Tidak Mudah Memutus Rantai Wabah pada Kegiatan Ibadah
Pembatasan kegiatan ibadah di tengah wabah Covid-19 menuai pro-kontra dari warga. Maksud pembatasan belum dipahami sepenuhnya sebagai langkah untuk mematahkan rantai penularan.
Maulud (59) mengurungkan niatnya menuju Masjid Istiqlal seusai makan di sebuah warung, kawasan Sawah Besar, Jakarta Pusat. Niatnya urung saat melihat siaran langsung di televisi, Jumat (20/3/2020) pagi.
Dalam siaran tadi pagi, Maulud mendengar kabar bahwa shalat Jumat di Masjid Istiqlal akan ditunda selama dua pekan. Penundaan ini berkaitan dengan penyebaran virus korona baru atau SARS-CoV-2 yang masif di Indonesia, terutama di kluster DKI Jakarta.
Warga Tamansari, Jakarta Barat, ini menyimpan sedikit kekecewaan karena banyak aktivitas yang dibatasi sejak memasuki pekan ketiga bulan Maret ini. ”Sudah mau keluar rumah susah, berangkat dagang juga susah, sekarang ibadah pun harus di rumah. Saya khawatir, tapi enggak tahu harus ngapain, jadinya coba ikut instruksi saja,” ungkap Maulud yang biasa berdagang makanan saat malam hari.
Baca juga: Tak Ada Shalat Jumat di Masjid Istiqlal dalam Dua Pekan
Kekecewaan lantaran sulit beraktivitas tidak hanya dirasakan Maulud. Maulud mungkin hanyalah satu dari sebagian besar umat beragama yang tekun sembahyang di tempat ibadah. Kini, jemaah harus menahan hasrat ibadah berjemaah di masjid selama instruksi pembatasan sosial (social distancing) dari pemerintah.
Sejalan dengan itu, Presiden Joko Widodo menyerukan agar warga bekerja dari rumah, belajar di rumah, dan beribadah di rumah. Langkah ini perlu dilakukan untuk menghentikan laju penyebaran virus korona jenis baru. Merespons seruan ini, sebagian kepala daerah menyerukan hal serupa.
Seruan Gubernur DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 2020 tentang Peniadaan Sementara Kegiatan Peribadatan dan Keagamaan di Rumah Ibadah dalam Rangka Penyebaran Wabah Covid-19, Kamis (19/3/2020), telah meminta pembatasan kegiatan semacam ini.
Dalam seruan itu, pemerintah mengimbau agar kegiatan peribadatan dan berbagai kegiatan agama yang mengumpulkan orang di masjid, gereja, pura, wihara, kelenteng, atau tempat ibadah lain ditiadakan. Ibadah yang dimaksud termasuk shalat Jumat, majelis taklim, kebaktian dan misa minggu, serta perayaan hari besar lain.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bersama sejumlah perwakilan umat beragama, Kamis, meminta agar seruan tersebut dijalankan hingga dua pekan ke depan. ”Pembatasan ini harus berjalan setidaknya dua pekan untuk mengurangi penularan. Saya berharap, semua bisa disiplin mengikuti seruan ini hingga Jakarta beranjak normal,” kata Anies di Balai Kota, Kamis.
Seruan serupa datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Lembaga ini menerbitkan Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19. Fatwa menyebutkan, shalat Jumat dapat diganti dengan shalat Dzuhur di tempat kediaman karena shalat Jumat merupakan ibadah wajib yang melibatkan banyak orang sehingga berpeluang menularkan virus secara massal.
Selain itu, fatwa menyebut, setiap orang wajib menjaga kesehatan dan menjauhi setiap hal yang diyakini dapat menyebabkan terpapar penyakit. Kewajiban ini dianggap sebagai bagian dari menjaga tujuan pokok beragama.
Baca juga : Tidak Mudah Menjaga Jarak di Tengah Merebaknya Wabah
Sulit
Kendati telah ada imbauan, aktivitas di tempat ibadah sangat sulit dikurangi. Di Masjid Istiqlal, misalnya, selama Jumat siang hingga sore masih dipadati warga yang shalat berjemaah. Saf shalat Dzuhur pada Jumat (20/3/2020) siang direnggangkan sekitar 30 sentimeter per orang.
Meski begitu, pada praktiknya, pembatasan sosial dalam kegiatan ibadah ini masih sulit dibuat ideal. Sebagian warga tidak takut bergabung dengan warga lain saat beribadah bersama-sama. Mansuri (36), salah satu anggota umat shalat Dzuhur di Masjid Istiqlal, memaknai wabah Covid-19 sebagai cobaan dari Tuhan. ”Ya, mungkin saja, ini cobaan dari Yang Di Atas, Tuhan mahatahu. Tapi, saya usahakan enggak putus ibadah ke masjid,” ucapnya.
