Limbah Medis Beredar Tak Terkendali
Investigasi ”Kompas” selama November-Desember 2019 menemukan, limbah medis ternyata mudah diperoleh di lapak-lapak pemulung dan pengolah sampah daur ulang. Padahal, limbah medis berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan.
BANDUNG, KOMPAS — Pengolahan limbah medis dari rumah sakit dan fasilitas kesehatan tak pernah ditangani serius dan tuntas. Limbah medis pun beredar tak terkendali di masyarakat. Padahal, limbah medis berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 7 Tahun 2019, semua limbah medis adalah limbah yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan. Pengelolaan limbah medis dilakukan secara aman dan tertutup oleh penghasil limbah dan pihak ketiga yang sudah mendapatkan izin sesuai peraturan perundangan. Limbah medis tak boleh bocor ke masyarakat biasa.
Investigasi Kompas selama November-Desember 2019 menemukan, limbah medis ternyata mudah diperoleh di lapak-lapak pemulung dan tempat pengolah sampah daur ulang. Beberapa jenis limbah medis, seperti bekas botol infus, laku diburu pelaku usaha daur ulang plastik. Bahkan, tempat pengolahan limbah medis ilegal di Cirebon, Jawa Barat, yang sempat ditutup penegak hukum, masih beroperasi hingga saat ini.
Penelusuran dari tempat-tempat distribusi limbah medis ilegal di Bandung, Bandung Barat, Cirebon, hingga Tangerang menemukan, distribusi limbah medis yang seharusnya tertutup, dari penghasil limbah ke pengelola limbah berizin, ternyata bocor ke mana-mana.
Bahkan, Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung yang sudah menerapkan pengolahan limbah medis dengan ketat pun masih bocor. Wadah infus bekas dari RSHS diperjualbelikan di lapak daur ulang sampah.
Di Cirebon, timbunan limbah medis di bekas tempat pengolahan limbah medis ilegal yang ditutup pada 2017 kembali diolah warga setempat akibat tak adanya pengawasan. Tinggi timbunan itu mencapai 1-2 meter di lahan seluas hampir 100 meter persegi.
Timbunan limbah ini telah mencemari lingkungan dan membahayakan masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan hasil pengujian laboratorium oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2017, limbah itu telah mencemari tanah di bawahnya dengan 15 jenis mikroorganisme tergolong patogen yang membahayakan kesehatan manusia. Salah satu mikroorganisme itu adalah bacillus anthracis, penyebab penyakit antraks.
Di Tangerang, wadah infus bekas yang telah dicacah menjadi incaran karena plastiknya berjenis low-density polyethylene (LDPE), yang berguna sebagai bahan campuran pembuatan kursi plastik, tutup tabung elpiji, dan tutup galon.
Harga cacahan wadah infus bekas lebih murah dibandingkan bijih plastik LDPE yang baru. Jika bijih plastik LDPE dijual Rp 18.000 per kilogram, cacahan wadah infus dijual Rp 15.000 per kg.
Bercampur jarum
Ros, pemilik salah satu tempat daur ulang plastik yang mengolah wadah infus bekas di Tangerang, mengaku memperoleh bekas infus tersebut dari lapak daur ulang di Bandung dan salah satu rumah sakit di Jakarta Utara. Di gudangnya, Ros menyediakan wadah infus bekas yang telah dicacah ataupun yang masih utuh.
Tumpukan wadah infus itu mencapai hampir 1 meter, dengan lebar juga hampir 1 meter. Semuanya telah kosong dari cairan. Saat datang dari rumah sakit, menurut Ros, wadah infus bekas sudah bersih dari selangnya. Namun, ada juga yang masih bercampur dengan jarum.
Agar tak melukai, jarum ia masukkan ke dalam kaleng dan kaleng itu ditempeli kertas bertuliskan jarum, baru kemudian dibuang. ”Jadi, kan, aman. Biasanya juga ada pemulung yang ambil,” ucapnya.
Ros sempat menyebutkan nama rumah sakit tempat dia bisa memperoleh wadah bekas infus, tetapi label rumah sakit tersebut tak ditemukan pada wadah infus bekas yang ditumpuk tak jauh dari meja kasirnya.
Berdasarkan Pasal 38 dalam Peraturan Menteri LHK Nomor P.56 Tahun 2015, ada limbah medis yang dapat diolah dari limbah B3 menjadi non-B3, seperti yang tak terkontaminasi darah. Namun, yang dilakukan Ros tetap tidak aman. Sebab, di dalam pasal itu diatur bahwa hanya penghasil limbah yang dapat mengolah limbahnya, seperti rumah sakit. Dalam mengolahnya pun seluruh sisa B3 di limbah itu harus dikeluarkan dan dicuci dengan disinfektan.
