Diperlukan Perluasan Tes Massal Sebelum Pembatasan Dilonggarkan
Sebanyak 150 dokter Italia meninggal karena Covid-19. Mereka bagian dari sedikitnya 20.000 tenaga kesehatan Italia yang terinfeksi dalam dua bulan terakhir. Hingga Senin, Italia mencatat 197.675 infeksi Covid-19.
WASHINGTON, SENIN — Pemerintah di sejumlah negara didorong menggelar tes Covid-19 lebih luas sebelum memutuskan melonggarkan pembatasan gerak dan perintah jaga jarak. Hasil tes antara lain dibutuhkan untuk memetakan potensi penularan lanjutan.
Sejumlah pakar kesehatan dan tokoh menyerukan hal itu dalam berbagai kesempatan. Seruan terbaru disampaikan pada Minggu (26/4/2020) malam waktu Washington atau Senin pagi WIB oleh Bill Gates, konglometerat Amerikat Serikat yang menyumbangkan 100 juta dollar AS untuk menangani Covid-19. ”Kita perlu melakukan tes luas sehingga bisa mendeteksi (laju infeksi) kembali ke aras bertambah cepat dan tidak menunggu ruang perawatan intensif penuh serta banyak kematian. Jika melihat titik genting, Anda paham kegiatan yang memicu itu,” ujarnya.
Sampai sekarang, tidak diketahui jenis aktivitas apa saja yang bisa memicu gelombang kedua pandemi. Padahal, sejumlah negara terus mendorong pengakhiran pembatasan gerak dan jaga jarak.
Di AS, dorongan itu dipicu rangkaian kebangkrutan perusahaan dan sudah 26,5 juta orang mengajukan tunjangan pengangguran. Dengan 16 persen angkatan kerja menganggur, Washington membutuhkan langkah cepat untuk menghidupkan lagi perekonomian yang mati suri di tengah Covid-19.
Baca juga: Perusahaan-perusahaan Minyak AS Kembali Terancam Bangkrut
Italia, negara yang mencatatkan kematian terbanyak akibat Covid-19 di Eropa, juga mengumumkan pengakhiran isolasi secara bertahap pada Senin depan. ”Kita menghadapi tantangan yang rumit. Kita akan akan hidup bersama virus dan mengadopsi setiap pencegahan yang memungkinkan,” ujar Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte.
Ia mengumumkan pabrik, toko grosir, dan perusahaan konstruksi bisa beroperasi Senin depan. Selanjutnya, pedagang dengan skala lebih kecil dari grosir bisa dibuka pada pertengahan Mei. Adapun restoran dan kedai minum bisa beroperasi pada Juni. Pembukaan lebih cepat bisa jadi dilakukan pada kedai makan yang melayani pesanan untuk dibawa pulang. ”Pembukaan kembali diizinkan dengan syarat semua pihak mematuhi protokol dengan ketat,” ujarnya.
Conte memperingatkan, sejumlah pembatasan akan tetap diberlakukan sampai obat atau vaksin Covid-19 ditemukan. Dengan demikian, pembatasan akan berlaku hingga berbulan-bulan lagi.
Dokter meninggal
Roma berhati-hati karena 150 dokternya meninggal karena Covid-19. Mereka bagian dari sedikitnya 20.000 tenaga kesehatan Italia yang terinfeksi dalam dua bulan terakhir. Hingga Senin, Italia mencatat 197.675 infeksi dan 26.664 kematian akibat Covid-19.
Sejumlah pakar menduga banyak tenaga kesehatan tertular setidaknya pada awal Januari 2020. Kala itu, sejumlah kasus pneumonia ditangani para tenaga medis di Lombardia, wilayah dengan 13.325 kematian atau separuh dari korban tewas akibat Covid-19 di Italia. Padahal, Roma baru melarang penerbangan dari China pada 31 Januari 2020 atau sepekan setelah Wuhan diisolasi total.
