Rapuh Ringkih Mitigasi Tradisi yang Kini Rentan Mati
Mitigasi bencana telah ada sejak lama. Tak datang seketika menjaga kehidupan manusia di sekitarnya. Perkembangan zaman membuat mitigasi berbasis tradisi rapuh, rentan mati digilas beragam disrupsi hari ini.
Wartono (50) dan keluarganya sontak berhamburan ketika pohon gebang (Corypha utan) setinggi hampir 40 meter merobohkan sebagian ruang tengah rumahnya di Dusun 1 RT 002 RW 002 Desa Playangan, Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (11/1/2020) sore. Pohon yang tumbang dihantam angin kencang itu seperti mitigasi bencana warga setempat, rapuh.
Tembok rumah Wartono setinggi 2 meter dan lebar 1,5 meter pun bolong. Atapnya ambruk. Teriakannya kalah keras dengan derasnya hujan. Angin kencang menerbangkan genteng-genteng.
Serpihannya membuat pipi dan dahi Saul Azmi (6 bulan), cucu Wartono, memar. Paha kirinya juga benjol sekira jempol orang dewasa akibat tertimpa genteng. “Kami semua, enam orang, yang sedang nonton televisi langsung ke luar rumah,” katanya.
Sebelum rumah Wartono, pohon gebang dengan diameter sekitar 1 meter itu menimpa kediaman Wasja (55). Sebuah tiang ambruk. Tembok rumah berukuran 6,5 meter x 6 meter retak di banyak sisi. Sengnya ringsek.
Beruntung, tidak ada korban meninggal dunia dalam kejadian yang menurut Wartono berlangsung sekitar lima menit itu. Namun, sepuluh orang terpaksa mengungsi ke rumah keluarga. Perabotan rumah tangga juga dititipkan kepada tetangga.
Sekitar 20 jam setelah kejadian, bangkai pohon di atas kedua rumah itu akhirnya disingkirkan. Petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Cirebon, TNI, Polri dan masyarakat setempat bahu membahu mengangkat pohon jenis palem itu.
Baca Juga : Angin Kencang Masih Mengancam Cirebon
Akan tetapi, hingga Senin (13/1), masih ada satu pohon berukuran serupa yang berdiri tegak di samping pohon yang tumbang. Jaraknya, hanya sekitar tiga meter dari rumah warga. Maklum, dusun tersebut padat penduduk. Jarak antarrumah warga saja hanya dipisahkan jalan setapak.
Itu sebabnya, Wartono masih was-was rumahnya yang rusak bakal ketiban pohon kembali. “Sebelumnya, saya sudah khawatir karena dua tahun terakhir pohonnya sudah mati. Enggak ada daunnya. Dahannya juga jatuh. Genteng sudah beberapa kali diganti karena rusak. Semoga ada bantuan untuk rumah kami,” kata bapak tiga anak ini.
Pohon keramat
Sejauh ini, Wartono dan warga lainnya tidak bisa apa-apa. Kedua pohon yang diibaratkan sepasang suami istri itu merupakan pohon keramat. Konon, sejumlah warga sudah mencoba "membunuh" pohon itu dengan minyak tanah, bensin, solar.
“Tetapi, pohon yang kira-kira berumur 70 tahun ini tetap tumbuh. Katanya, orang yang mau motong pohonnya jadi gangguan jiwa,” kata Rasmin, warga setempat yang umurnya sama dengan pohon itu.
Kisah itu semakin biru saat sejumlah petugas siang itu juga mengaku ada yang aneh. Sinyal salah satu operator seluler hilang. Padahal, di desa lain tidak ada gangguan sinyal.
Rasmin tidak tahu, siapa yang menunggui pohon itu. Tetapi, dulu, ketika malam kliwon, ada saja warga yang membawa sesajen ke pohon tersebut. Sekarang, katanya, sudah tidak lagi.
Mungkin, karena pohonnya sudah mati, berwarna hitam. Pohon itu menua, lapuk dan ditumbuhi jamur. “Dulu, waktu saya kecil, pohonnya masih setinggi 2 meter. Rumah juga belum sepadat sekarang,” katanya.
Rasmin juga tidak tahu pasti kegunaan pohon gebang. “Tetapi, kalau buahnya jatuh ke tanah, hasil sawah bagus, enggak gagal panen. Kalau jatuh ke laut, hasil tangkapan nelayan banyak,” katanya.
Sutrisno, Kepala Urusan Pemerintahan Desa Playangan, punya pendapat berbeda. “Hasil laut memang banyak, tetapi beberapa tahun terakhir angin kencang dan ombak tinggi, berbahaya. Nelayan ada yang tetap berangkat untuk dapat uang,” katanya.
Tidak sedikit nelayan yang melaut hanya tinggal nama. Nelayan Gebang termasuk dalam korban cuaca buruk di perairan Jabar. Tahun 2018, sebanyak 24 orang yang meninggal dunia dan 11 lainnya hilang di Jabar.