Sementara, untuk kebutuhan produksi daur ulang, Ros hanya mencacah wadah infus bekas itu tanpa mengolahnya menjadi bijih plastik. Menurut dia, cacahan itu sudah bisa langsung digunakan sebagai bahan campuran untuk membuat kursi atau rak sepatu.
”Kandungannya (wadah infus bekas) sama dengan bijih plastik LDPE yang ori (original). Kalau cacahan (wadah infus) Rp 15.000 per kilogram. Kalau bijih plastik, tergantung PPN (Pajak Penerimaan Negara). Jadi, sekitar Rp 18.000 sampai Rp 19.000 per kg,” tuturnya.
Wadah infus bekas menjadi limbah medis yang paling mudah bocor ke masyarakat. Di Kota Bandung, Kompas bisa dengan mudah memperoleh wadah infus bekas yang masih utuh seberat 15 kilogram seharga Rp 142.500. Wadah infus bekas diperoleh dari pemilik lapak pencacah sampah plastik, Wiji.
Keberadaan lapak Wiji diketahui dari kalangan pemulung di Tempat Pembuangan Akhir Sarimukti, Kabupaten Bandung Barat. Oleh Wiji, wadah infus bekas dimuat dalam satu karung plastik besar. Setelah dibongkar, ditemukan di dalamnya memuat sekitar 100 wadah infus bekas. Di antaranya masih tertempel kertas berlabel RSHS Bandung.
Untuk memperoleh wadah infus bekas ini sebetulnya tidak terlampau mudah karena hanya sebagian lapak daur ulang yang menyediakannya. Wiji mengaku memperoleh wadah infus bekas itu dari pemulung dan lapak kecil di berbagai tempat di Jawa Barat. Wiji pun sempat menawarkan wadah infus bekas itu sampai 1 kuintal. Ia juga menawarkan wadah infus bekas yang telah dicacah seharga Rp 13.000 per kg.
”Kalau mau, saya ada (wadah infus bekas), tetapi cuma sedikit, hanya 1 kuintal,” ucapnya.
Lapak Wiji ini lumayan luas, berukuran lebih dari 5x10 meter persegi, dengan tinggi lebih dari 4 meter, dan seluruhnya dibangun dengan kerangka besi berdinding lembaran seng. Hampir seluruh ruangan lapak itu terisi tumpukan karung berisi sampah plastik yang telah dipilah dan dicacah.
Di tempatnya menjalankan usaha, Wiji mengatakan, hanya ia dan seorang pemilik lapak bernama Sidik yang masih menerima dan mencacah wadah infus bekas. Namun, Wiji tak menjelaskan alasannya. Dari beberapa pemilik lapak sampah di Bandung, diperoleh informasi bahwa peredaran wadah infus bekas mulai diawasi penegak hukum sejak 2018 sebagai akibat pengolahan limbah medis ilegal di Cirebon.
Lapak milik Sidik juga sama persis dengan milik Wiji, hanya sedikit lebih luas. Seorang anak buahnya mengatakan, wadah infus bekas sedang sedikit sehingga bosnya tidak bersedia menjual. Padahal, sebelumnya, anak buahnya itu mengaku memiliki stok wadah infus bekas.
”Nanti saja kalau ada barangnya, kami kasih tahu,” ucap anak buah tersebut.
Menurut pengakuan Wiji, wadah infus bekas yang telah dicacah biasanya dipasok ke lapak daur ulang plastik di Cirebon dan Tangerang. ”Kalau saya ke Cirebon. Kalau Sidik ke Tangerang,” ucapnya.
Pihak RSHS sebenarnya menjalin kerja sama dengan pengolah limbah medis berizin, PT Jasa Medivest. Saat ditunjukkan foto bekas wadah infus dari RSHS yang berada di tempat Wiji, Kepala Instalasi Kesehatan Lingkungan RSHS Maudy Dirgahayu Hussein menyampaikan, tidak semestinya ada limbah medis dari rumah sakitnya yang bocor ke lapak sampah. Apalagi, karena RSHS telah melaksanakan pengelolaan limbah medis menurut prosedur dan aturan yang berlaku.
”Bukti legal bagaimana limbah kami diolah itu ada, manifes dan sertifikat. Setiap kali vendor mengambil limbah dari kami, harus dibuktikan dengan manifes. Hari ini limbah medis yang diambil sekian kilogram, kami tanda tangani. Mereka tanda tangan dan itu yang kami pegang. Dokumen itu yang kami laporkan ke Kementerian LHK setiap periode. Plus sertifikat dan itu setiap bulan, sementara manifes itu setiap hari,” paparnya.
