Memasuki tahun keenam kehadirannya di industri perbankan, PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) Syariah Tbk konsisten dengan komitmennya, yakni meningkatkan inklusi untuk kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·5 menit baca
Komitmen tersebut dijalankan dengan menghimpun dana masyarakat kelas menengah ke atas untuk disalurkan kembali sebagai pembiayaan bagi masyarakat prasejahtera. Dengan konsisten di segmen itu, BTPN Syariah tercatat mampu menekan rasio pembiayaan bermasalah di angka 1,3 persen pada Triwulan III-2019.
Padahal, pada periode yang sama, total pembiayaan yang sudah disalurkan BTPN Syariah mencapai Rp 8,9 triliun atau tumbuh 27,8 persen secara tahunan. Adapun dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun mencapai Rp 9,01 triliun atau tumbuh 25 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya.
Keunikan dan rahasia bisnis pembiayaan perusahaan anggota Kompas100 ini diungkap oleh Direktur Utama BTPN Syariah, Ratih Rachmawaty. Berikut petikan obrolan Ratih dengan redaksi Kompas saat berkunjung ke Menara Kompas, Jakarta, Jumat (17/1/2020).
Bagaimana awal terbentuknya BTPN Syariah?
Awalnya, pada 2009 BTPN melihat segmentasi masyarakat prasejahtera belum terlayani. Di Indonesia ada kurang lebih 40 juta warga prasejahtera yang mungkin tidak akan pernah menjadi bankable (tersentuh layanan perbenkan).
Akhirnya kami putuskan untuk menjemput bola dengan membentuk unit usaha syariah yang khusus melayani pembiayaan segmen ini. Ada resep khusus untuk memastikan kualitas pembiayaan masyarakat menengah ke bawah terjaga, yakni menjadikan perempuan sebagai jalur masuknya.
Kenapa perempuan? Karena pola pikir perempuan dalam kelas ekonomi sosial di bawah cenderung punya orientasi memutar pinjaman menjadi pendapatan tambahan yang bermanfaat bagi keluarga.
Setelah lima tahun beroperasi, pada 2014 nilai aset dan kapasitas dari unit usaha syariah ini pun layak untuk dikonversi jadi bank umum syariah. Hingga saat ini, BTPN Syariah konsisten dalam menyalurkan pembiayaan untuk segmen masyarakat prasejahtera.
Seperti apa cara BTPN Syariah menjemput bola?
Di BTPN Syariah, kami merekrut bankir lapangan yang disebut community officer. Mereka disebut juga sebagai bankir pemberdaya. Para banker ini adalah warga yang baru lulus SMA/SMK dari wilayah setempat. Sebagian dari mereka ada juga yang merupakan diploma atau sarjana sekolah tinggi.
Tugasnya mulai dari mendekati calon nasabah, menjelaskan produk, memberikan pendampingan dan pelatihan, hingga mendengarkan keluh kesah para ibu soal urusan rumah tangga yang sama sekali tidak berhubungan dengan persoalan perbankan.
Karena tidak ada kantor cabang, BTPN Syariah menyewa rumah yang sekaligus dapat digunakan sebagai tempat tinggal yang disebut wisma. Di pagi hari, mereka rapat menentukan tujuan dan pekerjaan hari itu. Sore hari, mereka kembali ke wisma, rapat evaluasi, untuk kemudian beristirahat.
Apa kunci menjaga rasio kredit bermasalah tetap minimum?
Untuk memperoleh pembiayaan, para ibu yang jadi calon nasabah kami harus membuat kelompok yang terdiri dari 8-15 orang. Dalam menerima nasabah baru, kami juga meminta rekomendasi dari nasabah lama, jadi kalau warga lain setuju bank juga akan setuju.
Para nasabah ada yang sudah memiliki bisnis, ada juga yang belum. Jika belum punya bisnis kami beri pinjaman Rp 1 juta dengan tenor setahun. Pembayaran dicicil setiap dua minggu sekali sebesar Rp 56.000.
