Dewan Pengawas dan Direksi TVRI Harus Memperbaiki Komunikasi
Konflik di tubuh Lembaga Penyiaran Publik TVRI berimbas pada kepentingan publik yang dikorbankan. Kedua belah pihak harus segera menyelesaikan konflik ini, dengan memperbaiki komunikasi dan juga kinerja masing-masing.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pencopotan Helmy Yahya sebagai Direktur Utama Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia merupakan buntut dari rangkaian panjang persoalan yang mendera TVRI beberapa tahun terakhir. Imbas terbesar dari semuanya adalah, kepentingan publik dikorbankan.
Dalam surat surat pemberitahuan pemberhentian Helmy Yahya sebagai Direktur Utama LPP TVRI periode 2017-2022 tanggal 16 Januari 2020, Dewan Pengawas LPP TVRI antara lain mempermasalahkan pengelolaan keuangan dan juga kinerja manajemen TVRI di bawah kepemimpinan Helmy Yahya.
Namun anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Achsanul Qosasi memastikan persoalan keuangan di LPP TVRI sudah selesai. ”Ada temuan persoalan keuangan (di TVRI). Direksi sudah menindaklanjuti. Artinya, sudah dikoreksi dan dianggap selesai,” kata dia, Jumat (17/1/2020), di Jakarta.
Karena itu, kata Achsanul, konflik antara Dewas TVRI dan Dirut TVRI tak perlu berlarut. BPK pun sudah bertemu Dewas TVRI pada Kamis (16/1). Dalam pertemuan itu pula, Achsanul meminta agar Dewas juga memperbaiki kinerjanya dan menjalin komunikasi yang lebih baik dengan direksi. Hasil pertemuan dengan Dewas ini akan dikeluarkan pekan depan.
Pertemuan tersebut dihadiri empat dari lima anggota Dewas TVRI. Satu di antaranya, Supra Wimbarti, menolak pemberhentian Helmy. Supra juga tidak ikut menandatangani Surat Pemberitahuan Rencana Pemberhentian (SPRP) Helmy Yahya yang dibuat Dewas pada 4 Desember 2019.
“Saya tidak ikut tanda tangan SPRP dan tidak ikut rapatnya karena saat itu saya sedang di Yogyakarta," kata Supra ketika dihubungi di Yogyakarta.
Terbitnya SPRP tersebut berawal dari munculnya masalah gagal membayar honor Satuan Kerja Karyawan (SKK) sebesar Rp 7,6 miliar pada Desember 2018 yang berujung aksi mogok karyawan dan penghentian siaran TVRI pada 10 Januari 2019. Kasus ini terjadi hanya sekitar setahun setelah Direksi LPP TVRI di bawah kepemimpinan Helmy Yanya dilantik pada 29 November 2017.
Penghentian siaran ini merugikan kepentingan publik karena sesuai Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2005 tentang LPP TVRI, tugas dari TVRI adalah memberikan pelayanan informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, serta melestarikan budaya bangsa untuk kepentingan masyarakat.
Menyikapi hal itu, Dewas TVRI melayangkan surat teguran kepada Dirut pada 11 Januari 2019. Teguran terkait tertundanya pembayaran honor SKK juga muncul dari Komisi I DPR dalam Rapat Dengar Pendapat pada 20 Mei 2019 dan 2 Desember 2019. Selain tentang pembayaran honor, DPR juga mempertanyakan tentang banyaknya program asing di siaran-siaran TVRI.
Pembelaan
Kemudian, pada 4 Desember 2019 terbit SPRP yang dijawab dengan surat pembelaan diri Yahya pada 17 Desember 2019. Ketua Dewan Pengawas TVRI Arief Hidayat Thamrin Arief mengatakan, setelah menggelar empat kali sidang pleno, Dewas menolak pembelaan Helmy.
Supra mengatakan, saat membaca pembelaan Helmy yang terdiri dari 27 halaman dan dilengkapi lampiran setebal 1.200 halaman tersebut, dirinya memiliki sejumlah pertanyaan. Karena itu, Supra mengusulkan Dewas mengundang Helmy agar memberi penjelasan secara langsung dengan lebih lengkap.