Hari ini limbah medis yang diambil sekian kilogram, kami tanda tangani. Mereka tanda tangan dan itu yang kami pegang. Dokumen itu yang kami laporkan ke Kementerian LHK setiap periode.
Sekretaris Perusahaan PT Jasa Medivest Manti Afiandi menyampaikan, jika ada wadah infus bekas berlabel RSHS beredar di lapak daur ulang, butuh penelusuran lebih lanjut karena pemilahan limbah dilakukan pihak rumah sakit.
Saat mengamati penanganan limbah di RS Hasan Sadikin sempat terlihat limbah medis dimasukkan ke kantong berwarna kuning, sedangkan limbah nonmedis dimasukkan di kantong hijau. Kantong-kantong itu kemudian ditampung di instalasi pengolahan limbah medis internal yang berada di bagian belakang rumah sakit. Hanya petugas tertentu yang dapat masuk ke instalasi itu.
Keesokan paginya, limbah medis yang dimuat di instalasi itu diangkut menggunakan mobil boks PT Jasa Medivest, pengangkut sekaligus pengolah limbah medis berizin yang berada di Karawang.
Maudy menjelaskan, RSHS bekerja sama dengan PT Jasa Medivest untuk memusnahkan limbah medis itu dengan kontrak Rp 9.700 per kilogram. Limbah yang diangkut antara lain jarum suntik, patologis (bagian organ yang diperiksa), potongan tubuh, perban, hingga wadah infus yang terkontaminasi.
Selain dengan PT Jasa Medivest, lanjut Maudy, RSHS juga bekerja sama dengan perusahaan daur ulang UD Saam Jaya untuk mengolah wadah infus bekas yang telah diolah dari limbah B3 menjadi non-B3. Pengolahan itu berguna untuk mengurangi volume limbah medis.
Maudy mengatakan, sesuai Peraturan Menteri LHK Nomor P.56 Tahun 2015, wadah infus itu dicuci oleh pihak pegawai rumah sakit dengan klorin sebagai disinfektan. Kemudian, agar tak digunakan lagi, wadah infus itu dipotong dengan dicacah atau disobek. Setelah itu, wadah infus tersebut didaur ulang di UD Saam Jaya.
”Limbah kami (wadah infus bekas) dibawa mereka (UD Saam Jaya) untuk diolah menjadi serat benang plastik. Pengolahan dilakukan dalam kontrak (kerja sama),” ujarnya menjelaskan.
Sementara wadah infus bekas yang diperoleh Kompas pun menyerupai kondisi wadah infus yang telah melalui pemilahan dan pembersihan seperti yang digambarkan Maudy. Wadah infus itu kering dan bersih serta telah disobek di beberapa bagian.
Saat dikonfirmasi, Manti Afiandi menyampaikan, RSHS merupakan satu dari sekitar 100 rumah sakit di Jawa Barat dan DKI Jakarta yang dilayani pihaknya.
Dalam menangani limbah medis, Manti menjelaskan, PT Jasa Medivest langsung memusnahkan seluruh limbah medis yang diangkut karena pengolah limbah tidak diperbolehkan memilah limbah tersebut. Truk pengangkut limbah itu pun langsung berada di bawah kendali PT Jasa Medivest dan di setiap truk dipasang GPS untuk memantau pergerakannya.
”Kami tidak boleh memilah. Selama dalam pengangkutan, kami juga tidak boleh membuka isinya (limbah medis yang diangkut). Kami tahunya, sudah masukin saja, dibawa ke pengolahan, langsung diolah, dimusnahkan menjadi abu,” ucapnya.
Sementara Direktur UD Saam Jaya Saut Marpaung menyampaikan, wadah infus yang diperoleh dari RS Hasan Sadikin itu diolah di pabriknya di Bandung. ”Dalam menjalani ini, kami menjalin kontrak dengan RSHS,” ujarnya.
Dari beberapa pemulung di Kota Bandung, diperoleh informasi bahwa wadah infus bekas bisa juga diperoleh dari rumah sakit di Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Seperti diungkapkan AK (50), ia pernah ditawari wadah infus bekas dari rumah sakit di Lembang. ”Baru saja saya ditawari infus (bekas dari rumah sakit di Lembang sana, tetapi belum tahu harganya,” ucapnya.
Saat menelusuri pengolahan limbah medis di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Lembang, ditemukan botol-botol bekas wadah obat dan perban yang dibakar bersama sisa makanan dan rerumputan. RSUD Lembang tak memiliki fasilitas yang lengkap untuk menampung sampah medis.
