PT Garam (Persero) menyatakan kesulitan menjual garam di tengah stok yang menumpuk dan harga garam yang anjlok. Produksi yang baik tahun lalu tak dibarengi dengan penyerapan optimal oleh industri.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT Garam (Persero) menyatakan kesulitan menjual garam di tengah stok yang menumpuk dan harga garam yang anjlok. Pemerintah diminta melakukan sejumlah langkah untuk menyelamatkan harga yang hancur.
Direktur Utama PT Garam (Persero) Budi Sasongko menyatakan, harga garam terus merosot. PT Garam tahun lalu menjual hasil produksi garam dengan harga Rp 1.200 per kilogram (kg). Kini, badan usaha milik negara (BUMN) itu hanya bisa menjual garam dengan harga rata-rata Rp 600 per kg.
”Ini pun pasar minta harga turun lagi. Harga hancur,” kata Budi, saat dihubungi di Jakarta, Rabu (22/1/2020).
Sementara itu, harga garam kualitas II yang dihasilkan perseroan atau setara dengan garam rakyat kualitas I turun drastis hingga Rp 300 per kg. Merosotnya harga garam disinyalir akibat rendahnya penyerapan garam lokal oleh industri, seiring kebijakan penambahan alokasi impor garam industri.
Data sementara Kementerian Kelautan dan Perikanan, total produksi garam nasional pada 2019 mencapai 2,8 juta ton, naik dibandingkan dengan tahun sebelumnya pada kisaran 2,72 juta ton. Adapun produksi garam PT Garam pada 2019 mencapai 450.000 ton atau terbesar sepanjang sejarah BUMN tersebut.
Meski produksi garam nasional terus meningkat, pemerintah justru menaikkan alokasi impor garam industri dari 2,7 juta ton menjadi 2,9 juta ton tahun ini. Dampaknya, terjadi penumpukan stok garam nasional sebanyak 1,9 juta ton per Desember 2019 yang memicu harga anjlok.
Sementara itu, sisa anggaran yang dimiliki PT Garam dari penyertaan modal negara (PMN) tahun 2015 berkisar Rp 3,5 miliar. Dana itu hanya cukup untuk menyerap garam rakyat maksimum 15.000 ton. Pihaknya juga berencana mengoperasikan dua pabrik pencucian garam guna mengolah garam lokal menjadi bahan baku garam industri. Produksinya ditargetkan 120.000 ton dan sekitar 30 persen di antaranya berasal dari hasil pengolahan garam rakyat.
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR, Selasa, pihaknya mengusulkan sejumlah langkah untuk membenahi mekanisme tata niaga serta mendorong industri dan importir garam untuk lebih besar menyerap garam lokal.
Kewajiban penyerapan garam rakyat bagi industri aneka pangan dinilai tidak optimal karena kebutuhan garam industri aneka pangan hanya sekitar 600.000 ton per tahun, sedangkan kebutuhan CAP dan industri olahan lainnya lebih dari 2 juta ton.
Indonesia dinilai pernah sukses membentuk stok nasional penyangga garam pada kurun waktu 1971-1991, di mana pemerintah menetapkan harga dasar serta dibuatkan gudang-gudang di sentra produksi. Sementara pembelinya koperasi unit desa dengan upah (fee) 5 persen dan PT Garam berperan sebagai pengelola dengan sistem resi gudang, yakni mengatur kapan garam dijual dan disimpan.
Pihaknya mengusulkan agar pemerintah kembali mengalokasikan anggaran penyertaan modal untuk Bulog atau PT Garam sebagai penyangga garam. ”Diperlukan penyertaan modal negara, penyediaan gudang, pembenahan mekanisme tata niaga, dan penetapan harga dasar. Rasanya tidak adil jika importir yang ditugaskan untuk menyerap garam rakyat hanya industri aneka pangan, diperlukan komitmen importir industri garam lain,” katanya.
Secara terpisah, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Aryo Hanggono menyatakan, saat ini telah dibangun 24 gudang garam nasional dan integrasi lahan garam seluas 2.971 hektar pada sentra garam di 24 kabupaten/kota. Ia mengakui, kandungan NaCl garam rakyat rata-rata hanya 91 persen, sedangkan kebutuhan industri di atas 97 persen.
Aryo menambahkan, pembangunan pabrik pencucian garam diharapkan dapat meningkatkan kadar NaCl hingga 99 persen. ”Target KKP saat ini adalah meningkatkan kualitas garam rakyat untuk menjadi garam industri yang dapat disalurkan ke industri aneka pangan,” katanya dalam keterangan pers.
Pihaknya juga telah mengusulkan harga pokok pembelian (HPP) garam sebagai data dukung usulan revisi Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.
Ketua Himpunan Masyarakat Petani Garam (HMPG) Jawa Timur Muhammad Hasan mengemukakan, PT Garam diharapkan bisa melakukan penyerapan garam secara maksimal serta menjadi penyangga dan stabilisator harga. Dengan demikian, ada jaminan kepastian usaha dan kepastian stok pemenuhan garam nasional.