Tak Cukup Pintu Air Manggarai
Pembangunan Pintu Air Manggarai serta Kanal Barat tidak keliru. Akan tetapi, keduanya hanya bagian kecil dari sistem besar pengendalian banjir. Infrastruktur lain juga harus dibangun. Herman van Breen pun mengakuinya.
Pembangunan Pintu Air Manggarai serta Kanal Barat tidak keliru. Akan tetapi, keduanya hanya bagian kecil dari sistem besar pengendalian banjir. Infrastruktur lain juga harus dibangun. Herman van Breen pun mengakuinya.
Air sungai berwarna kecoklatan mengalir pelan melalui pintu air tua yang kini berusia 106 tahun, Rabu (8/1/2020). Karena ketinggian muka air masih aman atau di bawah 750 sentimeter, pintu air hanya dibuka sedikit. Aneka sampah disaring dan diangkat agar tidak masuk ke pintu air.
Meski usianya sudah seabad lebih, pintu air yang ditopang bangunan bercat coklat itu masih berdiri tegak dan kokoh. Tertulis jelas di pelat besi yang menempel bahwa pintu air itu dibuat oleh Ransomes & Rapier Makers Ipswich Inggris pada 1914. Karat besi terlihat di beberapa bagian, menunjukkan usianya yang uzur. Namun, pintu air itu masih dipertahankan dan berfungsi dengan baik.
Itulah Pintu Air Manggarai yang berfungsi sebagai pengatur aliran air dari Kali Ciliwung. Air dibagi sebelum masuk ke aliran Kali Ciliwung Lama dan ke Kanal Barat.
Baca juga: Cerita Tirta Jakarta
Pintu Air Manggarai dibangun pada 1914-1918 oleh insinyur Belanda, Herman van Breen. Atas jasanya, Van Breen diberi penghargaan oleh Departement van Burgerlijke Openbare Werken (BOW) atau departemen urusan perairan pada tahun 1919. Monumen penghargaan itu masih terpasang di tembok terowongan Pintu Air Manggarai. Dari Jalan Galunggung yang mengarah ke Jalan Tambak, warga dapat melihat tulisan penghargaan berbahasa Belanda itu.
Memindahkan banjir
Sejarawan Restu Gunawan, dalam artikel di harian Kompas (5/2/2007), menyebutkan, pada 19 Februari 1918, banjir besar merendam pusat perekonomian dan pemerintahan Jakarta. Wilayah yang terendam adalah Straat Belandongan, Kali Besar Oost, Pinangsia, Prinsenlaan, Tanah Tinggi, Pejambon, Grogol, Kebon Jeruk, Kampung Tambora, Suteng, Kampung Klenteng Kapuran, dan Kampung Tangki.
Banjir tak luput menggenangi Kampung Jacatra atau Kampung Pecah Kulit di samping Kali Gunung Sari, Angke, Pekojan, dan sekitarnya. Di Jakarta waktu itu juga dilanda wabah kolera. Setiap hari, 6-8 orang masuk rumah sakit.
Melihat kondisi seperti itu, Gemeenteraad Batavia (DPRD) mengadakan sidang paripurna. Dalam rapat hadir Wali Kota Bischop, 14 anggota DPRD, dan Herman van Breen.
Schotman, anggota DPRD, mencecar Bischop dengan pertanyaan tentang penanganan banjir. Seperti, apakah bantuan bahan makanan dan obat-obatan sudah disalurkan ke lokasi pengungsian yang terletak di Pasar Baru, Gereja Katedral, dan sebelah barat Molenvliet?
Breen juga ditanya, apakah jika sudah selesai dibangun, Kanal Barat dapat mengatasi banjir?
Breen tidak menjamin, apabila kanal selesai, Jakarta akan bebas banjir. Sebab, sesungguhnya kanal dan Pintu Air Manggarai hanya memindahkan wilayah banjir. Banjir yang tadinya melanda pusat pemerintahan Hindia Belanda di Weltevreden (Monas, Lapangan Banteng, dan sekitarnya) dan permukiman elite Menteng dipindah ke Manggarai dan Jatinegara.
Manggarai yang ketika itu terletak di luar kota diprioritaskan untuk menanggulangi banjir Jakarta yang luasnya hanya 162 kilometer persegi.
