Menata Masa Depan Bangsa sejak dari Pesantren
Pondok pesantren di Jawa Barat berpotensi jadi motor penggerak perekonomian warga. Kemitraan masyarakat membuat pesantren tidak hanya jadi tempat menimba ilmu agama. Dari sana, masa depan bangsa ikut ditata kembali.
Terletak hingga pelosok desa, pondok pesantren di Jawa Barat berpotensi jadi motor penggerak perekonomian warga. Kemitraan dengan masyarakat membuat pesantren tidak hanya menjadi tempat menimba ilmu agama. Dari sana, masa depan bangsa ikut ditata kembali menjadi lebih baik.
Hangat siraman sinar matahari pagi yang berpadu dengan udara sejuk perbukitan membuat Toat (40) betah di kebunnya di Desa Alamendah, Rancabali, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Sabtu (5/10/2019). Tangannya cekatan mencabut rumput di antara sayur bit dan selada bokor.
Kebun itu berada di samping rumahnya. Toat memanfaatkan pekarangan seluas 280 meter persegi itu untuk menanam sayuran. Hasil panen kebun dijual ke Koperasi Pondok Pesantren Al-Ittifaq yang berjarak sekitar 30 meter dari rumahnya. Sudah 10 tahun ia bermitra dengan ponpes tersebut.
Dalam sehari, Toat menyetor 15 kilogram bit dan 20 kg selada bokor. Bit dijual Rp 15.000 per kg, sedangkan selada bokor Rp 12.000 per kg. Sebelum bermitra dengan Ponpes Al-Ittifaq, ayah dua anak itu menjual hasil panen kepada pengepul. Harga jualnya tak menentu karena tak punya pasar yang pasti. Bahkan, pengepul membeli panenan kedua komoditas itu dengan harga di bawah Rp 5.000 per kg.
”Harga jual di Koperasi Ponpes Al-Ittifaq stabil. Jadi, hidup lebih tenang karena tidak khawatir harga anjlok,” ujarnya. Hasilnya, Toat kini bisa menabung dan menata masa depan. Salah satunya mengikutsertakan kedua anaknya dalam program asuransi pendidikan. ”Supaya uang panen tidak habis, saya salurkan ke asuransi pendidikan anak agar mereka bisa sekolah sampai sarjana,” ujarnya.
Toat dan keluarga adalah satu dari ratusan rumah tangga yang merintis sejahtera lewat bermitra dengan Ponpes Al-Ittifaq. Pesantren itu bekerja sama dengan 270 petani binaan di Kabupaten Bandung, Bandung Barat, dan Cianjur.
Koperasi Ponpes Al-Ittifaq juga memberdayakan santri dan alumninya untuk mengelola lahan seluas 130 hektar. Saat ini, pesantren yang berdiri tahun 1943 itu punya lebih dari 1.000 santri. Koperasi itu kini memasok puluhan jenis sayuran ke supermarket, rumah makan, dan pasar tradisional. ”Sehari bisa menjual 3 ton sayur dengan omzet sekitar Rp 25 juta,” ujar Ketua Koperasi Ponpes Al-Ittifaq Irawan.
Al-Ittifaq mulai merambah usaha agrobisnis pada tahun 1970. Saat itu, ponpes dipimpin KH Fuad Affandi, cucu pendiri Ponpes Al-Ittifaq, KH Mansyur. Langkah KH Fuad mengembangkan usaha terbilang berani. Saat itu, mayoritas pesantren masih terfokus pada pendidikan agama. Namun, KH Fuad yakin, pesantren memiliki banyak modal, seperti lahan, sumber daya manusia, dan ilmu, untuk menolong warga di sekitarnya.
”Jadi, pesantren tidak hanya bermanfaat untuk santri, tetapi juga masyarakat di sekitarnya,” ujar Fuad. Kesuksesan Al-Ittifaq membuatnya dipilih menjadi tempat magang bagi ratusan pesantren peserta One Pesantren One Product (OPOP) 2019. Peserta program OPOP yang berjumlah 1.074 pesantren tidak hanya dibekali pelatihan.
