Pembaca adalah Raja
Di era internet, manusia semakin didefinisikan oleh pilihan-pilihannya dalam mengonsumsi berita. Situasi ini membuat pembaca semakin menjadi raja atas sebuah informasi. Media ditantang mempertahankan kaidah jurnalisme.
Mana yang lebih Anda percayai, argumentasi dan isi sebuah berita atau siapa yang menyatakannya? Pertanyaan di atas merupakan pertanyaan tentang otoritas sumber. Sering kali, orang begitu gampang percaya terhadap sebuah informasi semata karena disampaikan oleh orang atau media yang telah dipercayai sebelumnya.
Sebaliknya, ketika sebuah informasi disampaikan oleh orang yang tidak dipercayai, figur yang berbeda pandangan, atau media yang dipersepsi berseberangan ideologi, informasi tersebut tak akan segera dipercaya, bahkan dianggap angin lalu.
Di Amerika Serikat, dengan hanya ada dua partai politik, Partai Republik dan Partai Demokrat, beberapa media arus utama dipersepsi sebagai pendukung salah satu pandangan dari dua partai di atas.
Fenomena tersebut juga terjadi di Indonesia, terutama sepanjang gelaran politik 2019. Beberapa televisi dan media cetak dianggap menjadi pendukung atau berafiliasi dengan partai politik tertentu.
Bisa jadi, karena berbagai sebab, sebuah portal media dipersepsi sebagai ”berbeda” pandangan politik atau ideologi oleh pembaca sehingga apa pun isi dari portal berita tersebut dianggap salah.
Adanya persepsi tersebut mengembangkan cara pandang pro-kontra, senang-anti terhadap media. Akibatnya, sebuah informasi tidak dinilai berdasarkan isinya, tetapi dinilai pertama-tama dari siapa yang mengabarkannya.
Ketika si pembawa pesan tidak disukai dan tidak dipercayai, isi pesan yang dibaca pun kemudian tidak dipercaya. Muncullah bias pembaca.
Bias pembaca
Bias pembaca dapat terjadi baik terhadap media ataupun isinya. Bias pembaca terhadap sebuah media dapat terjadi salah satunya karena orang terbiasa mengakses sumber-sumber berita yang ekstrem sesuai dengan pilihan dan ideologi pembaca.
Kesimpulan tersebut ditarik dari jajak pendapat yang dilakukan oleh Gallup dan Knight Foundation tentang kepercayaan terhadap media pada 2017. Jajak pendapat tersebut melibatkan 3.081 responden di AS.
Untuk mengontrol adanya bias sumber berita/media, separuh responden diminta membaca isi berita tanpa diberi tahu sumbernya. Sementara separuhnya diberi tahu sumbernya.
Hasilnya, kelompok yang hanya membaca isi berita lebih memercayai isi berita yang mereka baca. Bahkan, responden yang dikenali sebagai pendukung Partai Republik menilai pemberitaan dari media yang dipersepsi sebagai ”media kiri”, seperti The New York Times dan Vox, sebagai isi berita yang dapat dipercaya.
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?
Hasil senada juga didapatkan dari responden yang diidentifikasi sebagai pendukung Partai Demokrat. Mereka memberikan rating yang tinggi terhadap isi pemberitaan dari media yang dipersepsi sebagai ”media sayap kanan”, seperti Fox News, ketika mereka tidak tahu sumbernya.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa merek sebuah media dapat menjadi bias bagi pembaca dalam mengonsumsi informasi karena dipersepsi berbeda pandangan politik atau ideologi dengan pembaca.
Adanya bias pembaca tidak mengecilkan kecurigaan terhadap kemungkinan adanya media partisan atau bahwa media akan selalu benar.
Akan tetapi, bias pembaca ini perlu pertama-tama disadari mengingat bias ini dapat dialami oleh setiap pengguna internet. Di hadapan Google dan Facebook, setiap akun, termasuk para produsen konten berita itu sendiri, juga merupakan konsumen informasi di era internet.
Matinya editor
Dengan kemudahan produksi dan penyebaran berita di era internet, berbagai informasi yang ditawarkan seakan-akan hadir berlimpah, siap untuk dipilih. Individu pengguna internet diposisikan sebagai tuan yang disodori berbagai informasi yang dapat dipilihnya sendiri sesuai dengan kesenangannya.
Akan tetapi, perlu dipahami bahwa informasi yang disajikan terhadap setiap akun pengguna internet ternyata tidak sama. Artinya, telah terjadi proses eliminasi terhadap berbagai informasi sesuai dengan pilihan pembaca.
Atas dasar kepentingan marketing untuk menyasar calon konsumen yang spesifik, raksasa internet zaman ini, Google dan Facebook, menggunakan algoritma tertentu dalam menyajikan sebuah informasi kepada pengguna. Jenis informasi dan hierarki informasi akan ditawarkan secara personal terhadap setiap akun yang mengaksesnya.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa algoritma sebuah mesin pencari informasi di internet telah menggantikan fungsi editor di sebuah media untuk memilihkan informasi yang relevan bagi pembaca.