Sistem pengendalian banjir
Pintu Air Manggarai merupakan bagian dari proyek pengendalian banjir Batavia. Breen mengajukan proposal pembangunan kanal pada 1903.
Sebagai ahli tata air Belanda, Breen diminta mengendalikan air dari hulu sungai sekaligus membatasi volume air yang masuk ke kota. Saat itu, pusat pemerintahan dan perekonomian Batavia masih berkutat di sekitar Kota Tua hingga ke Weltevreden.
Baca juga: Mengenang Geger Pecinan dan Pesan Persatuan…
Breen membuat ide membangun saluran kolektor di pinggir selatan kota untuk menampung limpahan air. Air diatur debitnya sebelum dibuang ke laut melewati sisi barat kota. Saluran kolektor itu dikenal sebagai Kanal Barat.
Menurut arkeolog Candrian Attahiyyat, realisasi usulan Pintu Air Manggarai baru berjalan tahun 1914-1918 karena minimnya dana, mengingat saat itu krisis ekonomi sedang mendera dunia.
Pembangunan Pintu Air Matraman atau Manggarai memakan biaya 275.600 gulden.
Breen tidak menjamin, apabila kanal selesai, Jakarta akan bebas banjir. Sebab, sesungguhnya kanal dan Pintu Air Manggarai hanya memindahkan wilayah banjir.
Pintu Air Manggarai bukan sepenuhnya karya orang Belanda. Belum ada penguasaan teknologi yang memadai di Negeri Kincir Angin untuk membuat crane atau mesin pengangkat pintu air. Karena itu, pemerintah Hindia Belanda mendatangkan crane dari pabrik di Inggris, Ransomes & Rapier. Crane dipesan sejak empat tahun sebelumnya. ”Dahulu, crane di Tanjung Priok juga berasal dari perusahaan yang sama,” ujar Candrian.
Setelah proyek selesai, sebuah plakat dipasang di Pintu Air Manggarai dengan isi memuji kerja Van Breen. Namun, banjir besar ternyata kemudian masih menerjang pusat pemerintahan dan perekonomian, terutama pada 1930-an. ”Pintu Air Manggarai menjadi semacam monumen peringatan bahwa pengendalian banjir pernah gagal,” kata Candrian, Sabtu (11/1/2020).
Setelah Pintu Air Manggarai dibangun, Kanal Barat mulai dibangun pada 1922. Mereka membuat kanal untuk mengalihkan limpahan air dari Kali Ciliwung Lama agar debit air yang mengarah ke pusat kota berkurang. Kanal Barat bermula dari Manggarai dan di lokasi dibuat pintu air. Dari Manggarai, kanal berlanjut ke barat, yakni ke Kali Cideng Baru, Grogol, Angke, hingga Muara Angke.
Kanal Barat dikerjakan bertahap, yaitu dari Pintu Air Manggarai menuju barat, memotong Sungai Cideng, Sungai Krukut, Sungai Grogol, terus ke Muara Angke. Untuk mengatur debit aliran air ke dalam kota, kanal dilengkapi beberapa pintu air, antara lain Pintu Air Manggarai (untuk mengatur debit Kali Ciliwung Lama) dan Pintu Air Karet (untuk membersihkan Kali Krukut Lama dan Kali Cideng Bawah dan terus ke Muara Baru).
Pembangunan pintu air dilanjutkan dengan membangun Kanal Barat sampai Karet dengan biaya 574.000 gulden berupa uang dan 5.300 gulden dalam bentuk material. Proyek penggalian kanal banjir ini seluruhnya dikerjakan dengan tenaga tangan sepanjang 4,5 kilometer dengan kedalaman 4 meter sampai 12 meter. Proyek kanal ini selesai tahun 1915, dilanjutkan penggalian saluran Cideng dan Tanah Abang. Penggalian kedua saluran itu untuk memperlancar aliran sungai.
Bagian dari sistem
Candrian mengatakan, Pintu Air Manggarai serta Kanal Barat dibuat untuk membantu meringankan beban Pintu Air Istiqlal, yang sudah terbangun lebih dulu. Pintu Air Istiqlal, dulu dikenal juga sebagai Sluisburg (jembatan pintu air) serta Pintu Air Kapitol, dibuat untuk mengendalikan air di saluran agar tidak menyebabkan banjir bagi Weltevreden. ”Namun, pintu air ini jebol karena banjir pada akhir abad ke-19,” ucapnya.
