Tiga Dekade Luka ”Si Merah”
Meskipun tengah terbang tinggi, Liverpool tabu menyebut kalimat juara Liga Inggris musim ini. Mereka kapok menggoda takdir yang selama tiga dekade mengingkari mimpi mereka dan menyisakan luka mendalam.
Konon, di jagat sepak bola ini, tiada yang lebih menderita namun tetap tegar selain fans tim nasional sepak bola Inggris yang juga menggemari Liverpool. Bukan hanya sekali, dua kali, setahun, atau dua tahun mereka dilukai ekspektasi tinggi akan gelar juara. Derita itu terjadi bertubi-tubi, bahkan selama puluhan tahun, seperti kutukan yang tidak pernah berhenti.
”Inggris menemukan sepak bola, mengodifikasinya, dan menjadi juara dunia pada tahun 1966. Namun, memalukannya, mereka seperti lupa cara bermain yang benar di laga-laga terpenting setelah itu karena arogansi mereka, yaitu menganggap sepak bola adalah milik mereka,” tulis Henry Winter dalam bukunya berjudul Fifty Years of Hurt: The Story of England Football (2016).
Dalam skala domestik, penderitaan lima dekade yang dialami Inggris itu hanya bisa ditandingi ”The Reds”, klub yang di masa silam bergelimang prestasi domestik. Pada masanya, yaitu tahun 1970-an hingga 1990-an, Liverpool adalah satu-satunya klub asal Inggris yang paling dikenal luas dunia. Empat trofi Liga Champions (dulu Piala Champions) dan 11 gelar juara Liga Inggris mereka raih pada masa itu.
Memasuki akhir abad ke-20, klub yang mengemas 18 trofi Liga Inggris itu seolah menderita amnesia prestasi. Menyusul lengsernya Manajer Kenny Dalgish pada 1991, klub asal Merseyside itu lantas didera kemarau trofi Liga Inggris yang tidak berkesudahan. Berbagai upaya pun dilakukan untuk memulangkan trofi bergengsi di Inggris itu ke Anfield. Namun, upaya-upaya itu berakhir dengan kata ”nyaris” dan kekecewaan.
Selama tiga dekade terakhir, tercatat setidaknya tiga kali The Reds nyaris menjadi kampiun Liga Inggris, yaitu musim 2008-2009, 2013-2014, dan 2018-2019. Pada setiap upaya percobaan itu, euforia selalu menghampiri mereka. Saat menjamu Bolton Wanderes di boxing day, 26 Desember 2009 silam, misalnya, teriakan ”Kami akan menjuarai liga ini!” menggema di Anfield.
Para pendukung The Reds lantas tidur nyenyak malam itu berkat kemenangan 3-0 atas Bolton dan posisi puncak di klasemen Liga Inggris. Tradisi berkata, tim yang ada di puncak klasemen Liga Inggris saat boxing day atau masa Natal hampir selalu finis sebagai kampiun di akhir musim. Lima bulan berselang, mereka bangun dengan mimpi buruk, yaitu melihat banyaknya koran di Inggris yang mengulas dan menyanjung rival tersengit mereka, Manchester United, sebagai tim juara di musim itu.
Lima tahun berlalu, suporter The Reds mulai melupakan kenangan buruk itu. Mereka kembali bersemangat sekaligus terpesona dengan kiprah tim baru yang memiliki seorang ”predator” gol tajam bernama Luis Suarez. Striker yang kini membela Barcelona itu menghidupkan kembali gairah akan gelar juara The Reds. Tim itu sangat trengginas dan mengukir lebih dari 101 gol pada musim 2013-2014. Mereka pun menjadi langganan di puncak klasemen.
Karakter genetik
Namun, di bawah asuhan Manajer Brendan Rodgers, ”Si Merah” ternyata mewarisi karakter genetik Inggris yang telah disindir Winter. Mereka seolah lupa bagaimana caranya bermain dengan benar di momen-momen krusial. Apalagi, fans The Reds ramai-ramai bernyanyi, ”Kami bakal memenangi liga ini” saat menjamu Chelsea di Anfield, 27 April 2014. Dengan arogannya, mereka kembali menggoda suratan takdir yang belum ditulis.
Benar saja. Takdir berpaling dari mereka. Pada laga pekan ke-36 itu, satu pekan sebelum mengunci gelar juara, The Reds takluk 0-2 dari Chelsea. Gelar juara yang sempat di genggaman mereka terpeleset jatuh bersamaan tergelincirnya kapten Steven Gerrard di lapangan sehingga bola dicuri Demba Ba dan berujung gol pembuka Chelsea pada menit-menit akhir laga. Mental The Reds hancur seketika.
Posisi puncak direbut Manchester City yang menjadi juara dengan keunggulan hanya dua poin dari The Reds. Kegagalan mengenaskan itu terus menghantui Gerrard hingga kini meskipun ia tidak lagi berstatus sebagai pemain. ”Bagi saya pribadi, momen itu sangat kejam. Tiada hari saya lewati tanpa memikirkan, apa yang akan terjadi jika momen itu tidak ada (terpeleset). Mungkin kami akhirnya juara,” ujar Gerrard penuh penyesalan, seperti dikutip The Guardian, 2015 silam.
The Reds memang seperti dikutuk takdir. Sejarah mencatat, dari 11 musim terakhir ini, delapan tim menjuarai Liga Inggris setelah sempat berdiri di puncak klasemen pada hari Natal. Pengecualian hanya terjadi tiga kali, yaitu pada musim 2008-2009, 2013-2014, dan 2018-2019. Ironisnya, tiga musim pengecualian itu seluruhnya diderita oleh Liverpool.
