Kendati semua prosedur pengolahan limbah medis ini sudah jelas dan cukup ketat, tetap saja ada celah lubang untuk melakukan penyelewengan. Di mana saja celah itu?
Oleh
Yohanes Mega Hendarto
·4 menit baca
Ditemukannya timbunan limbah medis yang tidak terurus di sejumlah lokasi memicu kekhawatiran dari aspek lingkungan dan kesehatan masyarakat. Sampah-sampah yang dihasilkan dari fasilitas layanan kesehatan tersebut seharusnya dikelola sesuai aturan yang berlaku. Sayangnya, aturan ini masih menimbulkan lubang masalah karena kurangnya pengawasan dan sinergi antarpihak.
Beberapa kali Kompas menyoroti temuan limbah medis yang dibiarkan tertimbun di sejumlah lokasi. Misalnya, temuan ribuan jarum suntik bekas pakai di bekas tempat pembuangan sementara sampah di pinggir Jalan KH Masykur, Solo, Jawa Tengah, Selasa (5/3/2019). Setahun sebelumnya, juga ditemukannya praktik bisnis limbah medis ilegal di Tempat Penampungan Sementara (TPS) Panguragan, Cirebon, Maret 2018.
Selain itu, pada Desember 2017, tim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menemukan ratusan karung berisi limbah medis di enam gudang di Kecamatan Panguragan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Limbah medis yang ditemukan antara lain berupa jarum suntik bekas, kantong infus bekas, dan labu darah bekas transfusi.
Padahal, limbah-limbah medis ini sangat berbahaya bagi kesehatan dan harus dikelola secara khusus. Selang infus, jarum suntik, ampul darah, dan obat-obatan kedaluwarsa adalah beberapa contoh limbah medis yang berpotensi diperjualbelikan kembali dan merugikan masyarakat. Belum lagi, limbah medis ini masuk dalam kategori limbah B3 yang dapat mencemari lingkungan serta berbahaya bagi manusia.
Prosedur
Dari tiga temuan Kompas tersebut, dugaan pelaku yang membuang limbah sembarangan selalu mengacu pada pihak rumah sakit ataupun pihak ketiga yang menawarkan jasa pengolahan. Baik pihak rumah sakit, pihak ketiga, maupun instansi pemerintahan kabupaten/kota yang memiliki tanggung jawab sudah diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P-56 Tahun 2015.
Dalam aturan tersebut, dijelaskan tugas dan wewenang dari ketiga pihak. Di sini, rumah sakit hanyalah salah satu dari contoh fasilitas pelayanan kesehatan. Disebutkan, fasilitas pelayanan kesehatan lainnya meliputi tempat praktik mandiri tenaga kesehatan, puskesmas, klinik, apotek, unit transfusi darah, laboratorium kesehatan, optikal, fasilitas pelayanan kesehatan kedokteran, dan layanan kesehatan tradisional.
Masalahnya, tidak semua fasilitas itu memiliki alat dan lokasi pengelolaan limbah medis. Maka, secara aturan pun diperbolehkan apabila pihak rumah sakit, sebagai fasilitas pelayanan kesehatan yang besar, mengumpulkan dan menawarkan jasa pengumpulan sementara limbah-limbah medis dari fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Di sisi lain, fasilitas lainnya itu membayarkan biaya pembuangan limbah medis kepada rumah sakit yang bersangkutan. Praktik kerja sama ini memang cara yang dianjurkan dari segi prosedur.
Baik rumah sakit maupun fasilitas pelayanan kesehatan lainnya paling lama menyimpan limbah medis di lokasi penyimpanan sementara selama dua hari. Selama masa penyimpanan sementara itu, pihak yang menyimpan harus melakukan pemilahan berdasarkan kategori tertentu. Misalnya, limbah infeksius, limbah farmasi, limbah benda tajam, dan limbah radioaktif.
