Sebanyak 120 pekerja migran Indonesia dipulangkan dari Arab Saudi. Mereka dinilai ilegal karena berangkat tanpa dokumen legal. Ironis karena moratorium penempatan pekerja rumah tangga di Timur Tengah masih berlaku.
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kementerian Ketenagakerjaan memulangkan 84 orang pekerja migran Indonesia berstatus tanpa dokumen legal pekan lalu. Mereka bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Arab Saudi. Padahal, moratorium penempatan pekerja di sektor itu masih berlaku hingga kini.
Arab Saudi adalah salah satu negara yang masuk dalam daftar penghentian dan pelarangan penempatan pekerja pada pengguna perorangan di Timur Tengah menurut Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 260 Tahun 2015. Regulasi itu mengatur tentang penghentian dan pelarangan penempatan pekerja migran pada pengguna perorangan di negara-negara kawasan Timur Tengah.
Direktur Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri Kementerian Ketenagakerjaan, Eva Trisiana, Minggu (19/1/2020) malam, menyatakan, kedelapan puluh empat orang tersebut berasal dari Nusa Tenggara Barat.
Mereka semua sudah tiba di Nusa Tenggara Barat pada 16 Januari 2020, lalu diserahkan kepada dinas tenaga kerja dan transmigrasi tingkat kabupaten/kota, dan akhirnya diantar pulang ke keluarga masing-masing.
Mereka dijanjikan bekerja di sektor rumah tangga dengan gaji sekitar 1.200 riyal. Beberapa diantaranya telah meninggalkan keluarga sejak awal Desember 2019. Mereka ditampung di Jakarta.
Padahal, hingga kini Keputusan Menteri Ketenagakerjaan (Kepmenaker) Nomor 260/2015 masih berlaku. Dengan demikian, jika ada penempatan pekerja migran ke pengguna perorangan, seperti pekerja rumah tangga, hal itu berarti pelanggaran. Warga diimbau agar tidak mudah tergiur dengan janji gaji tinggi dan harus harus memahami tata cara bekerja ke luar negeri yang resmi.
"Hari ini (Senin, 20/1/2020) akan ada 12 orang pekerja migran Indonesia berstatus tanpa dokumen legal asal Banten dipulangkan ke Indonesia. Masih ada 24 orang yang akan dipulangkan juga paling lambat besok. Kami berkoordinasi dengan Badan Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia," kata Eva.
Pemulangan pekerja migran berstatus ilegal bukan kali ini saja terjadi. Sepanjang tahun 2019, pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan memulangkan lebih dari 1.000 orang pekerja, yang di antaranya masuk dalam program amnesti dari Pemerintah Jordania dan telah berdomisili lebih dari delapan tahun. Mereka bermasalah karena tidak memiliki dokumen kerja legal.
Pada Desember 2019, Direktorat Pengawasan Norma Kerja dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan menginspeksi secara mendadak ke sebuah rumah yang diduga milik Pelaksana Penempatan Pekerja Migran Indonesia di kawasan Kramat Jati, Jakarta Timur.
Petugas menggagalkan keberangkatan 123 orang yang akan diberangkatkan bekerja secara nonprosedural ke negara Timur Tengah tanggal 28 Desember 2019. Mereka semua adalah perempuan yang akan diberangkatkan bekerja ke luar negeri sebagai penata laksana rumah tangga ke negara Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Oman, dan Bahrain.
Ketua Pusat Studi Migrant Care Anis Hidayah, saat dihubungi Senin (20/1/2020), di Jakarta, berpendapat, perdagangan manusia setelah dikeluarkannya Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 260/2015 memang semakin masif.
Migrant Care mengapresiasi upaya pemerintah untuk terus membatalkan keberangkatan pekerja migran tanpa dokumen legal ataupun memulangkan yang terlanjur sudah berangkat. Akan tetapi, upaya tersebut tidak cukup.
"Masyarakat, terutama di perdesaan, harus diedukasi mengenai migrasi aman. Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan juga disarankan secara reguler menginspeksi Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang. Di bandara ini, keberangkatan pekerja migran tanpa dokumen legal atau sesuai amanat Kepmenaker 260/2015 diduga masih marak," ujarnya.
Anis menceritakan, pada September 2019, dirinya menemukan sekitar 45 orang perempuan mau berangkat sebagai pekerja migran kepada pengguna perorangan ke Arab Saudi dan Abu Dhabi di Bandara Soekarno-Hatta. Saat bersamaan, dirinya memang di bandara. Mereka berasal dari berbagai kabupaten/kota, seperti Bandung, Lombok, dan Sukabumi. Dari pengamatannya, 45 orang perempuan itu memakai visa pelancong dan diduga diakomodasi oleh calo.
Ketua Presidium Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia, Saiful Mashud berpendapat, pemerintah selama ini bersikap "tidak jelas" terhadap penempatan pekerja migran Indonesia ke kawasan Timur Tengah. Sebagai gambaran, pemerintah hingga sekarang belum mencabut Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 260/2015.
Pemerintah bersikap "tidak jelas" soal penempatan pekerja migran Indonesia ke kawasan Timur Tengah.
Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia meniadakan jabatan informal, seperti pekerja pada pengguna perorangan atau pekerja sektor rumah tangga. Namun, pada saat bersamaan sekitar dua tahun terakhir, pemerintah merencanakan uji coba penempatan pekerja migran ke Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar.
"Kami mempertanyakan, apakah pemerintah pusat jadi melakukan nota kesepahaman perlindungan dengan Arab Saudi, misalnya. Apakah di negara itu sudah ada peraturan perundang-undangan mengenai perlindungan pekerja asing?" tanya dia.
Saiful mengatakan, jika dua pertanyaan tersebut sudah dijawab oleh pemerintah, maka pemerintah tidak perlu mencabut Kepmenaker No 260/2015. Gubernur yang wilayahnya selama ini diduga jadi penyuplai pekerja migran tanpa dokumen legal ke kawasan Timur Tengah untuk memberikan pelatihan dan sosialisasi migrasi resmi. Dengan demikian, harapannya tidak ada lagi pengiriman ilegal.