Baca juga: Orang Sembuh Tetap Berisiko Tertular Kembali
Sampai kasus pertama dicatat Italia pada 21 Februari 2020, para tenaga kesehatan belum tahu cara menangani Covid-19. Banyak yang tidak memakai alat pelindung diri (APD) dan memerintahkan isolasi penderita. ”Tidak ada petunjuk apa pun dalam pelajaran kedokteran,” kata Maurizio Marvisi, spesialis pneumonia di kota Cremona, Italia.
Para pakar kesehatan Italia sepakat akan butuh penelitian bertahun-tahun untuk mengetahui akar masalah pandemi itu di Italia. Gambaran awal saat ini adalah para dokter keluarga yang bekerja untuk BPJS Kesehatan Italia paling rawan terinfeksi. Sebab, mereka tidak mengenakan APD kala menemui orang yang diduga tertular.
Mereka harus menemui orang-orang itu karena statusnya sebagai dokter keluarga yang menjadi andalan banyak orang di Italia sebelum ke rumah sakit. ”Awalnya hanya ada 10 masker dan sarung tangan. Jelas itu, dengan kontak ke pasien, tidak tepat untuk melindungi diri kami,” kata seorang dokter di Varese, Laura Turetta.
Pelacakan
Selain tes massal, sangat penting untuk melacak pergerakan penderitaCovid-19. Untuk mengembangkan pelacakan itu, Michael Bloomberg, salah satu orang terkaya Amerika Serikatm menghibahkan 10,5 juta dollar AS. Ia juga menyumbangkan 40 juta dollar AS untuk penanggulangan COvid-19 di negara miskin. Dana itu akan disumbangkan melalui yayasan amalnya.
Bloomberg bukan satu-satunya orang yang mendorong pengembangan sistem pelacakan pengidap Covid-19. Apple dan Google telah lebih dulu mengumumkan pembuatan pelacak dengan memanfaatkan ponsel dan tablet yang mereka buat.
Selama ini, aneka gawai yang memakai program operasi buatan Apple dan Google dilengkapi pelacak lokasi. Kedua raksasa teknologi AS itu tinggal memodifikasi untuk dimanfaatkan sebagai sarana pelacakan Covid-19. Sementara Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular AS mengumumkan pembuatan sistem pelacak dengan dana 500 juta dollar AS.
Data pergerakan penderita Covid-19 penting untuk memetakan ke mana saja pasien sebelum dinyatakan positif terinfeksi. Berdasarkan data itu, pihak berwenang bisa melacak siapa yang mungkin ditulari si penderita.
Israel, Korea Selatan, Singapura, Jerman, Polandia, dan sejumlah negara lain telah lebih dulu menggunakan pelacak. Kepala Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular Korsel Jeong Eun-kyeong mengakui sistem itu bisa mengganggu kebebasan warga. ”Kepentingan umum diutamakan dibandingkan hak asasi perorangan jika berurusan dengan penyakit yang bisa menulari orang lain,” kata dia.
Baca juga: Bergerak Cepat dan Disiplin, Kunci Keberhasilan Korea Selatan
Seperti di sejumlah negara, Korsel mengembangkan aplikasi yang memberi tahu warga tentang keberadan penderita Covid-19 di dekat mereka. Sementara India dan Singapura mengembangkan aplikasi berbasis Bluetooth untuk menyiarkan peringatan itu melalui ponsel. Lewat aplikasi itu, ponsel seseorang yang positif Covid-19 akan menyiarkan informasi ke orang sekitarnya. ”Saya tidak peduli soal data pribadi, setidaknya di saat krisis. Selama ada Covid-19, saya akan memakai (aplikasi pemberi tahu keberadaan pasien Covid-19),” kata seorang pekerja sektor teknologi informatika di India, Ganga Bopaiah.
Ia telah mengunduh aplikasi Aarogya Setu alias Jembatan Kesehatan di ponselnya. Dengan aplikasi itu, ia akan mendapat peringatan tentang keberadaan penderita Covid-19 di sekitarnya. Aplikasi itu juga akan mengirim pesan kepada orang-orang yang terlacak pernah berada di dekat penderita. (AP/REUTERS)