Berkaitan dengan ini, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta Nasaruddin Umar mengingatkan bahwa wabah yang merebak sekarang bersifat darurat. Dalam kondisi seperti ini, ia menyampaikan, agama menganjurkan agar umat beragama tetap ikhtiar dan tidak menyerah pada keadaan.
Baca juga : Arab Saudi Hentikan Shalat Berjemaah di Masji untuk Cegah Penyebaran Covid-19
”Ada yang dinamakan takdir dalam hidup. Setiap berbicara takdir, maka kita harus berbicara tentang ikhtiar. Keduanya saling mengisi. Kita juga tidak bisa bicara ikhtiar, tetapi tidak mengembalikan persoalan kepada Tuhan yang mahakuasa,” ujar Nasarrudin dalam siaran langsung bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Nasarrudin pun menyoroti penularan wabah di negara lain. Arab Saudi, misalnya, sejak Selasa, 17 Maret, mengumumkan penghentian shalat berjemaah di semua masjid selain Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Imbauan itu diwajibkan untuk berbagai kegiatan, termasuk shalat lima waktu dan shalat Jumat.
Kebijakan Pemerintah Arab Saudi itu merespons jumlah pasien yang terinfeksi Covid-19 yang kini mencapai 171 orang. Beberapa bulan sebelumnya, Arab Saudi pun telah mengambil langkah drastis dengan menangguhkan umrah, menghentikan penerbangan internasional, serta menutup sekolah dan sebagian besar perusahaan publik.
Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo pun mengatakan, pemerintah saat ini berusaha melakukan antisipasi dan penapisan agar penularan wabah tidak menjadi parah. Sebab, jumlah kasus terus bertambah hingga 369 pasien per 20 Maret dari sebelumnya 309 pasien. Jumlah pasien meninggal pun bertambah menjadi 32 dari sebelumnya 25 pasien.
Doni mengungkapkan, ancaman penularan wabah di lokasi keramaian perlu benar-benar dipahami seluruh warga Indonesia. Saat ini, pembatasan sosial adalah langkah yang paling memungkinkan untuk dilakukan warga. Cara ini dilakukan dengan mengurangi mobilitas orang, menjaga jarak, dan mengurangi kerumunan orang yang membawa risiko besar penyebab Covid-19.
Baca juga : Melawan Korona Dimulai dari Diri Sendiri
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan untuk menjaga jarak setidaknya 1 meter dengan orang lain. Hal ini untuk mencegah penularan virus melalui droplet atau percikan saat batuk dan bersin dari penderita. Meski sebenarnya bersin yang kuat bisa menyemburkan percikan sampai 3-8 meter, tetapi jarak 1 meter dianggap memadai.
Neeltje van Doremalen, ahli virus di US National Institutes of Health (NIH), dan tim menguji lama SARS-CoV-2 bertahan di permukaan berbeda. Studi yang diterbitkan New England Journal of Medicine menunjukkan, virus bisa bertahan dalam tetesan tiga jam setelah orang batuk. Tetesan ukuran 1-5 mikrometer, 30 kali lebih kecil dari lebar rambut manusia, mengudara beberapa jam. Virus itu juga bertahan di atas kardus 24 jam serta di permukaan plastik dan stainless steel dua-tiga hari. Virus bertahan lama di gagang pintu dan permukaan keras lain. Permukaan tembaga membunuh virus dalam waktu empat jam.
Berdasarkan laporan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), cara penyebaran melalui benda bukan cara utama penyebaran virus. Meski begitu, CDC, WHO, dan lembaga otoritas kesehatan lainnya menegaskan, mencuci tangan dan mendisinfeksi permukaan yang sering disentuh tiap hari adalah kunci mencegah penyebaran Covid-19.
Seruan mengenai pembatasan sosial sudah disampaikan Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus. Untuk mencegah wabah Covid-19 lebih luas, harus dilakukan berbarengan dengan praktik tes massal. ”Kita tak akan bisa memadamkan api dengan mata tertutup. Tes, tes, tes. Tes setiap kasus yang dicurigai,” ujar Tedros
Baca juga : Menjaga Jarak, Menjamin Kesehatan
Atas berbagai alasan ilmiah dan dari ulama, Nasarrudin berharap warga dapat memahami gentingnya situasi saat ini. ”Kondisi kali ini sangat memprihatinkan umat Islam dan juga warga lain. Sesuai dengan fatwa ulama serta berbagai analisis mendalam, saya pikir cukup beralasan bila saat ini kita tidak melakukan pertemuan dalam keadaan berjemaah. Termasuk untuk shalat lima waktu dan shalat Jumat,” tuturnya.
Di tengah imbauan itu, pemahaman warga dalam melakukan pembatasan sosial menjadi sangat penting. Pembatasan sosial menjadi langkah ”ikhtiar” bagi manusia saat ini. Kerasionalan warga dalam menerima imbauan pemerintah pun diuji untuk menangkal wabah Covid-19.