Anjloknya pertumbuhan ekonomi serta penerapan pembatasan sosial dan mobilitas akibat pandemi Covid-19 bisa meningkatkan jumlah penduduk miskin secara masif, terutama di perkotaan.
Oleh
Erika Kurnia
·4 menit baca
Lebih kurang dua bulan Ridwan (49) tidak lagi melayani jasa perjalanan dengan bus pariwisata. Ayah yang menanggung seorang istri dan tiga anak di Jakarta itu sudah sebulan tidak mendapatkan gaji dari tempatnya bekerja.
Sebelumnya, ia bisa mendapatkan gaji sebesar upah minimum regional (UMR) Jakarta. Belum lagi tip perjalanan yang bisa memberi tambahan setara gaji. Namun, beberapa bulan terakhir, keluarganya harus banyak berhemat. Istri yang biasa berjualan jajanan di dekat sekolah kini tidak lagi bisa menambah pemasukan karena sekolah masih libur.
Biaya sekolah ketiga anaknya, syukurnya, ditanggung pemerintah melalui Kartu Indonesia Pintar. Demikian juga dengan jaminan kesehatan ditanggung melalui Kartu Indoesia Sehat. Akan tetapi, selain pengeluaran rutin dan harian, Ridwan masih harus menanggung biaya hidup orangtua dan mertuanya di kampung.
”Orangtua dan mertua memang tidak ditanggung sendiri karena adik dan ipar ikut membantu. Akan tetapi, dari keluarga saya sendiri, bantuan itu bisa sepertiga penghasilan bulanan,” tuturnya kepada Kompas, Selasa (5/5/2020).
Ridwan pun belum yakin bisa mengurangi biaya hidup untuk orangtua dan mertuanya. Apalagi salah satu dari mereka membutuhkan biaya pengobatan yang tidak dijamin pemerintah. Di titik inilah ia sadar pentingnya bantuan negara.
Sementara itu, Hendrika (26), perantau dari Nusa Tenggara Timur di Jakarta, tidak lagi bisa mengirimkan uang untuk orangtuanya yang pensiunan pegawai negeri sipil di kampung. Kesulitan ekonomi pun ia hadapi karena belum jua kembali bekerja setelah mengundurkan diri sebagai tenaga pemasaran pada awal tahun ini.
”Saya kesulitan menemukan pekerjaan sejak pandemi. Februari lalu sempat ada wawancara kerja, tetapi sekarang masih menanti kepastian. Untuk hidup sehari-hari saya pun mengandalkan sisa tabungan untuk biaya indekos dan makan sehari-hari,” kata pemuda dari kalangan keluarga menengah tersebut.
Jatuh miskin
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE), Akhmad Akbar dan Muhammad Ishak Razaq, mengatakan, anjloknya perekonomian akibat pandemi Covid-19 tidak hanya berpotensi mengakibatkan hilangnya lapangan kerja dalam jumlah besar, tetapi juga meningkatkan kemiskinan secara masif.
”Potensi lonjakan jumlah penduduk miskin sangat beralasan mengingat begitu banyaknya masyarakat Indonesia yang memiliki tingkat kesejahteraan mendekati batas kemiskinan walaupun tidak berada di bawah garis kemiskinan,” kata mereka dalam laporan tertulis yang diterima Kompas hari ini.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan pada September 2019 mencapai 24,7 juta jiwa atau 9,22 persen dari total penduduk Indonesia yang sekitar 267 juta penduduk. Besarnya garis kemiskinan per rumah tangga miskin secara rata-rata sebesar Rp 2.017.664 per bulan.
Adapun jumlah penduduk rentan miskin dan hampir miskin, menurut data Maret 2019, mencapai 66,7 juta jiwa (25 persen total penduduk Indonesia). Artinya, jumlah penduduk rentan miskin lebih dari dua setengah kali lipat jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan.
Perkotaan
Dengan persebaran Covid-19 yang lebih terpusat di wilayah perkotaan, potensi peningkatan kemiskinan cenderung lebih besar terjadi di perkotaan. CORE menghitung beberapa kemungkinan dengan tiga skenario. Pertambahan jumlah penduduk miskin di perkotaan bisa mencapai 3 juta orang dan 2,6 juta orang di perdesaan. Ini diprediksi dengan asumsi bahwa puncak pandemi terjadi pada triwulan-II 2020.
Untuk skenario lebih berat, potensi pertambahan jumlah penduduk miskin di perkotaan mencapai 6 juta orang, sementara di perdesaan 2,8 juta orang. Ini dimungkinkan jika penyebaran Covid-19 meluas pada Mei 2020 dan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) hanya diterapkan di wilayah tertentu di pulau Jawa dan satu dua kota di luar Pulau Jawa.
Pada skenario lebih berat, dengan asumsi bahwa penyebaran Covid-19 lebih luas lagi dan kebijakan PSBB diberlakukan lebih luas di banyak wilayah di pulau Jawa dan beberapa kota di luar pulau Jawa, potensi pertambahan jumlah penduduk miskin di perkotaan dapat mencapai 9,7 juta orang, sementara di perdesaan hanya 3 juta orang.
”Yang perlu diwaspadai selanjutnya adalah potensi penyebaran wabah dari wilayah perkotaan ke perdesaan melalui pembatasan mobilitas. Jika mobilitas kota ke desa tidak dapat dicegah, potensi pertambahan jumlah penduduk miskin di perdesaan akan lebih besar dibandingkan prediksi di atas,” simpul laporan tersebut.
Oleh karena itu, CORE menyarankan agar pemerintah meletakkan prioritas kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah pada menjaga tingkat kesejahteraan masyarakat, terutama yang berada di sekitar garis kemiskinan.
Hal itu bisa dilakukan antara lain dengan mengintegrasikan penyaluran bantuan sosial sehingga menjadi lebih sederhana, melakukan penyeragaman nilai bantuan, di samping terus melakukan pemutakhiran data penerima bantuan sosial.
Lalu, mengurangi beban pengeluaran masyarakat khususnya masyarakat miskin dan hampir miskin. Pemerintah perlu membantu dengan menurunkan biaya-biaya yang dapat mereka kontrol, seperti listrik, bahan bakar minyak, elpiji, dan air.