Jangan Ada Dusta di Antara Kita
Tanpa kami duga, kepala desa menjawab, ”Iya, saya memang ODP. Saya sudah diambil usap tenggoroknya dan sekarang sedang menunggu hasil.” Jawaban itu membuat kami spontan mendorong mundur kursi.
Wartawan Kompas di Magelang, Regina Rukmorini, dan fotografer Kompas di Yogyakarta, Ferganata Indra, berbagi kisah pengalaman meliput di tengah badai pandemi Covid-19.
Segala sesuatu terkait Covid-19 kerap menimbulkan rasa ngeri dan cemas. Bisa dipahami karena penyakit ini bisa menghinggapi siapa saja, kapan saja, dan di mana saja tanpa pandang bulu. Belum lagi membanjirnya informasi tentang peningkatan kasus positif dan pasien meninggal yang membuat tambah ngeri.
Kecemasan bertambah karena tidak semua orang mau terbuka tentang kondisi tubuh dan riwayatnya. Munculnya stigma negatif terhadap penderita Covid-19, mendorong orang tidak berani jujur mengaku apakah dirinya berstatus orang tanpa gejala (OTG), orang dalam pemantauan (ODP), ataupun pasien dalam pengawasan (PDP).
Baca juga: Kisah Fotografer ”Kompas” Meliput Pandemi Covid-19
Situasi penuh kecemasan dan kekhawatiran saya alami saat liputan ke salah satu desa di Kabupaten Magelang awal April 2020. Sebelum itu, saya sudah beberapa kali liputan di rumah sakit dan ikut jumpa pers tatap muka, termasuk yang berdesakan dengan rekan-rekan sesama jurnalis.
Saya memutuskan untuk menghindar dulu dari liputan yang hanya membicarakan jumlah kasus. Sebagai gantinya, saya berencana meliput tentang kesiapan desa menghadapi wabah Covid-19, salah satunya soal lumbung pangan.
Saya berencana liputan bersama dua rekan jurnalis. Kami kemudian membuat janji wawancara dengan kepala desa setempat. Sesuai kesepakatan, keesokan harinya kami tiba di kantor desa pukul 10.00. Namun, sesampainya di sana seorang perangkat desa tampak keheranan mengetahui kami membuat janji wawancara dengan kepala desa.
”Kok bisa bikin janji? Pak Lurah (kepala desa) kan sedang sakit,” ujar perangkat desa itu.
Kami bertiga pun kebingungan. Teman saya kemudian menelepon dan memastikan apakah kepala desa bisa datang ke kantor desa atau tidak. Kami kemudian tetap menunggu di kantor desa karena kepala desa memastikan akan hadir untuk wawancara.
Sekitar 30 menit kemudian kepala desa datang dengan mengenakan masker. Karena penasaran, kami langsung menanyakan informasi yang mengabarkan ia sedang sakit.
Kepala desa menjawab hanya batuk pilek biasa. Namun, ia juga mengungkapkan, setelah diperiksa dokter, kadar leukositnya rendah sehingga badannya terasa lemah.
Baca juga: Belajar Menghargai Hidup dari Kematian Seseorang
”Oh syukurlah, Pak. Saya kira pak lurah jadi ODP...,” ujar saya tanpa pikir panjang.
Tanpa kami duga, kepala desa merespons, ”Iya, saya memang ODP. Saya sudah diambil usap tenggoroknya dan sekarang sedang menunggu hasil.”
Meski disampaikan secara tenang, jawaban itu membuat kami spontan mendorong mundur kursi. Padahal, antara kami dan kepala desa sebenarnya dibatasi sebuah meja yang cukup besar. Kami berusaha menjaga jarak setidaknya 2 meter dari kepala desa.