Seorang petugas berinisial AD mengatakan, pengolahan limbah medis di rumah sakit itu memang belum ideal. Seharusnya tidak ada limbah medis yang dibakar secara terbuka.
Pembakaran itu dilakukan karena ada kuota limbah medis yang diangkut PT Jasa Medivest, pengolah limbah medis yang berkontrak dengan RSUD Lembang. Agar tak melebihi kuota, limbah medis itu dipilah. Bekas suntikan dan limbah medis lainnya yang tergolong infeksius diserahkan ke PT Jasa Medivest. Adapun untuk wadah infus bekas yang tak terkontaminasi diberikan ke pemulung.
”Untuk jarum, dihancurkan oleh (PT Jasa) Medivest, itu sampah infeksius, sementara wadah infus ada yang diambil pemulung,” ucap AD.
Sesungguhnya, lanjut AD, RSUD Lembang sudah memiliki mesin untuk mengolah wadah infus bekas. Namun, mesin itu belum dapat dioperasikan karena suplai listrik di rumah sakit tidak memadai untuk mengoperasikan mesin tersebut. ”Kurang daya listriknya sehingga mesinnya belum bisa dioperasikan. Makanya, ada (wadah infus bekas) yang dibakar dan diambil pemulung, dibanding numpuk,” ucapnya.
Untuk limbah cair, berdasarkan pengamatan Kompas, RSUD Lembang telah dilengkapi dengan instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Instalasi itu dioperasikan setiap hari.
Pemilahan limbah medis seperti yang diungkapkan AD tak jauh berbeda dengan penjelasan Kepala Seksi Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Kerja, dan Kesehatan Olahraga, Dinas Kesehatan Bandung Barat Mawaddah. Menurut Mawaddah, suntikan bekas diserahkan kepada PT Jasa Medivest, sedangkan wadah infus bekas ada yang diolah oleh pihak rumah sakit dengan menggunakan alat pengolah yang telah disediakan Pemkab Bandung Barat.
Namun, Mawaddah tak sepakat jika ada wadah infus bekas yang diberikan ke pemulung. Menurut dia, pihaknya telah melaksanakan pengolahan limbah medis sesuai aturan.
Lebih lanjut Mawaddah mengatakan, jika mesin pengolah limbah medis di RSUD Lembang belum dapat dioperasikan karena kekurangan daya listrik, pihaknya akan memenuhi kekurangan itu pada anggaran di tahun mendatang. ”Kalau alat tidak bisa dioperasionalkan, anggaran akan kita tambahin. Tadi juga ngecek, memang ceritanya seperti itu,” katanya.
Mawaddah mengatakan, pihaknya telah berupaya agar pengolahan limbah medis dilaksanakan sesuai aturan. Limbah medis di setiap puskesmas pun telah diolah oleh pihak ketiga. Sistem pengolahan limbah medis juga menjadi persyaratan utama untuk penerbitan izin pendirian klinik.
Sebaliknya, AK (60), pemulung di TPA Sarimukti, Kabupaten Bandung Barat, menawari Kompas bahwa dia bisa menyediakan wadah infus bekas. Menurut dia, wadah itu bisa diperoleh dari klinik dan bidan di desa. Bisa juga diperoleh dari timbunan sampah di TPA Sarimukti meski jumlahnya tidak banyak.
”Cuma, kan, pemulung di sini (TPA Sarimukti) banyak. Siapa yang menemukan duluan, dia yang mengambil (wadah infus bekas itu). Butuh waktu untuk mengumpulkannya,” tuturnya.
Bisa dilacak
Pengolahan limbah medis ilegal di Desa Panguragan Kulon, Kabupaten Cirebon, yang ditutup pada 2017 dan mati suri selama dua tahun kini kembali berjalan. Pengolahan itu dijalankan oleh Nurcholis dengan mengerahkan lima pekerja.
Selama 2017, pengolahan limbah medis itu dijalankan oleh anggota TNI, Sersan Mayor Tumpak Dolok Saribu, dibantu sejumlah warga setempat, di antaranya Agus dan Nasikhin. Sejak pengolahan limbah itu ditutup pada Desember 2017, ketiganya pun diadili dan kini telah dipidana.
Nurcholis mengaku kembali mengolah timbunan limbah medis itu atas perintah Tumpak. Menurut dia, pengolahan itu kembali dilakukan agar timbunan limbah itu dapat habis secara berangsur-angsur.
