Ekspor Nasional Tertekan, Penurunannya Lebih Tajam daripada Impor
Kinerja ekspor nasional tertekan pelemahan ketidakpastian ekonomi global. Hal itu terindikasi dari penurunan nilai ekspor sepanjang Januari-Agustus 2019 yang lebih tajam dari penurunan impor.
JAKARTA, KOMPAS — Kinerja ekspor nasional tertekan pelemahan ketidakpastian ekonomi global. Hal itu terindikasi dari penurunan nilai ekspor sepanjang Januari-Agustus 2019 yang lebih tajam dari penurunan impor.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan Indonesia pada Agustus 2019 surplus sebesar 85,1 juta dollar AS. Sementara pada periode Januari-Agustus 2019, neraca perdagangan masih defisit 1,81 miliar dollar AS.
”Neraca perdagangan Januari-Agustus 2019 memang defisit. Namun, defisit itu terus mengecil. Besaran defisit itu lebih kecil dibandingkan defisit pada periode sama 2018 yang sebesar 8,69 miliar dollar AS,” kata Kepala BPS Suhariyanto di Jakarta, Senin (16/9/2019).
Meski demikian, sepanjang Januari-Agustus 2019, penurunan nilai ekspor tercatat jauh lebih tajam, yaitu minus 8,28 persen dibandingkan dengan penurunan impor yang minus 6,5 persen secara tahunan.
Sepanjang Januari-Agustus 2019, penurunan nilai ekspor tercatat jauh lebih tajam, yaitu minus 8,28 persen dibandingkan dengan penurunan impor yang minus 6,5 persen secara tahunan.
Penurunan terbesar dari sektor nonmigas yang minus 6,66 persen. Sektor nonmigas merupakan sektor pemberi andil besar terhadap total ekspor, yaitu 92 persen.
Berdasarkan sektornya, ekspor nonmigas dari hasil industri pengolahan Januari-Agustus 2019 turun 4,33 persen dibandingkan dengan periode yang sama 2018. Ekspor hasil tambang dan lainnya juga turun 17,73 persen. Sementara ekspor hasil pertanian naik 1,53 persen.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengemukakan, nilai ekspor nonmigas mengalami tekanan karena ketidakpastian perdagangan global. Tekanan terbesar berasal dari perang dagang AS-China.
”Faktor global berpengaruh, khususnya pada mesin-mesin, industri karet atau barang karet, dan kertas atau barang dari kertas. Sesuai dengan studi Indef 2019, komoditas itu akan mengalami perlambatan karena efek perang dagang,” ujarnya.
BPS mencatat, ekspor karet dan barang karet dari Indonesia ke AS pada Januari-Agustus 2019 dibandingkan dengan periode yang sama 2018 turun 5,25 persen. Ekspor komoditas serupa ke China pada periode sama juga turun drastis hingga 27,67 persen.
Ekspor kertas dan barang dari kertas lainnya ke AS pada periode itu meningkat 53,13 persen. Namun, pada saat bersamaan, nilai ekspor komoditas tersebut ke China menurun drastis sampai 45 persen.
Berdasarkan data BPS, nilai ekspor nonmigas ke AS dan China yang menjadi dua negara tujuan utama Indonesia itu menurun. Nilai ekspor Indonesia ke China turun dari 16,61 persen pada Januari-Agustus 2018 menjadi 15,95 persen pada Januari-Agustus 2019. Pada periode yang sama, ekspor nonmigas ke AS turun dari 11,71 persen menjadi 11,51 persen.
Penurunan nilai ekspor nonmigas juga terlihat pada negara-negara tujuan ekspor di Uni Eropa (UE) yang mencapai 17 persen pada Januari-Agustus 2019. Negara-negara tujuan ekspor di UE itu, di antaranya Jerman, Belanda, dan Italia.
Pada 9 September 2019, Dana Moneter Internasional (IMF) mengeluarkan laporan New Index Tracks Trade Uncertainty Across The Globe. Dalam laporan itu, IMF menyebutkan, tingkat ketidakpastian perdagangan global pada triwulan I-2019 telah melonjak hampir 10 kali lipat dari ketidakpastian perdagangan global dua dekade sebelumnya.
IMF bahkan memperkirakan, lonjakan tajam ketidakpastian perdagangan global pada triwulan I-2019 dapat memangkas pertumbuhan ekonomi dunia sebesar 0,75 basis poin pada tahun ini.
Indeks Ketidakpastian Perdagangan Dunia (WTU) yang dirilis IMF menunjukkan, ketidakpastian perdagangan global mulai meningkat tajam pada triwulan III-2018 setelah selama 20 tahun terakhir stabil. Lonjakan ketidakpastian itu bertepatan dengan dimulainya pengenaan tarif impor dua negara yang tengah perang dagang, AS dan China.
Pada triwulan I-1996 hingga triwulan I-2018, WTU berada pada 0-15. Pada triwulan II-2018, WTU mulai meningkat dan pada triwulan III-2018 sudah menjadi 30.
Kendati sempat turun pada triwulan IV-2018 di bawah 20, WTU justru meroket pada triwulan I-2019, hampir menyentuh angka 110, setelahAS meningkatkan tarif impor besar-besaran kepada China pada 1 Maret 2019.
Baca juga: Berlayar di Tengah 10 Kali Lipat Ombak Ketidakpastian Global
IMF juga menyatakan, AS dan negara-negara mitranya (terutama Kanada dan Meksiko), Eropa, dan Asia Pasifik merupakan wilayah yang paling terpengaruh ketidakpastian perdagangan global. Adapun Afrika dan Timur Tengah merupakan wilayah yang paling minim terdampak perang dagang AS-China.
Juli lalu, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia pada 2019 dan 2020 masing-masing 3,2 persen dan 3,5 persen. Proyeksi itu lebih rendah dari proyeksi IMF pada April lalu yang sebesar 3,3 pada 2019 dan 3,6 pada 2020. Khusus Indonesia, pertumbuhan ekonominya diperkirakan 5,2 persen pada 2019 dan 2020.
Pasar nontradisional
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, ada berbagai cara yang bisa dilakukan untuk memperbaiki kinerja ekspor Indonesia. Salah satunya adalah meningkatkan ekspor ke pasar nontradisional, seperti Afrika dan Timur Tengah.
”Penyelesaian perjanjian kerja sama ekonomi dengan negara lain, seperti perjanjian perdagangan bebas (FTA) dan perjanjian perdagangan preferensial (PTA) juga akan sangat berperan meningkatkan standar daya saing produk barang dan jasa Indonesia di kancah internasional,” ujarnya.
Shinta juga berpendapat, pemerintah perlu segera mengubah kebijakan teknis dan nonteknis yang diperlukan pelaku usaha untuk menggenjot ekspor dan investasi nasional. Dia menilai belum memperbaiki kemudahan dan efisiensi penyederhanaan izin, prosedur, dan dokumen ekspor.
Baca juga: Mentoring UMKM di Tengah Bayang-bayang Resesi Global
Shinta mencontohkan, UMKM yang akan mengekspor masih sulit mendapatkan pengenal eksportir. Pelaku usaha juga masih dibebani laporan surveior walaupun produk yang diekspor sudah disertifikasi, baik di level nasional maupun internasional.
”Waktu pengurusan dokumen impor untuk kebutuhan industri yang berorientasi ekspor juga masih lama,” kata Shinta.
Untuk itu, ia berharap pelaksanaan paket-paket kebijakan segera diperbaiki dan reformasinya dijalankan dengan konsisten. Dengan demikian, ada dampak nyata yang bisa dirasakan pelaku usaha untuk menggenjot ekspor.