Keuntungan yang diperoleh pihak tertentu dengan dibiarkannya kendaraan bermuatan dan berukuran lebih tidaklah riil karena ada kerugian yang harus dibayar oleh pihak lain. Khususnya masyarakat umum pembayar pajak.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
Tahun ini, kebijakan bebas kendaraan dengan muatan dan ukuran berlebih atau over load over dimension mulai diterapkan di seluruh jalan tol. Di luar jalan tol, kebijakan itu akan diperluas secara bertahap, yakni di penyeberangan Merak-Bakauheni dan Ketapang-Gilimanuk, mulai 1 Februari 2020. Pada akhirnya, kebijakan serupa akan diberlakukan di seluruh ruas jalan di Indonesia pada 2021.
Kementerian Perhubungan telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 21/2019 tentang Pengawasan terhadap Mobil Barang atas Pelanggaran Muatan Lebih dan atau Pelanggaran Ukuran Lebih. Pada intinya, setiap pihak mulai dari pemerintah pusat maupun daerah, perusahaan agen pemegang merek kendaraan, perusahaan karoseri, badan usaha milik negara maupun daerah, perusahaan angkutan umum, dan pemilik barang, diminta menaati ketentuan.
Akan tetapi, kebijakan itu tidak berjalan mulus. Kementerian Perindustrian telah mengirimkan surat kepada Kementerian Perhubungan untuk menunda dan memberlakukan kebijakan tersebut secara bertahap. Intinya, pemberlakuan kebijakan bebas kendaraan dengan muatan dan ukuran berlebih secara penuh pada 2021 dinilai akan menurunkan daya saing industri nasional.
Alasannya, hal itu akan menambah waktu dan investasi, menambah kemacetan, meningkatkan kebutuhan bahan bakar, serta meningkatkan emisi karbon dioksida (CO2). Selain itu, kebijakan tersebut dinilai berpotensi meningkatkan kecelakaan karena masih banyak infrastruktur jalan yang belum sesuai.
Kementerian Perindustrian mengusulkan pemberlakuan kebijakan bebas kendaraan dengan muatan dan ukuran berlebih secara penuh disesuaikan waktunya dari penerapan penuh pada 2021 menjadi dari 2023 sampai 2025. Meski demikian, sejumlah kalangan tidak setuju penundaan pemberlakuan kebijakan tersebut.
Sementara itu, Asosiasi Logistik Indonesia maupun Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia justru menolak penundaan. Bagi pelaku logistik, truk dengan muatan lebih dan ukuran lebih justru mengonsumsi bahan bakar lebih banyak dan biaya perawatan tinggi. Belum lagi risiko kecelakaan yang terbukti telah banyak terjadi.
Alasan lain, truk yang tidak terstandardisasi, truk yang ada tidak dapat digunakan untuk kebutuhan lain (sharing asset). Jenis truk jadi beragam karena truk menjadi sangat spesifik. Akibatnya, jumlah truk jauh lebih besar dari kebutuhan.
Bagi pengusaha truk, selain alasan di atas, sebagian dari mereka telah mengubah atau mengembalikan truk yang dimiliki menjadi sesuai standar. Jika kebijakan ditunda, mereka menilai pemerintah tidak konsisten karena seperti tidak ada kepastian hukum.
Selama ini, ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran muatan terhadap ketersediaan angkutan menyebabkan terjadinya persaingan dalam penetapan tarif angkutan barang. Akibatnya, kendaraan dengan muatan atau ukuran lebih menjadi kompensasi besaran tarif angkutan yang relatif rendah.
Pengguna jasa ingin tarif angkutan serendah mungkin. Sebab, tarif yang mahal berpengaruh terhadap harga barang di konsumen.
Bagi penyedia jasa angkutan, besarnya tarif harus dapat mengganti biaya pokok angkutan serta margin, tetapi tetap ada harga yang harus dibayar. Jalan rusak sampai jembatan ambruk menjadi bayarannya.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mencatat, kerugian akibat truk dengan beban lebih paling sedikit Rp 43 miliar per tahun.
Kasus amblesnya Jembatan Way Mesuji di Lampung dan ambruknya Jembatan Cincin Lama di Jawa Timur merupakan contoh nyata. Lebih dari itu semua adalah hilangnya nyawa akibat kecelakaan yang disebabkan kendaraan dengan beban lebih.
Dengan demikian, keuntungan yang diperoleh pihak-pihak tertentu tidaklah riil karena ada kerugian yang harus dibayar oleh pihak lain. Pihak itu tak lain adalah masyarakat atau para pembayar pajak. Pembiaran terhadap siklus ini sama saja melanggengkan ketidakadilan.