Lima orang yang dipekerjakan Nurcholis memilah limbah B3 itu dengan tangan telanjang. Umumnya yang diambil adalah tabung plastik bening berbahan polypropylene (PP), seperti tabung obat dan tabung darah. Limbah yang telah dipilah kemudian dicacah lalu dijual seharga Rp 5.000 per kilogram ke lapak daur ulang di Tangerang. Aktivitas ini, menurut Nurcholis, telah berlangsung sejak Juni lalu.
Kompas berusaha mengonfirmasi Tumpak dengan menemuinya di tempatnya bekerja di Sekolah Calon Perwira Angkatan Darat, Bandung. Namun, ia menolak bertemu. Seorang anggota provos yang menghubungi Tumpak lewat telepon menyampaikan bahwa Tumpak enggan ditemui karena sedang sakit.
Lusia Sulastri, pengacara prodeo Agus dan Nasikhin, menyampaikan, kliennya selama ini memang menjalankan usaha barang rongsok. Setelah bertemu dengan Tumpak, mereka diajak mengolah limbah medis ini. ”Klien saya hanya pekerja, bukan pelaku utama,” ucapnya.
Memang, dari penelitian ahli yang kami sidik kemarin, tanah terkontaminasi limbah medis di sana banyak terdapat bakteri, virus berbahaya, bahkan antraks pun ada.
Kepala Subdit Penyidikan Pencemaran Lingkungan Hidup Kementerian LHK Anton Sardjanto menyampaikan, kebocoran pada limbah medis dapar dilacak pada pihak-pihak yang bekerja sama dengan rumah sakit untuk pengangkutan limbah tersebut. ”Titik krusial itu di transporter (saat limbah diangkut pihak ketiga),” ujarnya.
Demikian pula pada pengolahan limbah medis ilegal di Cirebon, menurut dia, ada banyak transporter atau pengangkut limbah medis yang terlibat. Selain memang limbah itu diduga turut dipasok salah satu pengolah limbah medis berizin. ”Kasus ini masih terus kami kembangkan,” katanya.
Terkait timbunannya, Anton mengatakan, pihak kejaksaan yang menangani kasus pengolahan limbah itu telah meminta Kementerian LHK membereskannya. Walaupun diakui Anton, hasil pemeriksaan laboratorium yang dilakukan Kementerian LHK ditemukan bahwa tanah di bawah timbunan limbah itu telah tercemar banyak bakteri, salah satunya bakteri penyebab penyakit antraks.
”Memang, dari penelitian ahli yang kami sidik kemarin, tanah terkontaminasi limbah medis di sana banyak terdapat bakteri, virus berbahaya, bahkan antraks pun ada menurut keterangan ahli itu. Nah, jadi memang perlu penanganan yang serius. Cuma sekarang, kalau misalnya Kementerian LHK yang menangani, perlu anggaran yang besar untuk mengangkut semua itu,” tuturnya.
Jika mengacu pada biaya pengolahan limbah medis yang diterapkan oleh pengolah limbah berizin, dibutuhkan biaya setidaknya Rp 9.000 per kilogram limbah yang dimusnahkan. Sementara, berdasarkan pengamatan, timbunan limbah di rumah Agus mencapai 100-200 ton sehingga dibutuhkan biaya hampir Rp 2 miliar untuk memusnahkannya.
Direktur Sekolah Lingkungan Universitas Indonesia Emil Budianto menyampaikan, penanganan terhadap timbunan limbah B3 itu membutuhkan langkah segera untuk menyelamatkan warga. Apa pun caranya, harus segera dilakukan tindakan.
”Kalau enggak, itu didiamkan, makin lama dampaknya makin tidak terkendali,” ucapnya.
Untuk menangani limbah B3, seperti limbah medis, menurut Emil, memang membutuhkan penanganan khusus. Hal yang paling berbahaya dari limbah itu adalah jika limbah itu dipilah dengan cara yang tidak aman. Proses pemilahan itulah yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan dan penularan penyakit. Oleh karena itu, limbah medis tidak boleh beredar ke masyarakat.
Sebaliknya, hasil akhir produk yang dihasilkan dari plastik limbah medis itu kurang berpengaruh terhadap kesehatan. Sebab, plastik itu akan dilebur dalam suhu 200 derajat celcius sehingga dipastikan kuman dan virus yang menempel di limbah medis itu pun mati.
”(Yang berbahaya itu) prosesnya untuk sampai ke end product. Kalau end product dipanasin, ya, matilah (kuman dan virus yang menempel). Tapi, untuk sampai di sana, kan, dipilah dulu. Itu dipegang jarum, dicuci jarumnya. Kalau ada virusnya, berarti kan virusnya akan mencemari dan pergi ke mana-mana. Itu yang sebetulnya tidak diharapkan,” tuturnya.