Bola Liar Korupsi Kepala Daerah di Pilkada
Walau diberi masa jeda, mantan narapidana korupsi dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Fenomena kepala daerah yang kembali terpilih meski pernah tersandung kasus korupsi dapat terulang kembali.
Upaya pencegahan mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah menemui batu sandungan. Bukan hal mustahil, jika kepala daerah yang pernah tersandung kasus korupsi kembali mencalonkan diri dan terpilih seperti beberapa pilkada sebelumnya.
Untuk mencegah hal tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU) berencana melarang mantan narapidana korupsi maju dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020 tahun mendatang. Wacana ini tercantum dalam rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang Perubahan Kedua atas PKPU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Wali Kota/Wakil Wali Kota.
Dalam Pasal 4 Ayat (1) huruf H pada rancangan PKPU ini disebutkan, warga negara Indonesia yang dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah mereka yang bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi.
Namun, klausul tersebut mengalami perubahan setelah rancangan PKPU diundangkan pada 2 Desember 2019 oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Calon kepala daerah cukup memenuhi dua persyaratan, yakni bukan mantan terpidana bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak. Sementara kata korupsi dihapuskan.
Dihapuskannya kata korupsi dalam PKPU terkait pemilihan umum adalah ibaratnya de javu yang dialami KPU. Pada 2018 lalu, KPU juga pernah menerbitkan dua aturan yang melarang mantan terpidana kasus korupsi untuk mencalonkan diri dalam pemilihan legislatif.
Aturan pertama adalah PKPU Nomor 20 Tahun 2018 yang melarang mantan narapidana korupsi mendaftar sebagai calon anggota DPR maupun DPRD. Aturan serupa juga diterbitkan untuk pencalonan anggota DPD tahun 2019 melalui PKPU Nomor 26 Tahun 2018.
Namun, aturan ini dibatalkan oleh Mahkamah Agung dalam tahap uji materi tanggal 13 September 2018. Larangan mantan narapidana korupsi dianggap bertentangan dengan UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam UU ini, tak ada klausul yang melarang mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
Aturan serupa hanya berlaku pada calon presiden dan wakil presiden. Aturan yang melarang narapidana korupsi untuk mencalonkan diri pada pemilihan kepala daerah juga tidak tercantum dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Pilkada
De javu yang dialami oleh KPU juga berpotensi kembali terjadi dalam proses pilkada. Pada beberapa pilkada sebelumnya, terdapat sejumlah kepala daerah yang kembali terpilih meski pernah tersandung kasus korupsi.
Menurut catatan Litbang Kompas, dari 121 kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi sejak 2004 silam, delapan di antaranya kembali berhasil memenangkan pemilihan kepala daerah di wilayah yang sama. Seluruh kepala daerah yang terpilih adalah mereka yang bertarung di daerah tingkat II, yakni pada pemilihan bupati atau wali kota.
Pada tingkat kabupaten, dari 76 bupati yang terjerat kasus korupsi, tujuh orang di antaranya kembali terpilih dalam pemilihan kepala daerah. Dari tujuh bupati ini, tiga orang di antaranya terpilih setelah selesai menjalani masa pidana. Sementara empat bupati lainnya terpilih saat menyandang status sebagai tersangka.
Pada 2018 lalu, KPU juga pernah menerbitkan dua aturan yang melarang mantan terpidana kasus korupsi untuk mencalonkan diri dalam pemilihan legislatif.
Kasus terbaru adalah saat terpilihnya Syahri Mulyo sebagai Bupati Tulungagung, Jawa Timur, dalam Pilkada 2018. Saat terpilih, Syahri berstatus sebagai tersangka atas suap proyek pembangunan infrastruktur di Tulungagung. Ia telah berada dalam tahanan KPK sejak 18 hari jelang pemungutan suara. Sebagai petahana, Syahri berhasil meraup 59,8 persen suara pemilih.