Mereka juga mendapatkan bantuan penguatan usaha dan jaringan bisnis. Setiap pesantren mendapatkan bantuan Rp 20 juta-Rp 30 juta. Sementara 10 pesantren juara Audisi OPOP 2019 diberikan tambahan modal Rp 400 juta. Gubernur Jabar Ridwan Kamil berharap, pihaknya ikut membantu mewujudkan kemandirian ponpes sembari membantu menyejahterakan masyarakat.
Kami berharap ikut membantu mewujudkan kemandirian ponpes sembari membantu menyejahterakan masyarakat.(Ridwan Kamil)
Salah satu peserta magang di Al-Ittifaq adalah Randy Nova Jaya, perwakilan Ponpes Rasana Rasyidah di Desa Cintadamai, Sukaresmi, Kabupaten Garut. Bersama peserta lain, ia belajar mengolah lahan, mengatur waktu tanam, mengakses pasar, dan mengurus manajemen usaha.
Ponpes Rasana Rasyidah mempunyai lahan seluas 10 hektar. Menurut rencana, sebagian lahan tersebut akan ditanami paprika. Randy terinspirasi kiprah Al-Ittifaq yang membantu banyak warga di sekitarnya.
”Sekolah di pesantren kami memberikan beasiswa untuk 30 siswa. Dengan mengembangkan usaha pertanian, kami berharap semakin banyak warga yang bisa dibantu,” ujarnya semringah.
Baca Juga : UMKM Pesantren Jabar Berdayakan Santri
Bantuan usaha
Kebahagiaan juga direngkuh Sansan Gunawijaya (40) ketika menunjukkan celana sarung (celarung) buatannya. Celarung itu tidak hanya dipakai beraktivitas, tetapi juga diharapkan menjelma jadi usaha bagi santri yang kurang mampu secara ekonomi.
”Yea…, celana baru, tetapi kantongnya kosong. Isi dong!” ucap Sansan sambil mengeluarkan kain saku hitam yang melompong di pahanya. Pengurus dan santri pesantren lainnya pun ikut tertawa.
Siang itu, Kamis (17/10/2019), mereka tengah mengikuti pelatihan dan magang OPOP di Pondok Pesantren Husnul Khotimah, Kabupaten Kuningan, Jabar. Peserta tidak hanya diajarkan teori menjahit, tetapi praktik membuat pola hingga memanfaatkan mesin jahit. Santri berumur 20-an tahun hingga pengurus pesantren yang berusia setengah abad mengikuti petunjuk instruktur.
Ada yang tertatih-tatih, tetapi banyak pula yang mahir. Sansan, pengurus Ponpes Al-Amin di Campaka, Kabupaten Cianjur, lekas beradaptasi dengan membuat celarung. ”Sebagai santri, saya kadang bosan pakai sarung. Kenapa enggak pakai sarung dan celana?” kata Sansan, yang mengenakan sarung selama pelatihan.
Dia yakin, pasar celarung cerah dengan ribuan pondok pesantren. Apalagi, kampungnya di Majalaya, Bandung, merupakan sentra sarung. Jadi, bahan baku tidak perlu khawatir. ”Harganya bisa lebih murah. Kan, tetangga saya,” ucap bapak dua anak ini. Harapannya besar. Celarung itu diharapkan meningkatkan perekonomian sekitar 20 santri di Ponpes Al-Amin, yang sebagian besar putus sekolah karena persoalan biaya. Umurnya dari 10 tahun hingga 23 tahun.
