Komik serial animasi ”Sari dan Mulia” buatan siswa SMKN 3 Tangerang Selatan dikembangkan untuk sarana pendidikan perdamaian. Komik ini diisi konten untuk mempromosikan toleransi.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Komik serial animasi ”Sari dan Mulia” buatan siswa SMKN 3 Tangerang Selatan dikembangkan untuk sarana pendidikan perdamaian. Komik ini diisi konten untuk mempromosikan toleransi.
Pendidikan perdamaian dan toleransi menjadi kebutuhan yang mutlak di Indonesia mengingat kayanya keragaman yang ada di masyarakat Tanah Air. Tidak mau berpangku tangan membiarkan berbagai permasalahan intoleransi yang terjadi secara sporadis, Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia memilih bergerak membuat program pendidikan damai di sekolah untuk mempromosikan toleransi.
Kegiatan itu salah satunya diselenggarakan di SMKN 3 Tangerang Selatan, Banten. Sekolah ini memiliki tiga jurusan keahlian, yaitu animasi, teknik kendaraan sepeda motor, dan otomatisasi administrasi perkantoran. Guru Pendidikan Agama Islam SMKN 3 Tangerang Selatan, Fauziah Winda Safitri, memutuskan menggunakan medium animasi untuk mengajar perdamaian.
”Kebetulan jurusan animasi sekolah sudah memiliki studio mandiri yang memproduksi serial Sari dan Mulia untuk ditayangkan di Youtube. Penontonnya tidak cuma siswa SMKN 3, tetapi juga masyarakat luas,” tuturnya di Tangetang Selatan (Tangsel), Kamis (9/1/2020).
Setiap episode terbit per pekan dan berdurasi kurang dari lima menit. Dalam ceritanya, kakak beradik Sari dan Mulia membahas berbagai fenomena sehari-hari seperti berbuat baik kepada sesama, menjaga kebersihan, dan termasuk juga mengenal berbagai perbedaan yang ada di masyarakat.
Para siswa jurusan animasi mengembangkan naskah cerita mingguan yang kemudian dibahas bersama Winda serta Kepala SMKN 3 Tangsel Surya Wedi. Mereka memastikan kontennya tertib di jalur pedagogis dan mengusung pesan perdamaian.
”Sekarang kami mulai membuka metode lain, yaitu unggahan vlog rutin dari semua siswa, tidak cuma jurusan animasi. Tantangannya membuat video mengenai toleransi dan persahabatan. Nanti siswa jurusan animasi membantu mengedit dan mengunggah ke Youtube,” kata Winda.
Surya Wedi menambahkan, selain untuk eksternal sekolah melalui video, di dalam sekolah juga akan dibikin dialog antaragama. Konsepnya seperti acara bincang-bincang santai. Ia mengungkapkan, pada 2019 sekolah pernah mengadakan kegiatan itu dan disambut secara positif oleh siswa. Ia berencana membuat bincang-bincang ini sebagai kegiatan terjadwal dan rutin dengan konten yang berkembang sesuai dinamika isu toleransi.
Rohis duta perdamaian
”Target awal program menyasar rohis (rohani Islam) supaya menjadi advokat perdamaian dan toleransi,” kata Ketua Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Tangerang Selatan Tajudin.
Hal ini karena ekstrakurikuler rohis berisi siswa yang mempelajari ilmu agama. Persepsi agama untuk perdamaian tanpa menafikan perbedaan sangat penting untuk dipahami karena merupakan dasar sikap saling menghargai. Para anggota rohis ini diharapkan bisa membangun jembatan komunikasi, setidaknya di dalam lingkungan sekolah masing-masing untuk menghilangkan prasangka.
Mereka melakukan percobaan di SMAN 6 Tangsel, SMKN 3 Tangsel, dan SMK Al Mubarok Tangsel. Metode yang diambil di ketiga sekolah itu berbeda-beda. Di SMAN 6, misalnya, dialog antarsiswa lintas agama sudah menjadi tradisi. Adanya program pendidikan damai oleh AGPAII ini meningkatkan intensitas dialog dan konteksnya untuk saling mengenal, menghargai, dan bekerja sama.
Adanya program pendidikan damai oleh AGPAII ini meningkatkan intensitas dialog dan konteksnya untuk saling mengenal, menghargai, dan bekerja sama.
Pendidikan perdamaian tersebut digalakkan untuk mengatasi intoleransi yang membayangi dunia pendidikan. Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah pada November 2017 meluncurkan penelitian berjudul ”Api dalam Sekam” yang memotret sikap keberagamaan 1.589 siswa SMA, SMK, madrasah aliyah, serta 322 guru dan dosen pendidikan agama Islam. Penelitian dilakukan di 68 kabupaten/ kota di 34 provinsi.
Sebanyak 69,3 persen guru dan dosen terungkap pernah mengikuti aksi intoleran terhadap orang-orang yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Sementara 24,2 persen pernah terlibat aksi intoleran terhadap kelompok non-Muslim. Demikian pula dengan siswa dan mahasiswa. Sebanyak 34 persen pernah terlibat aksi intoleran terhadap komunitas tertentu dalam Islam.
Terhadap kelompok non-Muslim, 17,3 persen pernah ikut aksi intoleransi.
Tajudin menerangkan, sekolah merupakan miniatur Indonesia karena isinya adalah guru dan siswa dari beragam agama, suku bangsa, dan latar belakang sosial. Bahkan, di sekolah berlandaskan agama yang homogen pun tetap ada keragaman karena nilai dan penerapan agama di setiap keluarga berbeda. Cara beragama yang inklusif hendaknya menjadi roh pendidikan agama di sekolah karena inklusivitas ini yang membuat siswa membangun persahabatan dengan teman-teman yang berbeda latar belakang.