahman (25) di lompat jauh putra dan Emilia Nova (24) di lari gawang 100 meter putri, yang berada di usia emasnya.
Di cabang renang, satu-satunya peraih emas adalah I Gede Siman Sudartawa di nomor 50 meter gaya punggung. Siman sudah bersinar di SEA Games sejak 2011, delapan tahun lalu. Sejumlah perenang muda mulai memberikan harapan, tetapi belum mencapai hasil maksimal di Filipina.
”Ini yang prestasi Indonesia Indonesia tidak berkelanjutan. Atlet-atlet senior itu segera melewati usia emasnya di ajang multicabang selanjutnya. Namun, belum ada pelapis sepadan. Kalau tak segera bergerak, prestasi Indonesia akan kembali anjlok,” tutur Mustara.
Prioritas
Fritz menekankan, Indonesia harus fokus membina cabang lumbung emas Olimpiade. Pada seminar Refleksi Setahun Asian Games 2018 dan Rencana Peningkatan Prestasi Olahraga Indonesia di Bappenas pada 10 Oktober 2019, Bappenas mengingatkan agar Indonesia fokus pada 10 cabang prioritas, yakni bulu tangkis, panjat tebing, atletik, panahan, angkat besi, taekwondo, senam, dayung, renang, dan sepeda.
Adapun cabang lain diperkuat pembinaan akar rumput dan iklim kompetisinya. ”Saat ini kita belum fokus ke cabang apa pun. Sekilas malah lebih memprioritaskan cabang permainan yang tidak banyak menyumbangkan medali, seperti sepak bola,” ujar Fritz.
Pengurus cabang atletik dan akuatik menilai keberpihakan pemerintah pada dua cabang induk ini masih minim. ”Buktinya, pelatnas atletik untuk latihan saja repot. Stadion Madya GBK dibuat khusus atletik, tetapi latihan kami sering tergusur untuk kegiatan lain,” kata Mustara.
Manajer tim akuatik Indonesia Wisnu Wardhana berpendapat serupa. Indonesia perlu mencontoh Thailand, Vietnam, dan Singapura yang cabang-cabang dasar ini sejak awal 2000-an. Caranya antara lain dengan menggalakkan kompetisi di tingkat sekolah. Mereka juga mengirim atlet bersekolah atau berlatih di luar negeri, seraya menggelar pelatnas jangka panjang tanpa terputus.
”Sekarang, cabang renang Vietnam dan Singapura memetik buah pembinaan jangka panjang sejak awal 2000-an itu. Mereka juga siap dengan atlet pelapis yang punya kualitas tak jauh berbeda,” tutur Wisnu.
Maria Londa menambahkan, untuk mencapai level dunia, atlet patut dibina sedari muda. Lalu, mereka diberikan kepercayaan lebih untuk sering berlaga di perlombaan internasional. Tanpa itu, mereka sulit untuk merangkak menembus prestasi Asia apalagi dunia.
”Sekarang, uji coba internasional untuk atlet sangat minim. Padahal, uji coba itu penting sekali untuk mengasah mental dan mencuri ilmu dari atlet-atlet top luar negeri,” ujarnya.
Dukungan
Gatot mengatakan, prestasi atlet-atlet muda harus terus dipertahankan. ”Dalam waktu dekat, kami akan berkoordinasi dengan delapan kementerian dan lembaga setingkat kementerian untuk membahas khusus olahraga, termasuk sepak bola,” ujarnya.
Dalam rapat itu akan dibahas bagaimana kementerian lain mendukung prestasi olahraga Indonesia untuk menyiasati dana Kemenpora yang terbatas. Kementerian Pendidikan dan Kebudayan, misalnya, bisa memberikan beasiswa pendidikan untuk atlet pelajar yang ingin melanjutkan sekolah.
Perlu juga ada sinergi antara pelaksanaan Olimpiade Olahraga Siswa Nasional yang didanai Kemendikbud dengan Pekan Olahraga Pelajar Nasional (Popnas) yang dijalankan Kemenpora. Selain itu, dasar pendidikan olahraga juga harus diajarkan sejak di tingkat sekolah-sekolah.
Dalam rapat koordinasi itu, mekanisme dukungan Kementerian BUMN terhadap olahraga juga akan dibahas. Selain itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat juga didorong membangun infrastruktur olahraga.
Hal lain yang akan dilakukan, menurut Gatot, adalah mempercepat pencairan anggaran pelatnas 2020 dari biasanya pada Maret-Juni, menjadi awal Januari. Percepatan pencairan dilakukan pada cabang olahraga yang mengikuti kualifikasi Olimpiade Tokyo 2020.