Menit-menit berikutnya sungguh membuat kami cemas dan kehilangan konsentrasi. Kepala desa kemudian bercerita, batuk pilek mulai dialami setelah ia mengumpulkan dan membawa puluhan warga peserta Ijtima Ulama Dunia Zona Asia di Gowa, Sulawesi Selatan, ke puskemas untuk diperiksa. Riwayat interaksinya ini yang kemudian membuatnya berstatus ODP.
Mendengar kata ”Ijtima Ulama Gowa”, kami makin lemas. Dari keterangan berbagai narasumber yang kami himpun selama beberapa hari sebelumnya, kegiatan tersebut menyumbang peningkatan jumlah PDP dan jumlah pasien positif Covid-19 di sejumlah daerah.
Perasaan kami makin tidak tenang. Namun, kami tetap melanjutkan wawancara karena tidak ingin membuat kepala desa tersinggung. Dia kemudian berbicara banyak tentang penggunaan dana desa untuk penanggulangan Covid-19.
Baca juga: Ketika Bunyi Tembakan Menyambut Kami di Nduga
Sambil wawancara, saya terus mencermati perilaku kepala desa. Masker yang dikenakannya adalah masker sekali pakai yang sepertinya sudah dipakai berhari-hari. Terlihat dari tampilannya yang lusuh dan kotor. Melihat itu, timbul keraguan saya, apa bisa masker itu menahan percikan ludahnya menyebar ke sekitar.
Wawancara berlangsung satu jam. Kami masih harus menambah waktu untuk memotret bilik-bilik isolasi yang dibangun dengan dana desa. Setelah selesai dan keluar dari balai desa, kami langsung membicarakan sang kepala desa yang tidak jujur. Kami kesal dengan sikapnya yang tidak terbuka tentang kondisinya.
Kami lalu berpisah, pulang ke tujuan masing-masing. Saya sempat mengambil foto di lokasi lain dan setelahnya langsung meluncur pulang.
Sesampainya di rumah, saya langsung mandi dan keramas lebih lama dari biasanya agar benar-benar bersih. Semua yang saya kenakan dan bawa, termasuk sepatu dan tas kamera, langsung saya cuci.
Hal serupa rupanya juga dilakukan dua teman lain. Bahkan, salah seorangnya kemudian langsung memilih tidur karena tidak ingin terlalu memikirkan kejadian tersebut. ”Stres bisa mengurangi ketahanan tubuh,” alasannya. Benar juga.
Bagi orang lain, tingkah kami mungkin menggelikan dan berlebihan. Namun, bagi kami bertiga, pengalaman itu sungguh membuat ketakutan. Untunglah kemudian kami mendengar kabar sang kepala desa negatif Covid-19.
Baca juga: Mengintip Perayaan Paskah Tanpa Umat
Rupanya, kasus ketidakjujuran semacam ini menjadi isu krusial yang menghambat upaya pencegahan penyebaran Covid-19. Bahkan, ada yang sudah bergejala pun masih tidak mau menuturkan riwayat kontak dan perjalanannya. Suatu sikap yang berisiko menulari orang-orang di sekitarnya.
Ini saya ketahui saat wawancara dengan narasumber dari dinas kesehatan, beberapa hari setelah kejadian. Pernah terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah Tidar, Magelang, seorang pasien dirawat dengan keluhan awal anemia. Kondisinya memburuk dan baru terdiagnosa bronkopneumonia setelah tiga hari dirawat.
Dia kemudian masuk daftar PDP. Namun, tidak lama ia meninggal sebelum sempat dibawa ke ruang isolasi. Baru belakangan, keluarganya mengaku kalau yang bersangkutan belum lama pulang dari daerah zona merah Covid-19.
”Selama tiga hari itu, pasien dirawat di bangsal biasa dan ditangani tenaga medis yang tidak memakai APD (alat pelindung diri),” ujar Pelaksana Tugas Direktur RSUD Tidar Septi Milna Soelistyani, beberapa waktu lalu.