Itu sebabnya, Sutrisno ingin satu pohon yang masih tegak di depan rumah Wartono dipotong saja sebelum ada korban. Tumbangnya pohon gebang di permukiman warga bias menimbulkan masalah baru.
“Enggak ada yang mengakui itu pohon milik siapa. Mungkin, takut dibebankan biaya ganti rugi oleh warga. Padahal, selama ini, kalau ada buah mangga atau yang lain jatuh, semua mengaku itu pohonnya,” katanya diikuti tawa.
Hasil laut memang banyak, tetapi beberapa tahun terakhir angin kencang dan ombak tinggi, berbahaya. Nelayan ada yang tetap berangkat untuk dapat uang. (Sutrisno)
Mitigasi bencana
Kepala Seksi Kedaruratan dan Logistik BPBD Kabupaten Cirebon Eman Sulaeman berjanji akan memangkas pohon itu sebelum tumbang. “Ah, itu mitos saja,” ucap Eman saat ditanya tentang soal penebang pohon akan celaka bila menebang pohon itu.
Katanya, angin kencang saat ini bisa lebih mencelakakan warga ketimbang mitos. Hampir seluruh daerah di 40 kecamatan Cirebon rawan diterjang angin kencang.
Sejumlah daerah juga rentan terdampak puting beliung, seperti Arjawinangun, Panguragan, Pabedilan, Kapetakan, Gunung Jati, dan Gebang. Akhir 2018, puting beliung di Panguragan merenggut nyawa Herdiyanto (4,5) dan merusak 237 rumah warga serta sejumlah fasilitas.
Eman meminta masyarakat meningkatkan kewaspadaannya saat hujan deras dan angin kencang. “Kalau ada angin, jangan berlindung di bawah pohon, papan reklame, dan tiang listrik. Warga harus segera ke tempat aman yang bangunannya kokoh,” ujarnya.
Apalagi, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Meteorologi Kertajati mencatat, selama 2019, angin kencang mendominasi cuaca ekstrem di Cirebon dan sekitarnya, yakni 64 kejadian.
Kecepatannya bisa lebih 50 kilometer per jam, dua kali lipat dibandingkan kondisi normal, yakni maksimal 20 km per jam. “Angin kencang saat ini diperkirakan hingga Sabtu (18/1/2020),” kata Prakirawan BMKG Stasiun Kertajati Ahmad Faa Izyin.
Kalau ada angin, jangan berlindung di bawah pohon, papan reklame, dan tiang listrik. Warga harus segera ke tempat aman yang bangunannya kokoh. (Eman Sulaeman)
Dodi Budirokhman, pengajar Jurusan Agroteknologi Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon, mengatakan, selain angin kencang, tumbangnya pohon bisa karena usianya yang tidak produktif lagi. Oleh karena itu, pohon tersebut sebaiknya ditebang.
Menurut dia, pohon gebang mudah hidup di dataran rendah, termasuk permukiman. “Salah satu fungsi pohon ini untuk menyimpan air di batangnya. Ini bisa dimanfaatkan warga saat kemarau, termasuk di persawahan,” katanya mencoba merasionalisasi pandangan warga untuk tidak menebang pohon tersebut.
Akan tetapi, akar pohon itu kini ditimbun semen pekarangan rumah warga yang berlantai keramik. Ketika kemarau, pohon tersebut harus berlomba dengan sumur-sumur warga yang dilengkapi mesin pompa.
Tidak hanya itu, bisa jadi akar pohon gebang tak dapat menancap sempurna karena kalah kuat dibandingkan beton fondasi rumah warga. Saat itu terus terjadi, kemungkinan pohon tak akan tumbuh sempurna dan kemudian tumbang kapan saja.
Mustakim Asteja, pengamat sejarah dan budaya Cirebon, menilai, sejumlah daerah berhubungan dengan pepohonan. Gebang, misalnya, diambil dari pohon gebang. Begitupun dengan kecamatan Gunung Jati yang berasal dari pohon jati.
“Pohon dikeramatkan untuk menjaga keseimbangan alam,” katanya.
Pohon beringin, misalnya, dahulu dijadikan tempat berkumpul warga di keraton setelah melakukan perjalanan jauh. Pohon itu memberikan udara segar di tengah terik mentari. Itu sebabnya, beringin dijadikan simbol pengayom untuk rakyat.
Mustakim tidak tahu pasti makna pohon gebang. “Namun, ketika koloni Belanda datang 1689 ke Gebang, daerah itu menjadi salah satu pelabuhan strategis. Bahkan, ada jabatan Pangeran Gebang yang punya menangani perdagangan hasil laut,” ungkapnya.
Kini, pohon gebang yang menjadi jejak kejayaan daerah itu menua dan mati menimpa rumah warga di Playangan. Kondisi pohon itu seperti mitigasi bencana warga yang rapuh. Padahal, konon, nama Playangan diambil dari kisah para jawara yang mampu melayang ketika dikejar penjajah. Sekarang, malah atap warga melayang diterpa angin kencang.
Baca Juga : Hujan Disertai Angin Kembali Landa Kota Surabaya