Selain bupati, juga terdapat satu orang wali kota yang terpilih saat masih berstatus sebagai tersangka, yakni Jefferson Soleiman Montesqieu Rumajar, wali kota Tomohon, Sulawesi Utara, periode 2005-2010. Ia pun dilantik saat statusnya naik sebagai terdakwa pada Januari 2011. Setelah dilantik, status Jefferson sebagai wali kota dinonaktifkan oleh Kementerian Dalam Negeri.
Hal ini mengindikasikan, saat pilkada sebagian masyarakat masih cukup permisif terhadap kepala daerah yang terlibat korupsi. Dengan diperbolehkannya mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri, bukan hal mustahil jika calon kepala daerah yang tersandung kasus korupsi kembali memenangkan pemilihan pada Pilkada 2020 mendatang.
Putusan MK
Namun, pada Pilkada 2020, tidak semua mantan narapidana korupsi dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Pasalnya, Mahkamah Konstitusi telah memberikan batasan bagi mantan narapidana untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah, yakni harus menunggu selama lima tahun setelah bebas untuk ikut serta dalam pilkada.
Keputusan ini disampaikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman pada 11 Desember 2019. MK mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi dan Indonesia Corruption Watch terhadap Pasal 7 Ayat (2) Huruf g UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Pada tingkat kabupaten, dari 76 bupati yang terjerat kasus korupsi, tujuh orang di antaranya kembali terpilih dalam pemilihan kepala daerah.
Pasal yang digugat mensyaratkan, calon kepala daerah yang pernah menjalani hukuman pidana harus secara terbuka mengemukakan kepada publik tentang statusnya yang pernah menjalani masa pidana.
Keputusan MK ini setidaknya mempersempit ruang bagi eks narapidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Menilik dari kasus sebelumnya, rata-rata mantan narapidana korupsi berhasil kembali terpilih setelah tiga tahun bebas dari masa pidana. Artinya, melalui keputusan ini, akan semakin sedikit kemungkinan mantan terpidana kasus korupsi dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Penyaringan
Keputusan MK ini tentu menjadi angin segar untuk menyaring calon kepala daerah setelah gugurnya rencana KPU untuk mencegah mantan narapidana korupsi ikut serta dalam pilkada. Kepala daerah dengan latar belakang yang bersih amat dibutuhkan mengingat selama ini masih banyak yang terjerat kasus korupsi.
Berdasarkan kasus yang ditangani KPK, kasus korupsi telah menjerat sebanyak 121 kepala daerah sejak 2004 silam. Gubernur, wali kota, wakil wali kota, bupati, dan wakil bupati pada 25 provinsi di Indonesia terbukti terlibat korupsi dengan beragam modus.
Menilik berdasarkan jumlah kasus, terdapat 139 kasus yang menjerat 121 kepala daerah. Artinya, ada kepala daerah yang terlibat lebih dari satu kasus korupsi.
Hingga November 2019 lalu, terdapat 14 kepala daerah yang terjerat korupsi lebih dari satu kasus. Mereka adalah 5 gubernur, 8 bupati, dan 1 orang wali kota yang terjerat kasus korupsi sejak tahun 2006.
Sebanyak dua gubernur, satu bupati, dan satu wali kota di antaranya bahkan terjerat hingga tiga kasus korupsi yang berbeda seperti suap, pencucian uang, pengadaan barang dan jasa, hingga penyalahgunaan anggaran. Mereka dijerat dengan vonis penjara beragam mulai dari tiga tahun dan maksimal sembilan tahun untuk setiap kasus yang berbeda.
Salah satu kepala daerah yang terlibat hingga tiga kasus adalah Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Ia terjerat kasus suap sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi, pengadaan sarana dan prasarana alat kesehatan Provinsi Banten 2011-2013, dan gratifikasi proyek alat kesehatan di Banten. Hingga kini, Ratu Atut masih menjalani masa pidana.
Banyaknya kepala daerah yang tersandung kasus korupsi tentu menjadi lampu kuning dalam penjaringan calon kepala daerah. De javu yang terjadi dengan menangnya mantan narapidana korupsi pada beberapa pilkada sebelumnya dapat menjadi pelajaran untuk lebih selektif dalam pemilihan kepala daerah pada Pilkada 2020 mendatang. (Litbang Kompas)