Pasca-kematian pasien tersebut, pihak RSUD Tidar langsung melakukan tes cepat dan PCR kepada semua tenaga medis yang menangani si pasien. Untunglah, semua menunjukkan hasil negatif.
Baca juga: Natal yang Tertunda
Kasus serupa terjadi di Kota Magelang. Satu keluarga kedapatan positif Covid-19. Sang bapak, yang pertama kali terkonfirmasi positif, tidak mau mengungkapkan riwayat kontak dan perjalanannya. Dia malah marah-marah ketika diwajibkan dirawat di rumah sakit. Dinas kesehatan kesulitan memetakan potensi penularan di lingkungan sekitarnya.
Dalam situasi seperti saat ini, kejujuran mungkin pahit untuk diungkapkan, tetapi penting untuk menyelamatkan nyawa banyak orang.
Menghindari cairan saat liputan
Di Yogyakarta, Ferganata mengaku, hari-hari liputannya pada masa awal penyebaran pandemi Covid-19 terasa sangat menyeramkan.
Seusai liputan, ia berusaha mandi sebersih mungkin untuk mengenyahkan potensi paparan droplet di badan atau pakaian. Kata droplet alias butiran ludah tiba-tiba terdengar menakutkan di telinganya. Ini karena droplet yang dikeluarkan penderita Covid-19 menjadi sumber penyebaran penyakit itu.
Standar bekerja di tengah pandemi yang dikeluarkan redaksi, diterjemahkan Indra, panggilannya, untuk sebisa mungkin menghindari liputan di tengah kerumunan orang. Ini agar terhindar dari percikan droplet yang bisa jadi mengandung virus tersebut.
Baca juga: Berjuang Melawan Bisa Ular Mematikan
Saat liputan harian, ia berupaya memotret dari jarak jauh dengan lensa tele 70-200 milimeter yang setiap hari dibawanya. Kegiatan penyemprotan cairan disinfektan di tempat publik, kala itu menjadi agenda yang banyak diburu pewarta foto di masa pandemi, termasuk Indra.
Salah satunya, seperti yang dilaksanakan Polda DIY bersama sejumlah institusi dan organisasi relawan pada 31 Maret 2020. Kegiatan dimulai dari perempatan Tugu Yogyakarta yang pada bagian tengahnya berdiri monumen ikonik.
Keberadaan ikon itu tentu menjadi sasaran utama para pewarta foto karena dapat menggambarkan secara jelas lokasi yang diliput. Setengah jam sebelum jadwal penyemprotan, ia dan sejumlah rekan fotografer dari media nasional ataupun internasional telah bersiaga di lokasi.
Imaji yang menjadi incaran mereka adalah momen kendaraan taktis polisi tengah menyemprotkan cairan disinfektan dengan Tugu Yogyakarta sebagai latar belakang. Indra memilih berjaga di bagian selatan Tugu, kali ini dengan lensa lebar ukuran 24-70 milimeter.
Frame ”aman” pertama berhasil ia peroleh ketika truk besar bercat hitam melintasi perempatan Tugu. Namun, ia merasa gambar itu kurang menggigit. Indra lalu lari, berupaya mendahului truk agar mendapatkan gambar truk dengan latar belakang Tugu dalam satu garis lurus.
Di luar dugaan, truk ternyata berjalan cukup kencang saat menyemprotkan disinfektan. Sementara lari Indra tidak secepat laju truk. Ini membuatnya tidak sempat mengganti lensa lebar dengan lensa tele yang masih tersimpan di dalam tas kamera yang ia kenakan di dada.
Baca juga: Mengejar WNI dari Wuhan
Meski kemudian berhasil mendahului truk, Indra memutuskan tetap bertahan dengan lensa lebar. Ia bertahan dalam jarak terdekat dengan truk yang sekiranya tetap aman dari semburan cairan disinfektan.