“Argumen Dewas untuk menolak atau menerima pembelaan itu belum jelas dan harus dilanjutkan dengan memanggil Dirut untuk ditanyai,” kata Supra. Namun, pendapat dan saran Supra tersebut tidak diterima anggota Dewas lainnya.
Arief mengatakan, Helmy tidak menerapkan tertib administrasi anggaran mengenai pembelian program siaran berbiaya besar, antara lain Liga Inggris, Discovery Channel, dan Copa Italia; tidak melaksanakan rebranding TVRI sesuai rencana, memutasi pejabat struktural tak sesuai aturan, dan melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik tentang administrasi pemerintahan, yakni asas ketidakberpihakan, kecermatan, dan keterbukaan terutama tentang penunjukkan/pengadaan Kuis Siapa Berani.
Helmy tidak menerapkan tertib administrasi anggaran mengenai pembelian program siaran berbiaya besar.
Program Kuis Siapa Berani diproduksi oleh Krakatoa Productions di bawah naungan PT Media Mahakarya Indonesia. Program kuis ini merupakan karya dari Helmy yang pernah tayang di sejumlah televisi swasta.
Jika melihat dari data kerja sama sponsorship tahun 2018 dan 2019, Kuis Siapa Berani mendapatkan beberapa kali slot. Tahun 2018 terdapat enam kerja sama senilai Rp 2,147 miliar dan tahun 2019 sebanyak dua kerja sama senilai Rp 3,2 miliar.
Menanggapi hal ini, menurut Helmy, dirinya mendonasikan hak cipta Kuis Siapa Berani secara gratis ke TVRI. “Pak Helmy kehilangan royalti karena menyumbangkan program kuis ini. Kami jelaskan bahwa PT Krakatoa tidak memiliki hubungan hukum dan kepemilikan dengan Helmy Yahya. Pertimbangan penunjukkan PT Krakatoa ini memang (karena) spesialis memproduksi program-program kuis,” kata Direktur Program dan Berita TVRI Apni Jaya Putra.
Siapkan langkah hukum
Pasca diberhentikan sebagai Dirut TVRI, Helmy menyiapkan langkah-langkah hukum seminggu ke depan. Untuk menyiapkan gugatan, ia menggandeng mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi, Chandra Hamzah sebagai penasihat hukum.
Menteri Sekretariat Negara Pratikno prihatin dengan kisruh yang terjadi di tubuh LPP TVRI. Oleh karena itu, pemerintah terus berusaha menyelesaikan kisruh yang terjadi akibat ketidakpercayaan di antara direksi, dewan pengawas dan karyawan TVRI.
"Sebenarnya, saya, Menteri Komunikasi dan Informasi serta Badan Pemeriksa Keuangan tengah mencoba menyelesaikan persoalannya dalam waktu tiga bulan ini, dan sekarang masih terus berlangsung. Kami menghubungi mereka satu per satu," ujar Pratikno saat dihubungi di Jakarta.
Aktivis Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran Bayu Wardhana mengatakan, konflik internal antara Dewan Pengawas dan Dirut TVRI otomatis menganggu tugas utama TVRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik. “Kalau Dewan Pengawas dan Dirut TVRI ribut terus-menerus, maka tugas TVRI sebagai TV publik akan terganggu dan yang paling dirugikan adalah masyarakat atau publik karena TVRI dibiayai APBN, uang pajak rakyat,” kata dia.
Kalau Dewan Pengawas dan Dirut TVRI ribut terus-menerus, maka tugas TVRI sebagai TV publik akan terganggu dan yang paling dirugikan adalah masyarakat atau publik karena TVRI dibiayai APBN, uang pajak rakyat.
Menengok sejarah TVRI, konflik internal ini bukan yang pertama kali. Pada periode sebelumnya juga sering terjadi konflik. Baik persoalan internal maupun eksternal.
Menurut Bayu, sesuai peraturan, Dewan Pengawas memang mempunyai wewenang untuk mencopot Dirut. “Sekarang publik tinggal menagih Dewan Pengawas apakah mampu memilih Dirut baru yang bisa membawa perubahan TVRI yang lebih baik atau tidak,” ujarnya.