Ponpes Al-Amin yang didirikan tahun 2000 oleh Abah Damanhuri itu sempat mendapat ujian. Pernah vakum pada 2010-2015 karena bangunannya ambruk, kini sekitar 80 persen bangunan, seperti tujuh kamar dan dua ruangan belajar, sudah berdiri kembali. Akan tetapi, keterbatasan tak lantas membuat penghuni pondok berharap sumbangan dari donatur. Sejak 2015, Sansan bersama santri mulai membuat sarung bantal aneka rupa motif. Kainnya diambil dari kain sisa pabrik boneka di Cianjur hingga Sukabumi.
Kini, untuk menghidupi pesantren, produksi sarung bantal dan tempat tisu diklaim mampu mencapai 1.000 buah per bulan dari modal awal Rp 7 juta. Adapun permintaan pasar, katanya, mencapai 2.500 buah per bulan. Santri yang ikut bekerja dibatasi waktunya karena perlu belajar dan mengaji. ”Hasilnya Rp 2,4 juta per bulan untuk membiayai makan santri,” katanya.
Dengan keterampilan baru membuat celarung, Sansan optimistis mendapatkan tambahan pemasukan. Apalagi, program OPOP memberi pelatihan penjualan daring serta memfasilitasi pameran produk OPOP.
Batik pesantren
Bagi Khodijah (21), peserta lain dari Ponpes Kebon Pring, Kabupaten Cirebon, pelatihan menjahit memberi nilai tambah bagi usaha santri dan warga setempat. Selama ini, daerah pesantren itu kerap membikin kain batik. Upahnya murah, sekitar Rp 12.000 per lembar. Upah bisa bertambah tergantung tingkat kerumitan motif batik.
”Lumayan, buat sangu (uang jajan) kuliah,” ujar mahasiswi semester V Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Syekh Nurjati, Cirebon, tersebut. Anak perajin batik itu berharap pelatihan menjahit akan membuat perajin tidak hanya membatik, tetapi juga memproduksi dalam bentuk pakaian jadi, bahkan punya butik sendiri.
Sebagai gambaran, jika harga batik di perajin Rp 200.000 per helai, harga pakaian jadinya bisa mencapai Rp 800.000 per helai. Peningkatan keterampilan tersebut dapat memberdayakan ekonomi santri dan warga setempat. Apalagi, pihak ponpes baru mampu memfasilitasi penginapan bagi 25 santri. Padahal, total santri mencapai 235 orang.
Itu sebabnya, pelatihan dan magang OPOP salah satunya dilakukan di Ponpes Husnul Khotimah yang boleh dibilang mandiri dengan menjahit. Ustaz Didin Mulyanto, Ketua Koperasi Ponpes Husnul Khotimah, mengatakan, dulu, kebutuhan seragam sekolah dipenuhi pihak ketiga. Padahal, seragam bisa jadi potensi ekonomi bagi pesantren.
Pada 2004, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah saat itu mendirikan tempat pelatihan menjahit, lengkap dengan mesinnya. Setelah merekrut karyawan, pesantren lalu memproduksi seragam enam setel per orang untuk sekitar 300 santri. Kini, pihaknya mampu memproduksi lebih dari 21.700 helai pakaian mulai dari gamis, seragam olahraga, hingga kerudung untuk 1.550 santri dan siswa. ”Karena bikin sendiri, kami bisa menghemat pengeluaran hingga 40 persen dibandingkan waktu pesan dari pihak ketiga. Sekarang, omzet menjahit sekitar Rp 2 miliar per tahun,” ungkapnya.
Karena bikin sendiri, kami bisa menghemat pengeluaran hingga 40 persen dibandingkan waktu pesan dari pihak ketiga. Sekarang, omzet menjahit sekitar Rp 2 miliar per tahun. (Ustaz Didin Mulyanto)
Wawan Dhewanto, pengajar School of Business and Management Institut Teknologi Bandung, menilai OPOP sebagai program pemberdayaan ekonomi pesantren secara sistematis, masif, dan terukur. Sistematis karena program ini diawali pemetaan potensi produk unggulan di pesantren, lalu pelatihan dan magang. Masif karena peserta OPOP hingga 1.070 pesantren. Setiap pesantren dapat diwakili dua orang. Jumlah itu merupakan hasil seleksi dari lebih 1.550 pesantren yang mendaftar.
