Bandeng Kecap Meleburnya Tionghoa di Nusantara
Ikan bandeng yang memiliki banyak duri (konon berasal dari dialek Hokkian, yakni Ban Deng, berarti ribuan duri) dan disajikan utuh, dimaknai seluruh keluarga bersama menghadapi tahun yang baru meski penuh duri kehidupan.
Sepanjang pekan ini, sekitar 20 lapak darurat berdiri di pertigaan Pasar Bunga Rawa Belong, Jakarta Barat. Lapak-lapak tersebut menjual ikan bandeng ukuran besar di atas 1 kilogram per ekor yang dibeli warga untuk menyambut Tahun Baru Imlek yang jatuh Sabtu (25/1/2020) akhir pekan ini.
Keberadaan pindang bandeng, salah satu menu lokal di warung-warung Betawi di dekat Rawa Belong, merupakan salah satu bukti meleburnya budaya kuliner Tionghoa dan Nusantara. Keberadaan menu olahan bandeng termasuk pindang bandeng di kota-kota di pantai utara Jawa merupakan salah satu wujud akulturasi lewat lidah dan meja makan.
“Ini khusus jualan menjelang Imlek, yang beli campur ada orang Tionghoa dan juga orang Betawi. Sudah tradisi membelikan bandeng sebagai tanda menghormati orang yang lebih tua,” ujar Ali seorang warga Betawi di bilangan Rawa Belong.
Warga biasa berburu bandeng di Rawa Belong kurang dari 6 hari sebelum Imlek. Menjelang Imlek, biasanya stok ikan bandeng ukuran besar sudah habis diborong pembeli yang berbelanja untuk kebutuhan perayaan Tahun Baru China tersebut di keluarga Tionghoa atau pun kiriman bagi orang tua atau mertua di keluarga Betawi.
Cara memasak beragam jenis pindang dan aneka semur seperti semur tahu dan semur jengkol yang kaya dalam penggunaan kecap, merupakan salah satu bentuk akulturasi budaya yang diterima luas dalam keseharian kehidupan di Indonesia.
Peleburan budaya lewat makanan itu tetap dilestarikan oleh para pegiat budaya. Aji Chen Bromokusumo, anggota DPRD Tangerang Selatan yang juga penulis buku Peranakan Tionghoa Dalam Kuliner Nusantara, sepanjang pekan ini juga menyiapkan bahan masakan pindang bandeng dan ca rebung, menu khas peranakan Tionghoa untuk menyambut Imlek.
Aji Chen mengatakan, pindang bandeng ini merupakan sajian khas budaya peranakan Tionghoa di Nusantara. Keberadaan ikan bandeng sebagai hidangan dan sesaji tidak dikenal luas di Tiongkok apalagi di sebelah utara.
"Ditambah lagi penggunaan kecap manis dalam membuat pindang bandeng. Kecap manis kental itu khas di dunia hanya ada di Pulau Jawa. Hasil akulturasi Tionghoa dan budaya Jawa jadilah kecap manis yang manis dan lezat. Itu salah satu warisan Indonesia untuk tradisi kuliner dunia,” kata Aji Chen.
Kecap manis kental itu khas di dunia hanya ada di Pulau Jawa. Hasil akulturasi Tionghoa dan budaya Jawa.
Sepanjang Rabu pagi (22/1/2020), Aji Chen sibuk memeragakan memasak ca rebung. Makanan itu akan dipadupadankan dan dihidangkan dengan pindang bandeng di acara Imlek di keluarganya yang berasal dari Semarang, Jawa Tengah.
Secara filosofis, menurut Aji Chen, ikan bandeng yang memiliki banyak duri (konon berasal dari dialek Hokkian, yakni Ban Deng, berarti ribuan duri) dan disajikan utuh dimaknai seluruh keluarga bersama menghadapi tahun yang baru meski penuh duri kehidupan. Dengan kebersamaan maka seluruh keluarga akan kedatangan rejeki.
Lihat juga : Galeri Foto: Bandeng Imlek Mulai Dijual
Lain lagi cerita yang disampaikan Pemerhati budaya dan pendiri Museum Benteng Heritage Udaya Halim tentang filosofi duri ikan bandeng. Banyaknya duri ikan bandeng justru dimaknai dengan banyaknya rejeki di tahun yang baru.
Namun secara umum, sebutan ikan, yakni “Yu” dalam bahasa Mandarin memiliki lafal yang sama dengan arti kata kelebihan atau frasa Nian-nian You Yu atau ada rejeki sepanjang tahun yang akan dijalani.
Ikan bandeng juga bagian dari tiga jenis sesaji sembahyang dalam ritual Tionghoa yang disebut Sam Seng (tiga jenis hewan yang segar), yakni mewakili hewan di udara, hewan di darat, dan hewan di laut. Hewan udara diwakili oleh ayam atau bebek, hewan di darat diwakili oleh babi, dan hewan di laut diwakili oleh ikan bandeng.
