Sebagian besar kuliner Makassar yang selama ini dikenal sebagai makanan tradisional merupakan kuliner hasil akulturasi budaya Tionghoa dan Bugis/Makassar.
Oleh
RENY SRI AYU ARMAN
·3 menit baca
Sebagian besar kuliner Makassar yang selama ini dikenal sebagai makanan tradisional sesungguhnya sudah merupakan kuliner hasil akulturasi budaya. Mulai dari coto makassar, pallubasa, nyuk nyang (bakso), hingga beragam kue adalah kuliner yang lahir dari pertautan budaya Tionghoa dan Bugis/Makassar.
Sebagaimana perayaan Imlek setiap tahun, kue keranjang dan beragam olahan mi serta bandeng adalah makanan wajib yang terhidang di meja Hendra Salimin (40). Namun, di luar makanan wajib itu, dia menyediakan beragam jenis makanan lain, seperti pallubasa, buras (semacam lontong, tetapi dimasak pakai santan), ketupat, dan sate nona-nona, makanan yang juga lazim dijumpai saat perayaan Idul Fitri.
”Kami membuka pintu untuk keluarga dan kerabat dari berbagai latar belakang agama dan budaya pada saat Imlek nanti. Makanya, makanan yang disajikan juga beragam,” katanya di Makassar, Rabu (22/1/2020).
Pallubasa yang dimaksud Hendra dan lebih terkenal sebagai kuliner khas Makassar sesungguhnya sudah merupakan perpaduan unsur kuliner Makassar dan Tionghoa.
Budayawan dan seniman Tionghoa, Muhammad David Aritanto (58) atau yang terlahir dengan nama Chen Quo Hwa, mengatakan, sejumlah makanan yang dibawa leluhur orang Tionghoa sudah mengalami banyak perubahan.
”Kalau aslinya orang Tionghoa menyebut pallubasa itu baluta. Terbuat dari darah sapi atau kerbau yang dibekukan dan diberi kuah. Namun, karena umat Muslim tak bisa makan darah beku, maka diganti dengan potongan daging dan jeroan. Lalu, namanya berubah menjadi pallubasa yang dalam bahasa Makassar berarti makanan berkuah,” tuturnya.
Sama dengan coto makassar yang juga lebih terkenal sebagai makanan khas orang Makassar, orang Tionghoa pun punya makanan sejenis. Pada makanan berkuah dengan potongan daging ini, oleh warga Tionghoa digunakan bumbu taoco dan diganti menjadi kacang dalam kuliner Makassar.
Menurut David yang juga Humas Persatuan Islam Tionghoa Indonesia Sulawesi Selatan, beragam makanan yang turun-temurun menjadi makanan khas orang Tionghoa mengalami perubahan seiring dengan terjadinya kawin-mawin antara orang Tionghoa dan warga lokal dahulu. Perkawinan yang melahirkan peranakan ini kemudian melahirkan pula makanan hasil peranakan.
Kue cucur bayao, biji nangka, bipang, dan beragam kue lain yang lazim disajikan pada acara pernikahan orang Tionghoa, misalnya, juga menjadi kue sama yang disajikan dalam acara pernikahan suku Bugis/Makassar. Bahkan, kue dodol atau nian gaw yang menjadi kue khas pada setiap perayaan Imlek juga menjadi kue khas suku Bugis/Makassar.
Ada beragam makanan lain yang acap kali sudah tak jelas asalnya, apakah makanan asli Tionghoa atau suku Bugis/Makassar. Ada pula nyuk nyang yang terkenal di Makassar yang awalnya hanya terbuat dari daging babi dan kini dibuat berbahan daging sapi.
”Karena dulu pembauran antara orang Tionghoa yang datang ke Makassar terjalin bagus. Dulu, saat kami Imlek, orang-orang Bugis Makassar atau warga lokal selalu membawakan buah-buah yang biasanya menjadi persembahan, bahkan bunga dan buah teratai,” kata David.
”Sebaliknya, saat Maulid, kami membuat telur berwarna merah sebagai bentuk kegembiraan menyambut Maulid. Telur merah ini sampai sekarang tetap ada setiap Maulid dan dibuat umat Muslim,” lanjutnya.
Hanya saja, sejarah konflik berbau SARA yang beberapa kali terjadi di Makassar, yang dimulai tahun 1960-an pasca-Gerakan 30 September 1965, perlahan mengikis toleransi dan pembauran ini. Aksi yang disebut ”pengganyangan China” yang terjadi beberapa kali sesudahnya dan melibatkan orang Tionghoa dan warga lokal seolah melahirkan sekat. Yang tersisa hanya sejumlah kuliner yang menjadi bukti bahwa suku Tionghoa dan Bugis/Makssar pernah sangat dekat.