Walaupun fungsi editor dalam mengolah dan memilihkan informasi seakan tergantikan oleh algoritma mesin pencari informasi di internet, terdapat perbedaan mendasar dari keduanya yang tak tergantikan.
Editor sebuah media ”memilihkan” berita demi tersampaikannya informasi bagi kepentingan publik sesuai kaidah jurnalisme. Di sisi lain, algoritma mesin pencari di internet bekerja atas dasar kebiasaan pengguna demi sasaran iklan yang lebih personal.
Sementara editor media bekerja demi kepentingan banyak orang, algoritma mesin pencari informasi di internet bekerja demi sasaran iklan yang lebih personal.
Ketika fungsi editor diambil alih oleh sebuah mesin dengan algoritma tertentu, pembaca akan disuguhi informasi sesuai dengan kebiasaan pembaca dalam mengonsumsi informasi.
Dalam presentasinya di forum Technology, Entertainment, and Design (TED) yang diunggah di Youtube pada 2011, penulis Eli Pariser menggunakan contoh sederhana. Dua rekannya mengetikkan kata ”egypt” di mesin pencarian Google sesuai dengan akun masing-masing.
Pengetikan kata yang sama tersebut menghasilkan tawaran hasil yang berbeda. Hal tersebut menegaskan bahwa tawaran informasi yang didapatkan oleh setiap orang di internet semakin lama semakin personal.
Kesadaran awal yang perlu selalu dipegang oleh pengguna internet adalah bahwa informasi yang ditawarkan oleh internet telah ”dipersonalisasi” sehingga sesuai dengan kebiasaan pengguna.
Di sinilah pentingnya kesadaran dari pembaca untuk melihat bahwa ekosistem informasi di internet tidak sepenuhnya bebas nilai.
Fenomena ”Filter Bubble”
Personalisasi informasi bagi pengguna ini memunculkan fenomena yang disebut sebagai filter bubble. Artinya, konten akan diseleksi oleh algoritma yang menyesuaikan kebiasaan pengguna sebelumnya.
Dengan demikian, berbagai informasi yang didapat oleh sebuah akun akan membentuk pola yang sangat personal dan spesifik. Hal itu digambarkan seperti sebuah gelembung pola algoritma di antara semesta gelembung-gelembung pola algoritma akun yang lain dari seluruh pengguna internet.
Apabila diekstremkan, situasi seleksi konten dengan pola yang personal tersebut semakin lama dapat menghasilkan informasi seragam yang ”itu-itu saja” yang menyenangkan pembaca. Situasi ini disebut sebagai echo chambers atau individu terekspos hanya oleh informasi yang disukainya.
Sisi gelap internet dengan filter bubble dan echo chambers ini telah diramalkan sebelumnya oleh peneliti dari MIT Marshall van Alstyne dan Erik Brynjofsson pada 1997.
Mereka menyimpulkan bahwa di samping segi positif internet menyatukan banyak perbedaan, internet juga berpotensi untuk memecah belah kelompok-kelompok dengan membawa pengguna untuk menghabiskan lebih banyak waktu terhadap hal-hal yang hanya mereka sukai dan mengabaikan hal-hal yang tidak mereka pilih.
Apabila diterapkan dalam berita politik, seorang yang terbiasa membaca berita politik dengan ideologi liberal akan terus terpapar oleh tawaran informasi yang berhubungan dengan ideologi liberal. Pola senada juga akan terjadi pada pilihan-pilihan lain yang sebelumnya sering diambil.
Apabila demikian, salahkah internet dan mesin pencari?
Hasil penelitian Eytan Bakshy, Solomon Messing, dan Lada A Adamic yang diterbitkan di majalah Science pada 2015 menunjukkan bahwa situasi filter bubble dan echo chambers merupakan hasil dari pilihan pembaca itu sendiri. Artinya, kebiasaan manusialah yang membentuk mesin pencari untuk memberikan informasi sesuai dengan apa yang disukai.
Dalam situasi filter bubble, perlu dipahami bahwa terdapat bubble-bubble lain dengan pandangan dan ideologi yang beragam di dunia ini. Dalam bentuk yang ekstrem, semata mengonsumsi informasi dari tawaran berita yang diberikan oleh internet, termasuk media sosial, hanya akan membuat kita memandang dengan kacamata kuda.
Oleh karena itu, adanya fenomena filter bubble dan echo chambers tidak berarti bahwa internet merupakan biang keladi dari persoalan di atas. Sebaliknya, para pengguna internet perlu memiliki kesadaran terhadap ”cara kerja” internet yang memungkinkan untuk membentuk filter buble dan echo chambers.
Dengan kesadaran tersebut, selanjutnya pembaca dapat mengambil keputusan, tetap mengakses atau meninggalkan media yang menawarkan informasi kepadanya. Cukupkah semata memiliki kesadaran tersebut?
Emoh berita
Kesadaran terhadap adanya sisi gelap dari internet ini perlu ditambah dengan kesadaran munculnya fenomena menghindari berita (news avoidance).
