Kekuatan penuh dikerahkan TNI di Laut Natuna Utara. Hal itu dilakukan untuk menjaga wilayah kedaulatan, landas kontinen, dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
Oleh
Iwan Santosa
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengerahkan kekuatan penuh di Laut Natuna Utara, Provinsi Kepulauan Riau. Panglima TNI yang ditemui di kantor Panglima TNI di Jalan Medan Merdeka Barat, Senin (7/1/2020) mengatakan, sejak dua tahun terakhir pangkalan kekuatan laut, darat, dan udara dibangun di Natuna yang terus diperkuat hingga saat ini.
"Patroli agenda setahun siaga tempur laut itu sudah berlangsung dan ditambah kekuatan dari empat kapal menjadi delapan kapal perang berikut kapal logistik. Keberadaan kapal logistik membuat kapal perang tidak usah kembali ke pangkalan di Natuna dan dapat terus berada di lautan menjaga wilayah kedaulatan, landas kontinen, dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE),” kata Hadi.
Jauh sebelum ada insiden pelanggaran ZEE akhir Desember 2019 dan awal Januari 2020 oleh kapal Vietnam dan kapal China, lanjut Panglima TNI, sudah berbagai sarana disiapkan TNI di Natuna. Pangkalan kapal permukaan, pangkalan kapal selam, dua stasiun radar, fasilitas lapangan udara berupa hanggar pesawat tempur, rumah sakit tentara, Batalyon Komposit TNI AD, Batalyon Artileri Pertahanan Udara (Arhanud), dan Kompi Marinir TNI AL.
Keberadaan kekuatan TNI di Pulau Natuna dan Laut Natuna Utara, menurut Hadi, adalah untuk memperkuat pertahanan pulau terluar, pengamanan, dan penindakan terhadap pelanggaran di ZEE hingga di laut teritorial.
Hadi Tjahjanto melanjutkan, keberadaan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) I yang bermarkas di Pulau Bintan, tidak jauh dari Kepulauan Natuna di bawah Laksamana Madya (TNI) Yudo Margono, sangat efektif untuk menjangkau Natuna serta kawasan perairan dan udara sekitar wilayah tersebut.
Pengintaian pesawat udara TNI AU dan patroli TNI AL terus diperkuat di Laut Natuna Utara untuk menjaga laut teritorial, landas kontinen, dan ZEE. Menurut Hadi, di tengah menghangatnya situasi karena pelanggaran oleh kapal ikan asing dan kapal Penjaga Pantai (Coast Guard) China, pihak Indonesia masih terus membantu upaya kemanusiaan terkait keselamatan pelayaran di wilayah tersebut.
“Kita juga baru-baru saja menyelamatkan kapal ikan asing yang mengalami kebakaran di tengah laut. Sesuai aturan internasional kita juga membantu upaya kemanusiaan dalam menjaga keselamatan pelayaran,” kata Hadi Tjahjanto.
Terhadap pelanggaran yang terjadi, langkah penegakan hukum dan berbagai prosedur dapat dilakukan oleh TNI Angkatan Laut di kawasan tersebut. Sejauh ini, langkah persuasif dan penindakan sudah dilakukan.
Keberadaan kekuatan TNI di Natuna terus berkordinasi dengan instansi terkait seperti Bakamla RI dan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menjaga kekayaan alam Indonesia di ZEE. Panglima TNI dijadwalkan Rabu (8/1) mendampingi Presiden Joko Widodo meninjau situasi di Natuna.
Secara terpisah, Bupati Natuna Hamid Rizal mengatakan, baru tiga tahun terakhir, sejak Indonesia merdeka, barulah dilakukan pembangunan infrastruktur seperti pembangkit listrik, jalan lingkar, dan terutama gudang pendingin (cold storage) untuk menampung tangkapan nelayan.
Selama ini nelayan Indonesia tidak dapat memanfaatkan potensi lautan sekitar Natuna karena ketiadaan listrik yang memadai untuk mendukung cold storage agar tangkapan dapat disimpan dalam keadaan segar.
Bupati juga menyiapkan lahan untuk pembangunan bandara sipil agar Lanud Natuna dapat maksimal digunakan bagi operasional pesawat militer. Berbagai pembangunan gencar dilakukan di Natuna seperti dermaga dan pasar perikanan yang mendapat bantuan pemerintah Jepang dan juga survei yang dilakukan Japan International Cooperation Agency (JICA).
Terkait klaim China di lautan sekitar Laut Natuna Utara dengan dasar nine dash line, guru besar Sastra China di Fakultas Sastra Universitas Indonesia Nurni Wahyu Wuryandari dalam satu kesempatan mengatakan, catatan tertua hubungan maritim Pulau Jawa dan daratan China terjadi di tahun 133 Masehi.
“Itu riset S-3 saya dan didasari dari arsip di Beijing, China. Yang berlayar adalah orang dari Jawa atau Nusantara ke China dan bukan sebaliknya. Berarti Nenek Moyang kita punya kemampuan maritim yang luar biasa,” kata Nurni.
Selama ini diyakini catatan tertua hubungan Nusantara dan China adalah Fa Hian seorang rohaniwan Budhis yang berkunjung tahun 414 Masehi, tulisan I Tsing tahun 670-an Masehi, dan catatan Haji Ma Huan dalam naskah Yíng Ya Sheng Lan (1433 Masehi) atau pelayaran ke kepulauan selatan yang mengisahkan pelayaran jaman Zheng He era Dinasti Ming tahun 1368 – 1644.