Fasilitas pelayanan kesehatan yang tidak memiliki alat dan lokasi pengolahan limbah medis diharuskan bekerja sama dengan pihak ketiga. Yang dimaksud pihak ketiga ialah perusahaan swasta yang sebelumnya harus mengantongi izin dari dinas lingkungan hidup kabupaten/kota setempat. Biasanya, pihak rumah sakit mengadakan lelang tender melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kemenkes.
Selanjutnya, pihak ketiga atau perusahaan swasta ini memiliki peran yang sangat penting dalam pengolahan limbah medis. Pengangkutan ke lokasi, pengolahan limbah, penguburan, dan penimbunan dilakukan oleh perusahaan tersebut. Meski demikian, pelaksanaan dari satu ke tahap lainnya tidak selalu dijalankan hanya oleh satu perusahaan saja. Bisa jadi tiap tahap dilaksanakan oleh perusahaan yang berbeda.
Contoh alur ini dapat digambarkan sebagai berikut. Dari rumah sakit, perusahaan A mengangkut dan memindahkan ke lokasi perusahaan B. Lalu, perusahaan B mengolah limbah sesuai izin yang ia kantongi, misalnya limbah kimiawi. Maka, limbah jenis lainnya diantarkan perusahaan A ke perusahaan lainnya sesuai spesialisasi pengolahan.
Belum lagi, dalam urusan perizinan antarperusahaan tersebut membutuhkan cap dari instansi yang berbeda-beda. Izin pengolahan limbah harus diberikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sedangkan izin penguburan dan penimbunan dikeluarkan oleh dinas LH kabupaten/kota terkait.
Kendati semua prosedur pengolahan limbah medis ini sudah jelas dan cukup ketat, tetap saja ada celah lubang untuk melakukan penyelewengan. Penyelewengan dapat terjadi mulai dari fasilitas layanan kesehatan yang tidak mengumpulkan limbah sesuai ketentuan hingga perusahaan-perusahaan yang tidak melakukan kewajibannya. Contoh kasus di TPS Panguragan, Cirebon, pelaku yang diduga bermasalah adalah salah satu rumah sakit di Kota Udang itu.
Menambal lubang
Untuk mengatasi celah pelanggaran pengelolaan limbah medis ini, Direktur Kesehatan Lingkungan Ditjen Kesmas Kementerian Kesehatan RI mengajukan beberapa rekomendasi. Usulan dari Kemenkes menyoroti sinergi dari ketiga pihak yang campur tangan di dalamnya. Ketiganya adalah pemerintah pusat dan daerah, fasilitas pelayanan kesehatan, dan pihak ketiga atau perusahaan swasta.
Dari sektor pemerintah pusat dan daerah, ada empat instansi yang perlu menaruh perhatian khusus. Kementerian Kesehatan, Kementerian LHK, Kementerian Perhubungan, dan pemerintah daerah menjadi instansi yang dinilai perlu saling berkoordinasi.
Tugas dan wewenang mereka meliputi sosialisasi, pemberian izin yang ketat, dan pengawasan terhadap proses pengolahan limbah medis di daerah masing-masing.
Kendati semua prosedur pengolahan limbah medis ini sudah jelas dan cukup ketat, tetap saja ada celah lubang untuk melakukan penyelewengan.
Sementara itu, fasilitas pelayanan kesehatan juga dituntut untuk memenuhi enam hal utama. Keenamnya meliputi penyiapan sarana, sumber daya manusia, pendanaan, pemenuhan perizinan, monitoring dan evaluasi (monev), pelaporan, dan harus mengikuti SOP yang berlaku.
Adapun pihak ketiga atau swasta perlu meningkatkan kapasitas penyimpanan limbah, pengadaan kajian, hingga penyediaan sumber daya manusia.
Lebih lanjut, Kemenkes menyatakan bahwa secara ideal, pengelolaan limbah medis dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pihak swasta. Pengelolaan ini juga dilakukan dalam lingkup berbasis wilayah (kabupaten/kota, provinsi, atau pulau). Pelaksanaan semua rekomendasi tersebut diharapkan dapat menambal lubang pelanggaran yang selama ini terjadi. (LITBANG KOMPAS)