Berbagai Risiko Pembukaan Sekolah Perlu Dipertimbangkan
Pembukaan kembali sekolah dinilai berisiko terhadap penularan Covid-19 terhadap anak-anak. Namun, pemerintah terus mengkaji kemungkinan pelonggaran penerapan pembelajaran di sekolah.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berbagai persoalan yang ditemukan selama masa pembelajaran jarak jauh menjadi pertimbangan pemerintah untuk menerapkan relaksasi pada pembukaan sekolah. Namun, keputusan ini perlu dipertimbangkan kembali, terutama terkait risiko penularan kepada anak.
Deputi Bidang Koordinasi Pendidikan dan Agama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Agus Sartono, mengatakan, relaksasi pembukaan sekolah akan dimulai dari wilayah yang memiliki keterbatasan akses untuk pembelajaran jarak jauh. Setidaknya tercatat ada 45.000 satuan pendidikan yang tidak memiliki aliran listrik dan internet. Selain itu, wilayah ini juga perlu dipastikan berisiko rendah dari penularan Covid-19.
”Direncanakan teknis relaksasi pembukaan sekolah akan diumumkan besok, Jumat (7/8/2020) ini. Jika protokol kesehatan untuk pencegahan penularan Covid-19 bisa berjalan, relaksasi bisa dilakukan. Tidak hanya daerah di zona hijau, tetapi zona kuning pun diizinkan dengan melihat satuan terkecil di wilayah, yakni di tingkat desa,” tuturnya saat dihubungi di Jakarta, Kamis (6/8/2020).
Meski begitu, Agus mengatakan, sejumlah tantangan dihadapi dalam proses relaksasi pembukaan sekolah. Ini terutama pada risiko penularan Covid-19 kepada anak. Meski protokol kesehatan berjalan dengan baik di sekolah, risiko penularan masih bisa dijumpai dalam perjalanan anak dari rumah ke sekolah.
Semakin jauh jarak tempuh, anak akan semakin berisiko terpapar virus penyebab Covid-19. Sementara itu, tidak semua siswa memiliki kendaraan pribadi ataupun antar jemput yang mengakomodasi perjalanan dari rumah ke sekolah secara langsung.
Untuk itu, relaksasi pembukaan sekolah harus diikuti dengan evaluasi yang ketat. Pengawasan dari Satuan Tugas Penanganan Covid-19 di daerah sangat dibutuhkan. Selain itu, pembukaan sekolah harus dimulai dari tingkat pendidikan yang lebih tinggi, yakni SMA dan SMK. Sementara pendidikan untuk anak usia dini sama sekali tidak dianjurkan untuk dibuka terlebih dahulu.
”Jam belajar siswa pun akan dibatasi sehingga tidak seperti jam belajar biasanya. Jumlah siswa pun akan dibatasi sekitar 25 persen setiap kali masuk. Pastikan juga protokol kesehatan, mulai dari penggunaan masker, sirkulasi udara di kelas, fasilitas cuci tangan, hingga air bersih tersedia,” tutur Agus.
Sanksi
Menurut dia, kebijakan penerapan sanksi pada pelanggar protokol kesehatan akan semakin memperkuat upaya pencegahan penularan Covid-19 selama masa transisi pembukaan sekolah. Penerapan sanksi tersebut sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakkan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19.
Dalam instruksi yang dikeluarkan pada 4 Agustus 2020 tersebut, salah satunya mengatur agar pemerintah daerah segera menetapkan peraturan yang mewajibkan warga mematuhi protokol kesehatan di semua fasilitas publik. Dalam peraturan itu juga perlu disertai sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan, antara lain berupa teguran lisan ataupun tertulis, kerja sosial, denda, dan penghentian ataupun penutupan sementara penyelenggaraan usaha.
Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (Iakmi) Ede Surya Darmawan mengatakan, Kementerian Dalam Negeri perlu memastikan agar setiap kepala daerah segera menerbitkan aturan turunan terkait pemberlakuan sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan. Tanpa aturan turunan tersebut, sanksi tidak bisa diimplementasikan di masyarakat.
Selain itu, penerapan sanksi ini juga perlu disertai pengawasan yang ketat dengan penegakan hukum yang tegas. Edukasi yang masif juga bisa sekaligus dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mencegah penularan Covid-19.
Jam belajar siswa pun akan dibatasi sehingga tidak seperti jam belajar biasanya. Jumlah siswa pun akan dibatasi sekitar 25 persen setiap kali masuk.
”Kapasitas pemeriksaan kita sangat rendah sehingga kasus yang ditemukan menjadi minim. Karena itu, kesadaran untuk mencegah penularan dengan disiplin menjalankan protokol kesehatan sangat dibutuhkan. Harapannya, penerapan sanksi ini bisa menjadi cara yang efektif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat,” tutur Ede.
Secara terpisah, anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Saleh Partaonan Daulay, mengatakan, jenis sanksi yang diberikan bagi pelanggar perlu diperjelas. Sanksi yang diberikan harus bisa diterapkan dengan baik dan menimbulkan efek jera pada masyarakat.
”Kalau teguran lisan dan tertulis, sudah biasa. Para petugas sering melakukan teguran seperti itu, tetapi pelanggaran tetap saja terjadi. Kalau kerja sosial, bagaimana mengawasinya? Begitu juga dengan sanksi administratif. Penerapan sanksi masih perlu diperjelas agar dapat dilaksanakan secara efektif,” tuturnya.