Saat Penggunaan Media Sosial Digolongkan Berlebihan
Ciri-ciri penggunaan media sosial yang berlebihan perlu dicermati agar kita tidak berlebihan dalam menggunakannya. Pengendalian diri dalam menggunakan media sosial penting untuk menjaga kesehatan mental.
Oleh
Andreas Maryoto
·4 menit baca
Sejak beberapa tahun lalu orang mulai memikirkan kadar yang tepat untuk bermedia sosial. Mereka tidak mengukur langsung volume yang baik untuk seseorang, tetapi sebaliknya, memperhatikan perilaku yang bisa dikategorikan berlebihan dan waktu yang digunakan di dalam menggunakan media sosial.
Dua tolok ukur ini menjadikan patokan bagi seseorang untuk mengerem penggunaan media sosial ketika berlebihan sehingga bisa menjaga mental agar tetap sehat meski memunculkan perdebatan. Kini kajian tentang kesehatan jiwa dalam penggunaan media sosial bermunculan lagi.
Sebuah artikel terbaru di laman The Wall Street Journal membahas persoalan ini dengan judul ”When Social Media is Too Much, Some Teens Tune Out”. Ia menuturkan, ketika remaja menganggap Instagram dan tanda suka (like) sebagai cara yang memadai untuk interaksi antar-remaja, sebaiknya mereka beristirahat dulu.
Ciri lainnya adalah ketika mereka marah-marah pada saat mereka tidak ”sempurna” di media sosial dan mereka seperti zombi yang berjam-jam menatap gawai mereka 24 jam dalam seminggu. Pada saat itulah sebenarnya telah terjadi konsumsi media sosial yang berlebihan.
Kajian soal ambang batas itu sudah lama dilakukan. University of Singapore pada 2012 telah meneliti titik perubahan dari kondisi normal ke kondisi penggunaan media sosial yang memunculkan masalah.
Riset itu menyatakan, ketika media sosial digunakan untuk menghilangkan stres, mengusir kesepian, dan mengurangi depresi, pada titik itulah penggunaan media sosial sudah bisa digolongkan berlebihan. Ciri-ciri orang dengan keadaan ini adalah ketika mereka menggunakan tanda suka (like), komentar, dan fasilitas untuk membagikan unggahannya untuk berinteraksi dengan orang lain dibanding interaksi fisik. Interaksi ini akan memunculkan masalah, seperti konflik pribadi dan masalah pekerjaan.
Di dalam laman Forbes, sejumlah ahli kesehatan mental menyebutkan beberapa perilaku untuk menentukan apakah kita memiliki masalah atau tidak terkait dengan penggunaan media sosial sebagai berikut, bangun tidur langsung mengecek media sosial, menghapus unggahan jika jumlah tanda suka sedikit, menganalisis secara berlebihan citra diri di dalam unggahan kita, membawa gawai ke kamar mandi, beberapa kali memperbarui umpan dalam jangka pendek, dan terobsesi dengan predikat terverifikasi (verified). Ada juga ciri lain, marah jika tidak ada yang berkomentar di dalam unggahan Anda.
Persoalan kedua adalah soal waktu berada di media sosial. Berdasarkan survei melalui Twitter yang dilakukan BBC, sekitar 40 persen responden beranggapan bahwa penggunaan media sosial selama dua sampai tiga jam dalam sehari sudah digolongkan sebagai berlebihan.
Meski demikian, 21 responden menyatakan, sampai satu jam pun bisa digolongkan berlebihan. Sebuah survei yang dilakukan Statista pada 2017 menyebutkan, rata-rata orang menggunakan media sosial secara global adalah 135 menit atau dua jam lebih seperempat. Angka ini lebih tinggi 50 persen dibanding tahun 2012.
Orang kemudian membuat ukuran berlebihan dalam bermedia sosial dengan menggunakan patokan waktu di atas. Beberapa aplikasi bisa diunduh dan digunakan untuk membatasi kita dalam menggunakan media sosial. Menjelang batas waktu itu, si aplikasi akan memberi tahu jumlah waktu kita dalam mengonsumsi media sosial.
Meski demikian, banyak yang menentang mengenai penggunaan patokan ini karena kecanduan tak otomatis bergantung pada lama akses. Mereka lebih memperhatikan ciri-ciri orang yang berlebihan di dalam menggunakan media sosial seperti di atas dibandingkan dengan ukuran waktu yang menjadi relatif bagi setiap orang.
Ketika seseorang merasa berlebihan di media sosial atau anggota keluarga dan kenalan dekat kita diduga kecanduan media sosial, ada beberapa saran yang bisa dilakukan. Tom Ward, seorang penulis di laman Forbes, menyarankan beberapa langkah, seperti menghapus beberapa aplikasi di gawai, tetapi masih bisa mengakses di laptop sehingga bisa mengurangi penggunaan aplikasi itu.
Mematikan notifikasi juga mengurangi kecanduan media sosial karena mengurangi rasa penasaran untuk mengecek akun kita. Meletakkan gawai jauh dari jangkauan bakal mengurangi kita menggunakan media sosial dan mengatur batasan penggunaan media sosial dengan menggunakan aplikasi. Ada juga saran untuk tetap berfokus pada pekerjaan kita dan membuka akun media sosial menjadi hadiah ketika kita telah menyelesaikan pekerjaan itu.
Kesadaran lain yang perlu dibangun adalah kenyataan bahwa semakin banyak teman di media sosial, ternyata malah makin mengurangi interaksi fisik. Ketika mereka kesepian dan butuh teman yang nyata, teman di media sosial tidak bisa memenuhi kebutuhan itu, seperti bertemu dan mengobrol langsung.
Beberapa ahli mengatakan, interaksi di media sosial bisa mengurangi perasaan memiliki. Teman di media sosial yang banyak akan membuat orang merasa hebat, tetapi popularitas di media sosial ternyata tidak bisa memenuhi kebutuhan kita. Teman-teman di media sosial belum tentu merasa ”memiliki” kita sehingga banyak teman di dunia maya tidak otomatis mereka akan datang ketika kita sakit atau mau mendengarkan ketika kita bahagia.