Ikan bandeng juga bagian dari tiga jenis sesaji sembahyang dalam ritual Tionghoa yang disebut Sam Seng.
Keberadaan tambak bandeng di pesisir utara Jawa seperti di pesisir Tangerang di kawasan Tanjung Kait, pesisir Bekasi, pesisir Semarang, Juwana, di Jawa Tengah, dan sekitar Sidoarjo, Jawa Timur, menjadi sumber pasokan bandeng.
Baca juga : Pasar Murah Bandeng Sambut Sambut Peringatan Nabi di Sidoarjo
Dalam perkembangannya, tidak hanya pindang bandeng, hidangan seperti bandeng presto dan otak-otak bandeng juga menjadi bagian kuliner khas daerah seperti di Semarang dan Juwana di Jawa Tengah, serta Sidoarjo, Jawa Timur.
Aneka hidangan akulturasi
Udaya Halim, pria kelahiran Kota Tangerang, sepanjang pekan ini juga sibuk mempersiapkan acara Imlek. Dia juga ahli memasak beragam hidangan peranakan dan kuliner akulturasi Tionghoa-Nusantara.
Seperti biasa, Udaya Halim menyiapkan hidangan yang disiapkan sendiri di dapur di dalam Museum Benteng Heritage. Di sekitar Museum Benteng, menurut Udaya, berbagai aneka hidangan akulturasi Tionghoa dan Nusantara dijajakan dan dapat dinikmati sebagai budaya kuliner setempat.
Udaya mencontohkan, keberadaan laksa tangerang, hingga laksa bogor. Laksa tangerang itu menggunakan mie berbahan nasi atau bihun yang merupakan pengaruh Tionghoa. Demikian juga penggunaan kucai dan kacang hijau dalam hidangan tersebut.
"Kini para pedagang laksa tangerang pun didominasi orang Betawi yang menjajakan dagangan di sekitar Pasar Lama dan tepian Sungai Cisadane,” kata Udaya.
Laksa tersebut juga dimasak dan dipanaskan di atas anglo atau kompor tanah liat dengan arang sebagai bahan bakar. Anglo adalah sebutan tungku masak dalam dialek Hokkian.
Udaya mengingatkan, kedatangan armada Zheng He atau Cheng Ho di tahun 1400-an juga membawa berbagai pengaruh kuliner dalam muhibah tujuh kali ke Nusantara. Berbagai jenis kacang-kacangan dan sayur yang disebut dengan kata cai seperti cai sim, ku cai, pek cai dan lain-lain merupakan sumbangan dari tradisi kuliner Tionghoa yang melebur di Nusantara masa silam dan Republik Indonesia modern.
Lihat juga : Galeri Foto: Festival Cheng Ho 2019
Tak hanya pindang bandeng, Udaya juga menerangkan seni memasak ikan tauco di kawasan Tangerang. Makanan itu merupakan bukti akulturasi kuliner Tionghoa dan Nusantara.
Ikan masak tauco tersebut merupakan adopsi dari ikan ceng coan yang dipadukan dengan bumbu ala kolak (caramelized) dan tauco. Ikan ceng coan ini merupakan hidangan nerbahan baku ikan sam ge atau ikan bergigi tiga.
Dalam keseharian, masyarakat Betawi di sekitar Tangerang, lanjut Udaya, mengadopsi ikan ceng coan dengan menggunakan ikan belanak yang diolah dengan gula aren dan tauco yang kemudian dikenal sebagai ikan masak tauco.
Sajian lain seputar Imlek yang juga melebur dalam tradisi Nusantara, lanjut Udaya, adalah kue keranjang. Variasi bentuknya terwujud dalan dodol Betawi hingga beragam jenis dodol di Garut (Jawa Barat), Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
“Kalau kue keranjang (Nian Gao dalam Mandarin) hanya memadukan gula aren, tepung ketan dan mendapat aroma rasa dari daun pembungkus. Dalam perkembangannya jadilah dodol yang diperkaya dengan parutan kelapa, ketan, gula,” kata Udaya.
Keberadaan percampuran budaya melalui seni hidangan tersebut adalah salah satu kekuatan sebuah bangsa, termasuk bangsa Indonesia, dalam merajut kebangsaan dalam semangat Bhineka Tunggal Ika.
Keberadaan percampuran budaya melalui seni hidangan tersebut adalah salah satu kekuatan sebuah bangsa, termasuk bangsa Indonesia, dalam merajut kebangsaan dalam semangat Bhineka Tunggal Ika.
Selain sepak bola dan musik, seni kuliner dapat menyatukan berbagai budaya dan mendudukan semua orang di meja makan, akrab dalam santap bersama. Percampuran budaya kuliner Tionghoa dan Nusantara adalah salah satu buktinya.
Baca juga : Menilik Bangsa Indonesia dari Karakter Kosmopolitan Orang Tionghoa