Jaminan dari pembiayaan yang diberikan BTPN Syariah adalah wajah mereka. Jadi setiap nasabah harus berkomitmen hadir setiap dua pekan di salah satu rumah anggota kelompok untuk membayar angsuran dan menerima materi pelatihan.
Pembayaran angsuran dilakukan secara tanggung renteng. Maksudnya, jika ada anggota kelompok yang tidak mencicil karena alasan apa pun, cicilannya akan ditanggung bersama oleh anggota kelompok lain. Ini membuat antarnasabah saling mengingatkan untuk membayar angsuran.
Bagaimana pangsa pasar di segmen ini?
Kami sebenarnya tidak menghitung itu dan tetap fokus untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat prasejahtera yang jumlahnya di Indonesia mencapai 40 juta jiwa.
Terhitung sejak menjadi unit usaha BTPN, nasabah kami sudah mencapai 5,2 juta nasabah, sementara yang aktif mencapai 3,5 juta nasabah. Ini adalah jumlah ibu-ibu yang rata-rata memiliki 1 suami dan 2 anak. Perhitungan kasarnya, 5,2 juta nasabah kami memberikan dampak bagi 20 juta jiwa masyarakat prasejahtera di Indonesia.
Seperti apa Anda menanggapi persaingan dengan koperasi atau tekfin yang juga menggarap segmen yang sama?
Kami tak melihat tekfin, koperasi, maupun BMT (lembaga keuangan mikro berbasis syariah) sebagai pesaing. Kami menyambut kehadiran mereka dengan semangat kompetisi karena prinsip kami adalah kompetisi akan merangsang terciptanya inovasi. Semakin banyak inovasi tercipta, maka masyarakat akan semakin termudahkan. Kami tidak akan pernah menutup ruang untuk berkompetisi karena Indonesia membutuhkan pelayanan jasa keuangan di segmen ini.
Bagaimana prinsip BTPN Syariah dalam mengelola sumber daya manusia?
Kami berupaya menjadikan karyawan sebagai manusia seutuhnya dengan memenuhi empat kebutuhan utama yakni kebutuhan tubuh, pikiran, hati, dan spiritual. Pertama untuk memenuhi kebutuhan, perusahaan mengalkulasi jumlah gaji yang layak yang sesuai standar kebutuhan hidup karyawan.
Kedua, kebutuhan pikiran terpenuhi dengan bermacam tantangan dan persoalan yang mesti dilalui dan dipecahkan karyawan dalam menyelesaikan setiap pekerjaan. Kita dapat bayangkan betapa tersiksanya kita bila mendapat gaji besar tetapi pekerjaannya hanya membuat garis di kertas.
Kemudian untuk memenuhi kebutuhan hati kami menjaga hubungan yang baik antarkaryawan. Yang terakhir, kebutuhan spiritual dapat terpenuhi saat karyawan meyakini apa yang dia kerjakan bermanfaat bagi orang lain, itulah yang selama ini BTPN Syariah kerjakan dengan berupaya meningkatkan inklusi keuangan dan mengangkat ekonomi masyarakat prasejahtera.
Pekerjaan menuntut Anda banyak melakukan perjalanan jauh, apa kiat Anda untuk menjaga kondisi tubuh?
Saya menganalogikan tubuh sebagai komputer yang jika sudah bekerja seharian harus di-shutdown, tidak hanya di-reset. Maka saya selalu memastikan kebutuhan tidur berkualitas saya terpenuhi. Setiap hari rata-rata saya tidur pukul 23.00 dan bangun pukul 05.30. Jika ada waktu libur, saya manfaatkan juga untuk tidur.
Bahkan, saya sampaikan pada para pemegang saham dan pemangku kepentingan di perusahaan bahwa saya memang membutuhkan waktu tidur yang cukup. Ini bukanlah sebuah dosa karena yang terpenting saya tidak tidur di waktu bekerja.