Pro Kontra Ganjil Genap Operasional Pasar DKI Jakarta
Rencana ganjil genap operasional pasar untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19 di pasar tradisional Ibu Kota tidak mudah karena pro kontra dari pedagang.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY/ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian pedagang pasar di DKI Jakarta menolak penerapan ganjil genap operasional pasar. Alasannya beragam, mulai dari rusaknya barang dagangan hingga kebutuhan hidup.
Perusahaan Umum Daerah Pasar Jaya DKI Jakarta akan mengatur pedagang berjualan dengan sistem ganjil genap sesuai nomor kios dan tanggal kalender mulai Senin (15/6/2020). Hal itu karena temuan 52 pedagang pasar positif Covid-19.
Protokol kesehatan pun masih sulit diterapakan di pasar. Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, dan Pasar Grogol, Jakarta Barat, misalnya, masih ada pedagang berjualan tanpa mengenakan masker dan menjaga jarak fisik. Demikian juga dengan pembeli yang berseliweran.
Pedagang di Pasar Kebayoran Lama tidak setuju kebijakan pembatasan operasional pada tanggal ganjil dan genap pekan depan. Keraguan tersebut terkait pasokan bahan makanan yang berisiko rusak akibat terlalu lama disimpan.
Gendut (67) salah satunya. Ia khawatir bahan makanan seperti tempe, kelapa parut, dan telur menjadi tidak segar karena disimpan terlalu lama. Terutama untuk produk kelapa yang diparut menjadi santan sehingga tidak bisa lagi dijual keesokan hari.
”Dagangan seperti kelapa parut dan santan kalau enggak laku hari ini mestinya bisa dijual esok hari. Tetapi, kalau dibikin jadi ganjil-genap, ya, berarti kita rugi kalau enggak laku dijual hari ini,” ujar Gendut.
Begitu pula untuk produk tempe dan telur. Menurut Gendut, produk semacam tempe hanya bisa bertahan sekitar tiga hari atau paling lama satu minggu. ”Pokoknya, pasti jadi susah kalau mau berjualan bahan dagangan,” ujarnya.
Sinem (55), pedagang ikan, juga mengeluhkan kondisi barang dagangan yang akan sulit dijual karena tidak segar. ”Sekarang, jual apa-apa sudah susah, ditambah lagi sebagian produk daging jadi sulit dijual,” kata Sinem.
Demikian juga Yono (35), pedagang sayur-mayur di Pasar Grogol. Ia tidak setuju dengan kebijakan tersebut karena kebutuhan hidupnya bergantung dari hasil dagangannya sehari-hari. ”Waduh tidak tahu mau atau tidak. Saya harus jualan setiap hari untuk penuhi kebutuhan hidup,” ujar Yono.
Sementara Armen (40), pedagang telor gulung dan cilor di sekitar pasar itu, khawatir pembeli semakin berkurang imbas penerapan ganjil genap. Apalagi pasar malam sebagai tempat alternatif menambah pemasukan tidak diperbolehkan buka semenjak pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Padahal, semenjak pandemi, ia mengubah cara melayani pembeli. Sebelumnya, pembeli bisa langsung makan di sekitar gerobak. Kini, makanan langsung dibungkus untuk dibawa pulang. ”Tidak ada duduk dan makan di tempat,” ujar Armen.
Pedagang lain juga setuju dengan kebijakan ganjil genap karena semata-mata menjamin keselamatan pedagang dan pembeli. Di sisi lain, di antaranya, ada yang punya alternatif lain untuk menambah pemasukan.
Roni (50), pemilik toko kesehatan di Pasar Grogol, setuju dengan kebijakan tersebut karena sudah ada temuan kasus pedagang pasar positif Covid-19. ”Semakin khawatir karena sudah ada pedagang pasar positif Covid-19,” ujar Roni.
Ia sampai memasang sekat antara karyawan dan pembeli di tokonya. Karyawan juga diwajibkan mencuci tangan seusai transaksi tunai. Tokonya belum menyediakan transaksi nontunai.
Effendi (40), pemilik toko perhiasan, menerima kebijakan tersebut karena diyakini mengurangi risiko paparan Covid-19. Ia nantinya menyiasati giliran ganjil genap dengan menjual masker di pasar pinggir jalan di area Pesing, Jakarta Barat. ”Nanti bisa jualan masker untuk menambah pemasukan sehari-hari,” ucap Effendi.
Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) meminta Pemprov DKI dan PD Pasar Jaya mengkaji ulang kebijakan tersebut sembari membenahi protokol kesehatan. Menurut Ketua Ikappi Abdullah Mansuri, seharusnya kebijakan ganjil genap dikaji ulang karena ada alternatif lain.
Upaya lain
Contohnya di Pasar Bendo, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, pengelola mewajibkan pemasangan tirai plastik sebagai batas antara pedagang dan pembeli. ”Upaya itu bisa dilakukan tanpa genap ganjil,” ujar Abdullah.
Upaya lain yang juga bisa dilakukan ialah penerapan zonasi seperti di Pasar Pagi Salatiga, Jawa Tengah, dengan memanfaatkan ruang terbuka untuk menata jarak antarpedagang.
Selain itu, Ikappi menilai, Pemprov DKI dan PD Pasar Jaya belum maksimal dalam penerapan protokol kesehatan, sosialisasi, dan komunikasi dengan pedagang serta belum ada penanganan khusus secara langsung, seperti tes cepat dan usap secara masif untuk mengetahui klaster pasar secara utuh.
”Ada disinformasi di level bawah bahwa Covid-19 ini tidak benar, buatan manusia. Informasi itu harus diluruskan ulang melalui sosialisasi dan komunikasi yang intensif,” katanya.
Abdullah menyarankan pengelola pasar melakukan pengecekan suhu tubuh dan mengingatkan kembali penggunaan masker, jaga jarak, dan cuci tangan. Juga menyediakan masker karena anggaran daerah cukup besar, termasuk dari retribusi pedagang selama berpuluh-puluh tahun.
PD Pasar Jaya akan mengatur lalu lintas pengunjung dengan membuat jalur searah di dalam pasar saat penerapan ganjil genap. Stiker penunjuk arah akan ditempelkan di lantai disertai pemisahan pintu masuk dan keluar pasar.
Pasar Jaya akan menambah tempat cuci tangan supaya pedagang dan pembeli bisa lebih sering mencuci tangan. Pengelola juga akan lebih intens mensterilkan titik-titik yang sering menjadi titik kumpul. ”Kami sosialisasi kepada pengunjung pasar dan pedagang agar mereka menjalankan secara disiplin protokol Covid-19 yang sudah dibuat,” kata Direktur Utama Perumda Pasar Jaya Arief Nasrudin.