Selain pintu air dan kanal, Van Breen juga mengusulkan pembangunan sistem polder di utara. Usul ini diadopsi Pemerintah RI pascakemerdekaan, salah satunya dengan membangun Waduk Pluit. Dekade 1960-an, Waduk Pluit di Kecamatan Penjaringan dibuat seluas 85 hektar.
Baca juga: Taman Ria dan Sisa Ceria Jakarta
Presiden RI Soeharto meresmikan waduk ini tahun 1968. Waduk Pluit berfungsi mengurangi risiko banjir setidaknya untuk kawasan seluas 34,2 kilometer persegi di Jakarta, termasuk Monas, Istana Presiden, Jalan MH Thamrin, Cideng, dan Krukut.
Meski demikian, sejarah membuktikan, pembangunan polder pun tidak cukup. Candrian mengatakan, menjelang transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, luas Waduk Pluit menciut karena penyerobotan lahan oleh warga. Penyerobotan meluas dari tahun ke tahun hingga area waduk tersisa 60 hektar.
Warga seakan tidak punya rasa memiliki terhadap sistem pengendali banjir ini. Kondisi ini menunjukkan pemerintah kurang melibatkan masyarakat dalam upaya menanggulangi banjir dan hanya fokus pada pendekatan teknis.
Menurut Candrian, berkutat pada pendekatan teknis dan meninggalkan pendekatan sosial dalam pengendalian banjir merupakan warisan kolonial. ”Bahkan, Belanda dulu memperbolehkan pendirian pabrik di pinggir kali, misalnya pembuatan gula,” ucapnya.
Buka-tutup pintu
Seratus tahun setelah Pintu Air Manggarai terbangun, situasi tak jauh berbeda.
Operator Pintu Air Manggarai, Fajar Juli Haryadi (32), mengatakan, fungsi Pintu Air Manggarai masih sama. Pintu ini membagi aliran air untuk mengendalikan banjir di pusat perekonomian Glodok dan pusat kota di sekitar Istana. Fungsi pintu air juga untuk mengurangi beban kapasitas Sungai Ciliwung Lama yang tak sebesar Kanal Barat.
Kapasitas Kali Ciliwung lama sekitar 50 meter kubik per detik, sedangkan dulu kapasitas Kanal Barat 307 meter kubik per detik. Setelah dibangun satu pintu air baru pada 2014, kini kapasitas Kanal Barat 470 meter kubik per detik.
”Saat tinggi muka air (TMA) berstatus siaga 1 seperti pada malam Tahun Baru 2020 lalu, kami harus berhitung bagaimana mengalirkan air, terutama yang ke arah Ciliwung Lama. Jangan sampai air melimpas ke jalan,” kata Fajar.
Jika Kanal Barat bermuara di Muara Angke, alur Kali Ciliwung Lama bercabang dua. Kali Ciliwung Lama mengalir ke barat melewati terusan Molenvliet. Adapun aliran ke timur melewati Pasar Baru, Jalan Gunung Sahari, Jembatan Merah, hingga ke Ancol. Di sisi timur ini, aliran air sudah mengalami pelurusan, terutama di sepanjang Jalan Gunung Sahari hingga ke Ancol.
Dahulu, Pintu Air Ciliwung Lama hanya boleh dibuka seizin Presiden RI melalui direktur jenderal sumber daya air dan gubernur DKI Jakarta.
Pintu air itu juga tidak bisa dibuka setiap saat, hanya saat kondisi banjir siaga I. Tahun 2007, saat Jakarta banjir besar, Pintu Air Ciliwung Lama dibuka untuk mempercepat surutnya air di Istana Merdeka. Baru, pada 2016, Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama membuat kebijakan agar Pintu Air Ciliwung Lama dibuka terus.
Menurut Balai Besar Wilayah Ciliwung Cisadane (BBWSCC), Pintu Air Ciliwung Lama tak bisa dibuka terlalu lebar karena akan membuat aliran air dari hulu tidak bisa dikendalikan (Kompas, 31/10/2016).
”Betul, baru sejak tahun 2016 Pintu Air Ciliwung Lama dibuka secara optimal. Aliran Kali Ciliwung Lama juga sudah bagus karena sudah di-sheetpile dan dinormalisasi,” ujar Dian Nur Cahyono, penanggung jawab Pintu Air Manggarai.