Kebijakan Bebas Truk Kelebihan Muatan Perlu Diterapkan Lebih Cepat
Penundaan pemberlakuan kebijakan bebas truk dengan ukuran maupun muatan berlebih dinilai bakal membebani anggaran pemerintah. Kementerian PUPR berharap kebijakan diberlakukan sesuai rencana, yakni tahun 2021.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Penundaan pemberlakuan kebijakan bebas truk dengan ukuran maupun muatan berlebih atau zero over load over dimension dinilai bakal membebani anggaran pemerintah. Oleh karena itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat berharap kebijakan diberlakukan sesuai rencana semula.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono di Jakarta, Jumat (17/1/2020) menyatakan, pihaknya mendukung pemberlakuan kebijakan bebas truk dengan ukuran dan muatan berlebih yang telah dicanangkan oleh Kementerian Perhubungan.
Basuki menyampaikan hal itu terkait usulan Kementerian Perindustrian agar pemberlakuan kebijakan itu ditunda atau diberlakukan secara bertahap dari tahun 2021 menjadi tahun 2023-2025. Pemberlakuan kebijakan itu secara penuh pada tahun 2021 dinilai akan menurunkan daya saing industri nasional, menambah waktu dan investasi, meningkatkan kebutuhan bahan bakar, dan emisi karbondioksida (Kompas, 17/1/2020).
Akan tetapi, Basuki berpendapat sebaliknya. “Kami berharap kebijakan itu tetap diberlakukan, bahkan lebih cepat lebih baik,” kata Basuki.
Kendaraan dengan ukuran maupun muatan berlebihan memiliki daya rusak yang lebih besar terhadap konstruksi jalan dibandingkan kendaraan dengan muatan dan beban normal. Hal itu berarti semakin cepat kerusakan jalan, semakin besar anggaran yang harus dialokasikan pemerintah untuk memperbaikinya.
Staf Ahli Menteri PUPR Bidang Keterpaduan Pembangunan, Achmad Gani Ghazali Akman menambahkan, biaya yang diperlukan untuk memperbaiki jalan-jalan yang rusak sangat besar. Dari anggaran yang disiapkan, baik oleh pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota, sekitar 80 persennya dialokasikan untuk perbaikan jalan.
Namun demikian, faktor yang menimbulkan kerusakan jalan tidak hanya beban berlebih, tetapi juga sistem drainase jalan yang tidak bagus. “Jika dihitung sebagai kerugian, jumlahnya mencapai triliunan (rupiah),” kata Ghani.
Tak sesuai desain
Secara terpisah, Ketua Kelembagaan Himpunan Pengembangan Jalan Indonesia (HPJI) Purnomo berpendapat, mengangkut beban berat bukanlah larangan. Namun, hal itu menjadi masalah ketika desain kendaraan tidak sesuai dengan berat beban yang diangkut alias berlebih.
“Truk dua sumbu dengan beban 30 ton itu daya rusaknya jauh lebih besar dibandingkan truk empat sumbu dengan beban yang sama. Maka kita perlu mendorong agar truk berbeban besar seharusnya bersumbu banyak,” kata Purnomo.
Selain menambah jumlah sumbu, jika beban yang diangkut memang besar, maka yang diperlukan adalah mesin besar. Dengan demikian, sistem pengereman udara maupun pengereman mesin mesti dipasang untuk meningkatkan keselamatan atau tidak terjadi kasus rem blong.
Peningkatan kapasitas mesin, penambahan sumbu, serta fitur keselamatan berarti menambah investasi. Namun demikian, jumlah muatan yang diangkut juga semakin besar. Hal itu akan mengkompensasi investasi yang dikeluarkan.
Selain itu, Kementerian PUPR sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap jalan nasional diharapkan mengevaluasi jalan yang telah dibangun selama ini. Sebab, kerusakan jalan yang terjadi, selain disebabkan kendaraan bermuatan lebih, juga karena kualitas jalan yang jelek.
Truk yang banyak melanggar ketentuan mengenai muatan antara lain mengangkut besi, semen, keramik, dan material tambang. Purnomo berharap Kementerian PUPR, Kementerian Perhubungan, maupun Kementerian Perindustrian duduk bersama untuk mencari solusi.
“Kerugian triliunan rupiah itu sebenarnya bisa digunakan untuk membangun jalan, kan, bisa lebih besar dampaknya terhadap biaya transportasi, termasuk biaya logistik,” ujar Purnomo.