Rencana pemerintah melonggarkan pembatasan sosial akan didasarkan pada tren pergerakan kasus. Pemerintah menegaskan penerapan relaksasi PSBB akan diambil tanpa mengabaikan protokol kesehatan.
Oleh
AIK/SPW/TAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Pemerintah terus mengupayakan agar titik puncak pertumbuhan kasus Covid-19 terjadi akhir Mei 2020 dan setelah itu melandai secara perlahan. Perekonomian masyarakat diharapkan dapat berangsur normal kembali.
”Sekarang pun sedang uji cepat, rapid test, dan PCR besar-besaran. Bukan hanya di Jakarta, melainkan juga di provinsi lain,” kata Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dalam acara bincang-bincang dengan pimpinan media massa secara virtual, Sabtu (9/5/2020) malam.
Meski tren mengasumsikan puncaknya pada Mei, kata Muhadjir, tetap akan dilihat perkembangannya. ”Saat ini pun terjadi penambahan kasus melebihi 500. Kalau nanti naik lagi, kita lihat lagi,” tambahnya.
Kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) juga akan disesuaikan sesuai tren. Dapat menjadi lebih longgar mengarah pendekatan kekebalan komunitas, herd immunity, sebaliknya, dapat lebih ketat mendekati lockdown. Tren itu disampaikan dalam laporan gugus tugas setiap minggu dalam rapat kabinet.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menegaskan, kebijakan relaksasi PSBB takkan melonggarkan protokol kesehatan Covid-19. ”Protokol tetap ketat. Pakai masker, cuci tangan, jaga jarak. Kalaupun ada toko yang terpaksa buka, harus diatur jaraknya,” kata Mahfud.
Sementara itu, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate serta Menteri Sosial Juliari P Batubara mendorong peran aktif semua lapisan masyarakat agar penanganan Covid dapat optimal pada Mei ini.
Menkominfo mengajak semua masyarakat untuk menginstal aplikasi PeduliLindungi sebagai upaya preventif. Penggunaan masif aplikasi digital menjadi kesuksesan penanganan Covid-19 di banyak negara, seperti India dan Taiwan.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menekankan pandemi Covid-19 harus cepat ditangani agar pandemi yang awalnya krisis kesehatan tidak mengganggu stabilitas ekonomi.
Sulit ditentukan
Walau demikian, akhir pandemi Covid-19 di Indonesia diyakini sulit ditentukan.
”Ketika pemerintah (nanti) mengklaim intervensi untuk menurunkan penularan Covid-19 sudah efektif, ini harus didukung studi ilmiah,” kata epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman, dalam webinar yang diselenggarakan Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu.
Lebih lanjut, Dicky mengatakan, ”Kalau dinyatakan intervensi PSBB sudah berhasil, Ro (angka reproduksi kasus) kita sekarang berapa? Juga berapa doubling time (waktu penggandaan). Sampai sekarang data ini tidak ada.”
Intervensi dianggap berhasil jika nilai Ro semakin menurun hingga mendekati nol, yang artinya tidak lagi terjadi penularan. Perubahan nilai Ro ini harus diukur sebelum dan sesudah intervensi.
”Misalnya, di sejumlah negara bagian di Australia setelah intervensi, nilai Ro yang semula di atas 2 menjadi 1,8. Dengan penurunan ini, mereka sekarang mulai bersiap melonggarkan lockdown. Jadi, ada ukurannya,” kata Dicky.
Menurut Dicky, jika pelonggaran intervensi hanya berdasar klaim, hal itu dapat menyebabkan blunder. ”Kita tahu Covid-19 ini penyakit baru yang bisa memicu masalah kesehatan yang serius,” katanya.
Keterbatasan data di Indonesia membuat skenario untuk memodelkan pengakhiran pandemi menjadi tidak mudah. ”Jika secara global belum selesai, kita juga belum akan berakhir. Demikian sebaliknya. Kita harus mengantisipasi bakal terjadi beberapa puncak, dan ini bisa terjadi sampai 2021 dan paling lama 2023. Walau vaksin ditemukan tahun 2021, implementasinya butuh waktu,” kata Dicky.
Kesulitan untuk memodelkan akhir pandemi di Indonesia juga dikemukakan ahli biostatistik dan kependudukan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Hari Basuki Notobroto. ”Saat ini, kita masih di awal kasus dan datanya terus berubah. Selisih dua hari saja bisa bergeser puncaknya dan juga kapan akhirnya. Sejumlah pemodelan yang dibuat beberapa lembaga juga terus direvisi,” katanya.
Dari pemodelan dengan pendekatan probabilistik yang dibuat Hari, bulan Mei akan jadi puncak penularan di Jakarta dan sekitarnya dan diperkirakan mereda akhir Juli atau awal Agustus 2020. Sementara di Jawa Timur, kasusnya akan memuncak pada Juni dan reda pada September. ”Kalau pakai model probabilistik, tidak akan pernah mencapai titik nol. Lebih tepat kapan meredanya,” katanya.
Kalau pakai model probabilistik, tidak akan pernah mencapai titik nol.
Kurva epidemi
Ahli biostatistik Eijkman Oxford Clinical Research Unit, Iqbal Elyazar, mengatakan, Pemerintah Indonesia harus dapat membuat kurva epidemi yang dapat menjelaskan perjalanan pandemi, menentukan sumber dan kapan terjadinya penularan, memperkirakan puncak dan akhir pandemi, serta mengevaluasi efektivitas pengendaliannya.
Secara sederhana, kurva epidemi akan menggambarkan jumlah kasus baru dari waktu ke waktu. Patokan waktu itu, misalnya, tanggal orang terinfeksi, tanggal orang mulai bergejala, dan tanggal orang diperiksa.
Selama ini, kurva epidemi Covid-19 yang ditunjukkan pemerintah diduga belum sesuai standar ilmu epidemiologi. ”Namun, data yang sudah ada dapat dipakai untuk membuat kurva epidemi bagi setiap provinsi dan kabupaten/kota. Kurva yang dibuat ini harus bisa dibuktikan secara ilmiah, bukan asumsi saja, sehingga bisa jadi dasar untuk menilai situasi,” kata Iqbal.
Menurut Kepala Departemen Epidemiologi Universitas Indonesia Tri Yunis Miko, Indonesia saat ini masih pada posisi kurva meningkat, belum melandai atau bahkan menurun. ”Kalau masih ada kasus di atas 10 saja, itu tidak aman. Wabah masih dapat meningkat lagi,” ujarnya.