Korupsi Mengalir Sampai Daerah
Bukan kesejahteraan, namun korupsi yang melibatkan kepala daerah yang semakin merata terjadi di sebagian besar wilayah negeri ini. Sepanjang 2004-2019, KPK sudah menangani korupsi di 25 provinsi
Kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah semakin merata terjadi di sebagian besar wilayah negeri ini. Praktik ini disinyalir tidak lepas dari penerapan desentralisasi pemerintahan yang tidak diikuti dengan perubahan perilaku, karena justru praktik koruptif menyebar ke daerah.
Data pelaku korupsi yang melibatkan kepala daerah yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperkuat gejala semakin maraknya kasus korupsi yang menjerat kepala daerah. Sepanjang 2004 hingga 2019, lembaga antirasuah ini sudah menangani korupsi yang melibatkan 15 gubernur, 77 bupati, 3 wakil bupati, 25 wali kota, dan 1 wakil wali kota.
Dari hasil analisis Litbang Kompas pada 139 perkara korupsi yang melibatkan 121 kepala daerah yang ditangani KPK, ditemukan fakta, kepala daerah maupun wakil kepala daerah yang terjerat korupsi tersebar dari 25 provinsi. Sebagian besar mereka berasal dari Sumatera dan Jawa, yakni di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Jawa Tengah, dan Riau.
Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur masing-masing menyumbang 14 kasus korupsi dan menjadi yang terbanyak di antara 34 provinsi lainnya.
Kasus korupsi dari Sumatera tercatat paling banyak, yakni 44 orang atau 36,4 persen dari total perkara yang ditangani KPK sepanjang periode 2004-2019. Mereka tersebar dari sebagian besar provinsi di Sumatera yang terdiri dari 10 gubernur, 28 bupati, 5 wali kota, dan 1 wakil wali kota.
Dua provinsi yang paling banyak ‘menyumbang’ adalah Sumatera Utara dan Sumatera Selatan. Tercatat sebanyak 13 kepala daerah pelaku korupsi berasal dari Sumatera Utara, terdiri dari dua gubernur, tujuh bupati, tiga wali kota, dan satu wakil wali kota.
Di wilayah ini pula, kasus korupsi dengan nilai kerugian negara fantastis terjaring. Korupsi ini menjerat mantan Wali Kota Pematang Siantar Robert Edison Siahaan. Robert terjerat kasus penyalahgunakan dana pemeliharaan Dinas Pekerjaan Umum pada APBD Kota Pematang Siantar Tahun 2007 dengan kerugian negara mencapai Rp 343 miliar.
Sementara itu dari Sumatera Selatan tercatat ada enam kepala daerah yang tersandung korupsi. Mereka terdiri dari seorang gubernur, empat bupati, dan satu wali kota. Jejak korupsi di provinsi ini terekam sejak tertangkapnya Gubernur Sumatera Selatan Syahrial Oesman pada 12 Maret 2009 atas kasus alih fungsi hutan lindung Pantai Air Telang seluas 600 hektar.
Terakhir, kasus korupsi menjerat Bupati Muara Enim Ahmad Yani atas suap proyek-proyek Dinas PUPR. Menariknya, Sumatera Selatan ini menjadi provinsi dengan capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di angka 69,39 (2018).
Angka ini merupakan terendah kedua di Pulau Sumatera setelah Lampung (69,02). Bagaimanapun IPM adalah salah satu tolak ukur berhasilnya sebuah wilayah dalam menyediakan akses pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum lainnya. Indeks ini tidak mungkin terkerek naik jika praktik-praktik korupsi masih terus menggerogoti uang rakyat.
Korupsi yang melibatkan kepala daerah dari Sumatera juga menorehkan hal yang fenomenal. Salah satunya berasal dari Riau. Bayangkan, tiga gubernur berturut-turut dari provinsi ini terjerat korupsi.
Pertama, Saleh Djasit yang terjerat tindak pidana korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran, Kedua, Rusli Zainal, gubernur pengganti Saleh Djasit yang tersandung kasus suap PON dan korupsi kehutanan Riau. Ketiga, Annas Maamun.
Gubernur pengganti Rusli ini ditangkap KPK karena suap. Ketiganya sudah menjalani hukuman, bahkan Annas Maamun mendapatkan grasi berupa pengurangan masa hukuman.
Setelah Sumatera, korupsi yang melibatkan kepala daerah terbanyak kedua berasal dari Jawa. Ada 42 kepala daerah tersandung masalah korupsi di wilayah ini. Mereka terdiri dari satu gubernur, 25 bupati, dua wakil bupati, dan 14 wali kota.
Empat provinsi paling banyak ‘menyumbang’ kasus korupsi adalah Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur masing-masing menyumbang 14 kasus korupsi dan menjadi yang terbanyak di antara 34 provinsi lainnya.