Ungkapan If your photographs aren’t good enough, you’re not close enough dari fotografer legendaris Robert Capa otomatis terngiang-ngiang di kepala dalam liputan-liputan seperti ini.
Namun, perkiraannya ternyata meleset. Indra terlambat menghindar ketika truk yang biasa digunakan untuk menghalau demonstran itu mendekat sembari menyemprotkan disinfektan secara konstan. Alhasil, sebagian cairan tersebut hinggap di bagian belakang jaket, celana, dan sepatu saat ia berlari menjauh.
Momen tersebut tertangkap jepretan kamera Hasan Sakri Ghozali dari koran Tribun Jogja. Namun, Indra masih merasa beruntung karena kamera dan lensanya aman dari semprotan. Namun, ia merasa tidak cukup beruntung karena foto yang diperoleh tidak berhasil tayang, baik di Kompas.id maupun koran Kompas edisi keesokan harinya.
Tidak cukup sekali
Pengalaman terkena semprotan cairan disinfektan dari kendaraan taktis ternyata tidak cukup dialaminya sekali. Ia kembali mengalami hal serupa pada 17 April 2020 saat memotret penyemprotan disinfektan di kawasan Blabak, Mungkid, Kabupaten Magelang.
Saat itu ia dalam perjalanan dari Yogyakarta menuju Salatiga. Sesampainya di kawasan Blabak, tepatnya di Jalan Raya Magelang-Yogyakarta, ia melihat ceceran air cukup banyak di jalan raya dan sejumlah petugas kepolisian yang tengah mengatur arus lalu lintas.
Baca juga: Mendadak Natuna
Saat mengikuti jejak ceceran air itu lebih jauh, terlihat truk serupa dengan yang ditemui di Perempatan Tugu Yogyakarta. Truk sedang diparkir di tepi jalan dengan kedua lampu hazard-nya berkedip-kedip.
Indra menghentikan sepeda motor yang dinaiki, 300 meter di depan truk. ”Jangan sampai kena semprot lagi,” katanya membatin.
Ia lalu memasang lensa tele dan menunggu truk mendekat. Truk melaju cukup cepat lalu mulai menyemprotkan cairan.
Rupaya ia kembali salah prediksi. Ia mengira truk akan menyemprotkan cairan dari bagian depan seperti yang terjadi di Yogyakarta. Rupanya truk ini menyemprotkan cairan dari bagian samping bawah truk dengan semburan yang jauh lebih kencang.
Naluri ingin mendapatkan foto mendorongnya tetap memotret. Baru ketika truk berada 100 meter dari posisinya berdiri, Indra menyadari tidak mungkin lagi menghindar dari semprotan meski berlari sekencang-kencangnya.
Ia tetap merasa bersyukur karena berkesempatan merekam salah satu babak penting sejarah kehidupan manusia.
Akhirnya, ia hanya berusaha melompat sebisa mungkin agar semburan tidak mengenai kakinya. Sayang, walaupun sudah berusaha melompat setinggi mungkin, sepatu dan separuh celananya basah kuyup terkena cairan disinfektan.
Akibatnya, Indra harus melanjutkan perjalanan ke Salatiga dalam kondisi separuh badan basah kuyup oleh cairan disinfektan. Rasanya lengket di kulit dan gatal ketika mulai mengering. Kondisi ini ia derita selama satu seperempat jam perjalanan menuju Salatiga.
Baca juga: Menyaksikan Letusan Krakatau dari Ketinggian
Sayangnya, seperti halnya foto hasil liputan penyemprotan disinfektan di Yogyakarta, foto penyemprotan di Blabak ternyata juga tidak berhasil tayang di koran pada keesokan harinya.
Indra mengaku memaklumi karena keterbatasan halaman koran. Terlebih kegiatan penyemprotan disinfektan sudah sering dilakukan di sejumlah daerah. Ia tetap merasa bersyukur karena berkesempatan merekam salah satu babak penting sejarah kehidupan manusia.