Penelitian rutin yang dilakukan oleh Reuters Institute pada 2017 dan 2019 menunjukkan perkembangan mereka yang emoh berita.
Dari sejumlah negara di dunia yang menjadi sampel, diperoleh data bahwa pada tahun 2019 sejumlah 32 persen responden berada dalam tahap emoh berita. Jumlah tersebut naik 3 persen dari survei pada 2017.
Fenomena emoh berita ini secara khusus meningkat tajam di Inggris dengan angka 24 persen pada tahun 2017 menjadi 35 persen pada tahun 2019.
Hampir separuh dari mereka yang emoh berita memberikan alasan bahwa berita akan memberikan efek negatif pada mood mereka. Alasan lain, mereka menghindari berita karena mereka mulai sangsi terhadap kebenaran yang diwartakan dalam sebuah pemberitaan.
Individu pengguna internet diposisikan sebagai tuan yang disodori berbagai informasi yang dapat dipilihnya sendiri sesuai dengan kesenangannya.
Fenomena emoh berita ini patut diwaspadai oleh para produsen berita, terutama oleh produsen berita arus utama. Sebagai salah satu pilar demokrasi dan kriteria kesehatan demokrasi dan kebebasan berpendapat, media mau tak mau juga merupakan sebuah industri. Sebagai industri berita, keberlangsungan media sangat ditentukan oleh pembaca.
Ketika sepertiga pembaca mulai emoh dengan media, atau dalam istilah lain lelah dengan berita, produsen berita pantas untuk mengevaluasi diri dan memberi perhatian pada hal-hal yang semakin dibutuhkan oleh pembaca.
Kebutuhan informasi adalah suatu istilah yang sangat luas. Di dalamnya, berdasarkan penelitian Reuters Institute di atas, pembaca ternyata membedakan antara informasi yang berefek negatif dan berefek positif pada mood.
Apabila hasil penelitian Reuters Institute di atas dihubungkan dengan fenomena filter bubble dan echo chambers, dapat dicurigai bahwa keengganan orang mengonsumsi berita dapat terjadi karena adanya tawaran yang itu-itu saja bagi pembaca.
Artinya, penghindaran untuk mengonsumsi berita, salah satunya, disebabkan karena berita yang disuguhkan semata berupa filter bubble dan membentuk echo chambers bagi pembaca.
Kesimpulan ini bisa jadi tak sepenuhnya benar, tetapi ketika sisi gelap dari internet ini dianggap membawa pembaca pada situasi yang memecah belah seperti di atas, seruan untuk kembali pada fungsi jurnalisme semakin mengemuka.
Pertaruhan kepercayaan
Menjadi keharusan dalam sebuah kerja jurnalisme bahwa sebuah berita yang ditulis oleh jurnalis akan mengalami proses pengeditan. Seorang editor profesional akan memastikan bahwa sebuah berita yang akan diterbitkan telah memenuhi kaidah-kaidah jurnalisme.
Selanjutnya, demi memenuhi hak informasi pembaca serta kaidah etis, berbagai berita akan dipilih sesuai pengaruh dan jangkauan isi berita. Berita yang dianggap penting akan ditempatkan di bagian awal dan dijadikan headline pemberitaan.
Melalui moderasi konten yang dilakukan oleh editor, berbagai kaidah dan elemen jurnalisme diterapkan demi menyuarakan sebuah informasi bagi semua kalangan. Artinya, bukan hanya demi kesenangan personal pembaca, tetapi bagi kepentingan yang lebih luas.
Editor media bekerja demi kepentingan banyak orang, algoritma mesin pencari informasi di internet bekerja demi sasaran iklan yang lebih personal.
Jalan panjang tersebut sengaja ditempuh oleh media mengingat bahwa yang dipertaruhkan adalah kepercayaan itu sendiri, baik kepercayaan terhadap isi maupun terhadap netralitas media dalam mengabarkan sebuah peristiwa.
Usaha panjang untuk menghasilkan berita yang bermutu tersebut sering kali juga belum tentu sesuai dengan kriteria dan kesenangan pembaca. Apalagi bisa saja muncul bias pembaca dalam bentuk filter bubble, echo chambers, ataupun emoh berita.
Proses berliku demi kepercayaan pembaca di atas pun belum tentu dapat memenuhi kebutuhan pembaca, apalagi apabila media meninggalkan kaidah-kaidah jurnalisme.
Oleh karena itu, dalam situasi ketika pembaca semakin menjadi raja atas sebuah informasi, walaupun ada kemungkinan terjadi bias pembaca, media ditantang untuk tetap menerapkan kaidah jurnalisme yang selama ini dijunjung tinggi. Hal ini akan mempertahankan kepercayaan dan integritas media di era internet.
Pada akhirnya, media harus rendah hati mengakui bahwa dia tidak dapat memuaskan harapan semua pihak. Minimal, media perlu tetap setia pada fungsinya bagi demokrasi, yakni memberikan informasi yang memadai demi kontrol terhadap kebijakan dan menumbuhkan partisipasi warga negara. (Litbang Kompas)
Baca juga : Papua dan Kehati-hatian Jurnalisme