Sementara Jawa Tengah menyumbang 10 kasus dan berada di peringkat tiga tertinggi di Jawa. Dari 14 kasus di Jawa Barat, tercatat ada 10 bupati dan empat wali kota, sedangkan dari Jawa Timur melibatkan tujuh bupati, satu wakil bupati, dan enam wali kota. Sementara 10 kepala daerah dari Jawa Tengah terdiri dari tujuh bupati dan tiga wali kota.
Pelaku merata
Dari data-data tersebut, tampak dari sisi jabatan, pelaku korupsi di Sumatera cenderung merata di semua level kepemimpinan daerah. Sementara di daerah Jawa, korupsi terpusat di level kepemimpinan daerah tingkat II, yaitu di kabupaten dan kota.
Hanya satu gubernur di belahan Jawa yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Satu kasus itu melibatkan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah terkait penyuapan atas putusan perkara sengketa Pilkada Kabupaten Lebak, Banten pada 2013.
Selain Jawa dan Sumatera, pulau lainnya juga tak luput ‘menyumbang’ kepala daerah korup. Sebanyak 12 pelaku korupsi berasal dari Sulawesi, 10 pelaku berasal dari Kalimantan, masing-masing 5 pelaku berasal dari Papua dan gugusan Sunda Kecil, serta tiga pelaku berasal dari Maluku.
Kasus korupsi dari Sumatera tercatat paling banyak, yakni 44 orang atau 36,4 persen dari total perkara yang ditangani KPK sepanjang periode 2004-2019.
Meratanya pelaku tindak pidana korupsi, mulai dari kepala daerah di tingkat kabupaten/kota dan di level provinsi menjadi gambaran bahwa tindak rasuah ini memang sudah menyebar di daerah. Hal ini terutama sejak kebijakan desentralisasi di pemerintahan daerah.
Penerapan otonomi daerah menjadikan kewenangan pemerintahan di daerah bertambah dan pada akhirnya membuka peluang praktek-pratek korupsi yang menjadi imbasnya.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Sarip Hidayat, dalam orasi pengukuhannya sebagai profesor riset menyebutkan, implementasi kebijakan desentralisasi mulai bergeser dari pola lama yang bersifat monolitik dengan semangat atas ke bawah (top-down) menjadi pola baru bersifat holistik dengan semangat bawah ke atas (bottom-up).
Namun, pergeseran implementasi kebijakan tersebut belum diikuti pergeseran orientasi di kalangan para penyelenggara pemerintahan daerah, sehingga terjadi disorientasi desentralisasi yang melahirkan praktik otonomi daerah ”kebablasan”.
Menurut Sarip, ada ruangan abu-abu yang makin besar di pemerintahan daerah yang dimanfaatkan para elite untuk bermanuver. ”Semakin besar ruang abu-abu, semakin besar juga kemungkinan untuk praktik pemburu rente” ujar Sarip (Kompas, 27/7/2018).
Hal yang sama juga disampaikan oleh peneliti Indonesia Corruption Watch Donald Fariz yang mengkonfirmasi adanya desentralisasi praktik korupsi di daerah dari data-data yang diolah Litbang Kompas ini.
“Data tersebut mengkonfirmasi korupsi semakin terdesentralisasi ke daerah-daerah. Penangkapan (pelaku) juga dekat dengan momen pilkada serentak . Ini artinya, perputaran uang dalam pilkada memengaruhi terjadinya korupsi kepala daerah,” ungkap Donald.
Ke depan, diperlukan pengawasan yang ketat atas jalannya pemerintahan di daerah. Keterlibatan masyarakat di tingkat lokal mutlak dibutuhkan untuk membatasi ruang gelap praktik korupsi di tingkat lokal.
Apalagi publik saat ini semakin teredukasi dengan bahaya dan pentingnya melawan korupsi. Setidaknya data pengaduan publik ke KPK menjadi potret harapan akan tingginya antusiasme publik untuk melawan korupsi.
Data KPK mencatat, sepanjang 2019 ini sudah ada 4.812 aduan masyarakat yang telah diverifikasi KPK hingga 30 September 2019. Aduan ini paling banyak berkaitan dengan delik perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara.
Menariknya, proporsi pelapor tindak pidana korupsi tiap provinsi sejalan dengan jumlah kasus korupsi yang ditangani. Sebut saja Jawa Timur, Jawa Barat, dan Sumatera Utara merupakan provinsi di mana banyak kepala daerah terbukti korupsi.
Di tiga wilayah ini pula, aduan masyarakat sangat tinggi terkait tindak pidana korupsi. Tidak dipungkiri lagi, peran serta masyarakat menjadi pilar penting agar infeksi korupsi tidak terus menjangkiti dan mengalir sampai ke pemerintahan di daerah. Semoga! (Litbang Kompas)