Sementara terukur tampak pada peningkatan skala usaha pesantren. Pesantren yang belum memiliki usaha didorong membuat produk. ”Setelah pelatihan dan magang, terdapat sekitar 130 pendamping bagi peserta untuk membantu pemasaran dan wadah konsultasi sekitar setahun. Bukan tidak mungkin, pesantren turut berperan menekan pengangguran,” kata Wawan.
Apalagi, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik, per Agustus 2019, Jabar menjadi provinsi dengan tingkat pengangguran kedua tertinggi, yakni 7,99 persen. Urutan pertama ditempati Banten dengan 8,11 persen. Adapun tingkat pengangguran terbuka di Indonesia rata-rata mencapai 5,28 persen. ”Program ini bisa menjadikan pesantren tidak hanya berfokus pada pendidikan, tetapi juga solusi atas masalah ekonomi. Ujungnya, pesantren bisa mandiri,” ucap Wawan.
Kenali potensi
Seperti Al- Ittifaq dan Husnul Khotimah, Ponpes Al-Idrisiyyah di Tasikmalaya juga menjadi tempat magang bagi ratusan pesantren lain. Pesantren itu memiliki 40-an unit usaha, di antaranya tambak udang, koperasi simpan pinjam syariah, minimarket, perkebunan, dan rumah makan.
Ketua Koperasi Ponpes Al-Idrisiyyah Ahmad Tazakka Bonanza bermitra dengan ribuan warga menjalankan puluhan unit usaha. Dalam memproduksi makanan olahan, misalnya, pesantren membeli bahan dasar dari warga setempat. ”Sekitar 70 persen dari 17.000 anggota koperasi merupakan warga luar pesantren. Semakin banyak ponpes yang bermitra dengan masyarakat, tentu akan lebih baik bagi ekonomi umat,” ujarnya dalam Temu Bisnis OPOP 2019 di Kota Bandung, Minggu (15/12/2019).
Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Jabar Kusmana Hartadji mendorong pesantren memaksimalkan potensi yang ada di wilayahnya. Bisnis komoditas pertanian, misalnya, dapat memberdayakan petani di sekitarnya. ”Koperasi pesantren menyerap hasil panen petani untuk disalurkan kepada pembeli. Lebih baik lagi jika dibuat menjadi makanan olahan dan mempunyai nilai tambah,” ujarnya.
Berkat temu bisnis tersebut, puluhan pesantren menyepakati kontrak kerja sama dengan sejumlah perusahaan. Salah satunya adalah Ponpes Al Munawaroh, Tasikmalaya, yang akan menyediakan jeruk lemon ke perusahaan pemasok buah dan sayuran dengan nilai kontrak Rp 456 juta.
”Sebelumnya, kami hanya menjual kepada pedagang lokal. Temu bisnis ini membantu pesantren untuk menjangkau pasar lebih luas,” kata Ketua Badan Usaha Milik Pesantren Al Munawaroh Usep Wahyudin. Pihaknya juga bermitra dengan tujuh petani buah di Tasikmalaya untuk memenuhi permintaan jeruk lemon tersebut.
Sebelumnya, kami hanya menjual kepada pedagang lokal. Temu bisnis ini membantu pesantren untuk menjangkau pasar lebih luas. (Usep Wahyudin)
Temu bisnis itu mengakhiri program OPOP 2019. Perwakilan ribuan pesantren pulang ke daerah asal masing-masing dengan beragam asa dan rencana. Mereka terikat semangat yang sama, yakni bergerak menuju pesantren mandiri, memberdayakan warga di sekitarnya, sehingga sejahtera bersama.
Baca Juga : Sebanyak 20 Pesantren di Jabar Sepakati Kerja Sama Senilai Rp 23 Miliar