Lima tahun kemudian, The Reds punya kesempatan lain menjadi juara. Mereka tancap gas hingga pertengahan musim dan meninggalkan rival terberatnya, Manchester City, dengan keunggulan tujuh poin saat pergantian tahun 2018-2019. Nyanyian ”Kami bakal juara” kembali menggema di Anfield pada musim dingin itu. Kali ini, mereka merasa, trofi Liga Inggris lebih dekat.
Namun, lagi-lagi, mereka terjatuh di momen krusial. Mereka takluk dari The Citizens, 1-2, pada laga di Stadion Etihad, 3 Januari 2019. Kemenangan itu menghidupkan energi baru bagi City untuk mengejar ricalnya itu. Liverpool lalu disalip City pada pekan ke-29 setelah kembali kehilangan poin-poin penting pada empat laga berikutnya, antara lain melawan Leicester City, Everton, dan Manchester United.
The Reds pun tercatat sebagai satu-satunya klub dalam sejarah Liga Inggris yang tidak menjadi juara meskipun telah mengemas poin fantastis, yaitu 97, dan hanya sekali kalah pada musim itu. Mereka hanya kalah satu poin dari City di akhir musim.
”Banyak orang berkata, perolehan 97 poin cukup laik bagi sebuah tim menjadi juara. Faktanya, tidak demikian karena Manchester City meraih 98 poin. Kami harus lebih kejam ke depan,” ujar Andy Robertson, bek Liverpool, dengan getir pada Mei 2019 lalu.
Mematikan indra perasa
Penderitaan dan kegagalan bertubi-tubi itu telah mematikan seluruh indra perasa The Reds. Tak heran, musim ini, nyaris tidak terdengar ekspektasi maupun euforia akan gelar juara dari Anfield ketika media massa dan orang lain justru ramai, bahkan heboh, membicarakannya. Tidak lagi terdengar teriakan keras ”Kami bakal juara!” dari The Kop, tribune paling angker di Anfield yang berisikan suporter fanatik Liverpool, saat mereka mengalahkan Manchester City 2-0, November lalu.
Tidak ada pula euforia akan trofi juara, yang terakhir kali diraih tahun 1990, ketika mereka dua kali menggilas Leicester City 4-0 dan unggul 13 poin di puncak klasemen pada boxing day, Desember 2019. The Reds menjelma monster kejam, dingin, dan nyaris tidak berperasaan. Mereka terlihat nyaris berbaik hati memberikan kemenangan untuk Aston Villa sebelum akhirnya mematahkan hati tim promosi itu lewat dua gol Robertson dan Sadio Mane di penghujung laga pada 2 November.
”Orang-orang (fans Liverpool) lain mungkin pesimistis. Sepanjang hidup, saya belum pernah merasakan juara Liga Inggris. Jadi, saya tidak pernah mengalaminya. Jujur, saya tidak sabar menanti masa itu. Mudah-mudahan, itu terjadi tahun ini,” ujar Reece, fans Liverpool yang berusia 27 tahun, penuh harap, kepada BBC.
Mentalitas monster, semangat lapar gelar, ditambah tempaan fisik hebat Manajer Juergen Klopp selama hampir lima musim terakhir membuat The Reds kini menjadi ”mesin” pendulang poin yang mengerikan. Bayangkan, dari maksimal 63 poin yang bisa diraih dari 21 pertandingan, 61 di antaranya telah mereka sapu. Tidak pernah terjadi sebelumnya, baik di Inggris maupun Eropa, terjadi pencapaian poin sebanyak itu dari 21 laga awal.
Satu rekor hebat itu telah mereka raih. Bukan tidak mungkin, The Reds melewati rekor menakjubkan lainnya, yaitu jumlah poin tertinggi di Liga Inggris, yaitu 100 angka, yang diraih The Citizens saat meraih trofi liga itu pada musim 2017-2018. Liverpool diprediksi mencapai poin 103, bahkan lebih, pada bulan Mei. Namun, iming-iming rekor itu tidaklah membius The Reds.
Laga-laga krusial
Mereka memasang ”kacamata kuda”, yaitu fokus mendulang poin dengan menatap satu per satu laga ke depan tanpa memikirkan hal lainnya, termasuk rekor maupun gelar juara. Sebab, sepak bola adalah seni segala kemungkinan. Meskipun kini unggul 14 poin di puncak, mereka pantang berpesta dini karena masih harus menghadapi sejumlah laga krusial yang berpotensi menghambat gelar juara mereka seperti melawan MU (19/1/2020), Wolverhampton Wanderers (24/1), Manchester City (4/4), dan Arsenal (2/5).
”Anda tidak akan mendapatkan apa pun dari angka dan rekor. Liga ini sangatlah sulit dan kami masih harus menghadapi begitu banyak lawan tangguh. Ketika nantinya kami telah meraih poin cukup yang tidak lagi bisa dikejar, barulah kita berbicara soal itu (gelar juara),” ujar Klopp mengenai ditabukannya kata ”juara” di timnya saat ini seperti dikutip AFP.
Satu-satunya pemain—tepatnya mantan—The Reds yang berani berkata tentang gelar juara adalah Gerrard. ”Jika Liverpool akhirnya menjadi juara, itu bakal membantu perasaan saya (menghilangkan rasa bersalah dari kegagalan di 2014 lalu). Hal itu selalu ada di kepala saya sampai mereka menjadi juara,” ujarnya pekan lalu.