Oops... di Tengah Unjuk Rasa, Pedagang Jalanan di Thailand Bekerja bagaikan CIA
Di tengah gelombang unjuk rasa antipemerintah di Thailand, para pedagang jalanan di Bangkok mendapat julukan baru berkat kecepatan mereka menjangkau lokasi demo. Mereka dijuluki ”CIA” karena selalu tahu lokasi demo.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Bagaikan pergerakan intelijen Badan Pusat Intelijen Amerika Serikat atau CIA yang senyap dan cepat, para pedagang jalanan di Thailand selalu menjadi yang paling awal hadir di lokasi-lokasi demonstrasi di Bangkok. Mereka selalu bisa tahu lokasi unjuk rasa selanjutnya meski informasinya tak dipublikasikan.
Kehadiran mereka membantu memasok kebutuhan para pengunjuk rasa yang kelaparan. Makanan dengan menu daging babi asam dan bakso ikan menjadi obat mujarab penghilang lapar.
Informasi mengenai kapan dan di mana akan ada unjuk rasa kerap dirahasiakan oleh para aktivis sejak pemerintah memberlakukan status keadaan darurat, pekan lalu. Penyelenggara unjuk rasa dan para koordinator lapangan (korlap) baru akan memberitahukan lokasinya ke publik hanya beberapa saat sebelum unjuk rasa digelar.
Tujuannya, tentu saja, supaya pemerintah atau aparat keamanan Thailand kecolongan dan kesulitan mencegah pergerakan pengunjuk rasa yang masih menuntut Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha mengundurkan diri.
Namun, taktik para pengunjuk rasa itu tidak berlaku bagi para pedagang jalanan. Entah bagaimana caranya dan dari mana mereka mengendus ”informasi rahasia” tersebut, meski sudah dirahasiakan hingga detik-detik terakhir, para pedagang jalanan rupanya tetap saja masih bisa menjadi orang yang pertama hadir di lokasi.
Pantau medsos
Mereka bahkan sudah siap melayani permintaan begitu pengunjuk rasa tiba di lokasi. Penjual bakso, Rattapol Sukpa, mengaku, untuk bisa tahu kira-kira di mana lokasi unjuk rasa selanjutnya, ia sampai memantau media sosial Facebook. Dari konten Facebook itu, ia bisa mencari petunjuk atau setidaknya mengira-ira lokasi unjuk rasa selanjutnya.
Selain itu, informasi juga sering kali didapat dari para pedagang jalanan lainnya yang saling membantu. Sebut saja, networking di antara mereka tak kalah solid dari para pengunjuk rasa.
”Dulu, penjualan saya lumayan bagus, tetapi berjualan di lokasi unjuk rasa seperti sekarang ini jauh lebih baik karena dagangan lebih cepat laris manis,” kata Sukpa (19) yang berjualan di dekat Monumen Kemenangan.
Para pedagang jalanan mendapatkan keuntungan besar sejak gelombang unjuk rasa dimulai pada Juli lalu. Setiap kali ada unjuk rasa, mereka selalu setia hadir. Mereka pun dijuluki CIA oleh para pengunjuk rasa karena selalu tahu informasi unjuk rasa. Selain itu, mereka juga gercep (gerak cepat).
Rattapol merasa diuntungkan dengan unjuk rasa ini. Berkat unjuk rasa, ia bisa lebih cepat pulang karena dagangannya ludes sebelum pukul 20.00. Padahal, biasanya dagangannya baru bisa habis tengah malam.
Demo rasa festival makanan
Di tengah-tengah aksi para pengunjuk rasa yang heboh menggugat status quo Thailand dan menuntut perubahan konstitusi serta reformasi monarki, para pedagang jalanan pun heboh melayani mereka yang lapar, lalu melipir ke pinggiran. Seperti ada dua event berjalan bersamaan, unjuk rasa dan festival makanan.
Bola sosis babi dan nasi asam, menu makanan khas dari daerah timur laut Thailand, digantung di gerobak makanan bagaikan kalung manik-manik siap digoreng dan disajikan bersama dengan sayur kubis. Kalau tidak mau makanan yang itu, ada juga pilihan lain, seperti hotdog, sup, camilan yang disate, asinan buah, dan aneka ragam pilihan minuman dingin.
Selain gerobak makanan dorong, banyak juga pedagang yang memakai gerobak makanan yang digandengkan dengan sepeda motor. Ini mempermudah mereka bergerak cepat mengikuti para pengunjuk rasa ke mana pun mereka pergi.
Bagi pedagang ayam goreng, Anucha Noipan (21), menjual di tengah-tengah unjuk rasa itu lebih menguntungkan. Pada hari-hari biasa, ia bisa mendapat pemasukan 97 dollar AS atau sekitar Rp 1,4 juta per hari. ”Tetapi, sejak berjualan di tempat unjuk rasa, saya bisa dapat uang sampai 192 dollar AS (Rp 2,8 juta) dalam sehari,” ujarnya.
Anucha baru kali ini berjualan makanan dengan gerobak sejak ia meninggalkan pekerjaannya sebagai petani karet. Ia mendukung tuntutan dari gerakan prodemokrasi dan setia kepada mereka. Saking setianya, ia tidak mau menjual ayam gorengnya ke lokasi-lokasi unjuk rasa kelompok pendukung pemerintah kerajaan.
”Saya beda pandangan dengan kelompok mereka,” ujarnya.
Pedagang ayam goreng lainnya, Nattapol Sai-ngarm, sebenarnya agak waswas berjualan di tengah unjuk rasa karena ada risiko ia bisa ikut diciduk aparat keamanan. Akan tetapi, ia tidak punya pilihan lain karena kondisi ekonomi yang semakin sulit akibat pandemi Covid-19.
”Saya biasanya takut diciduk polisi. Namun, saya tetap datang setiap hari. Jadi, akhirnya sudah biasa dan tidak takut lagi,” ujarnya. (AFP)