Menyoal Bias Penetapan Pasien Negatif Korona di Yogyakarta
Sejumlah pasien dalam pengawasan yang meninggal di Daerah Istimewa Yogyakarta dinyatakan negatif Covid-19 dengan prosedur yang dipertanyakan. Hal ini berpotensi menyebabkan ketidakakuratan data korban terkait Covid-19.
Jejak buram kerancuan data pasien Covid-19 di Daerah Istimewa Yogyakarta salah satunya dapat dirunut dari kasus-kasus pasien dalam pengawasan yang meninggal, tetapi berstatus negatif. Tingginya jumlah pasien kategori ini memunculkan dugaan masalah dalam penetapan status tersebut.
Joko Hastaryo masih mengingat kasus kematian seorang warga berinisial BS asal Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagai Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, dia memegang data pasien meninggal yang diduga terkait penyakit Covid-19.
Salah seorang pasien meninggal yang diduga memiliki kaitan dengan Covid-19 adalah BS. Pria berusia 47 tahun itu meninggal pada 31 Maret 2020. Sebelum meninggal, BS telah dinyatakan sebagai pasien dalam pengawasan (PDP), tetapi belum sempat diambil spesimen dengan metode swab atau usap tenggorokan.
”Almarhum sudah dinyatakan sebagai PDP, tetapi memang belum sempat diambil swab,” kata Joko saat ditemui di Kantor Dinas Kesehatan (Dinkes) Sleman, Jumat (29/5/2020).
Berdasarkan keterangan pihak keluarga, BS dinyatakan sebagai PDP saat memeriksakan diri di sebuah rumah sakit di Yogyakarta pada 28 Maret 2020. Namun, saat itu, ia belum diambil swab dan diminta menjalani isolasi mandiri di rumah. Beberapa hari kemudian, kondisi BS memburuk sehingga dia dibawa ke rumah sakit di Sleman. Namun, ia kemudian meninggal.
Baca juga : Waspada Ancaman Jerat Buah Kebijakan Lunak di Yogya
Karena belum menjalani swab, BS belum bisa dipastikan positif atau negatif Covid-19. Spesimen yang diambil dengan metode swab itulah yang akan dikirim ke laboratorium untuk diperiksa memakai metode reaksi berantai polimerase (PCR). Penentuan seseorang positif atau negatif Covid-19 memang berdasarkan hasil pemeriksaan PCR.
Joko menuturkan, dalam pendataan di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sleman, BS tidak dimasukkan ke dalam daftar pasien negatif Covid-19 karena belum menjalani swab. Karena statusnya belum bisa dipastikan, BS dicatat sebagai salah satu PDP meninggal.
”Kalau dalam pendataan di Kabupaten Sleman, tidak bisa dikatakan bahwa dia (BS) sebagai pasien negatif,” ujarnya. Sebab, lanjut Joko, seorang PDP hanya bisa dinyatakan negatif Covid-19 setelah menjalani swab minimal dua kali dan pemeriksaan kedua spesimennya menunjukkan hasil negatif. Oleh karena itu, PDP yang meninggal, tetapi belum menjalani swab atau baru menjalani swab sekali, tidak bisa dimasukkan dalam daftar pasien negatif Covid-19.
Seorang PDP hanya bisa dinyatakan negatif Covid-19 setelah menjalani swab minimal dua kali dan pemeriksaan kedua spesimennya menunjukkan hasil negatif.
Joko juga berpendapat, meskipun ada diagnosis dokter yang menyatakan bahwa penyebab kematian seorang PDP bukan karena Covid-19, pasien itu tetap tidak bisa dinyatakan negatif Covid-19 jika belum menjalani swab atau baru menjalani swab sekali. Hal ini karena pembuktian positif atau negatif Covid-19 harus dilakukan melalui pemeriksaan PCR terhadap spesimen yang diambil melalui swab.
Untuk PDP meninggal yang belum menjalani swab atau baru menjalani swab sekali, ia menambahkan, petugas harus tetap melakukan penelusuran kontak terhadap orang-orang di sekitar mereka. Hal ini karena PDP dengan kategori semacam itu belum bisa dipastikan positif atau negatif Covid-19.
Baca juga : Jejak Sengkarut Data Korona di Yogyakarta
Namun, jika PDP meninggal yang belum diambil swab atau baru diambil swab sekali itu kemudian dinyatakan negatif Covid-19, penelusuran kontak bisa jadi tidak dilakukan. ”Kalau PDP yang belum dilakukan swab itu dinyatakan negatif, mungkin bahkan tidak perlu tracing (pelacakan). Tetapi kalau statusnya belum jelas, tracing harus tetap dilakukan dengan ketat,” tuturnya.
Panduan penetapan pasien negatif Covid-19 yang dikatakan Joko itu mengacu pada dokumen Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 yang diterbitkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Revisi keempat dokumen itu terbit pada 27 Maret 2020.
Pada Bab V dokumen itu tertulis, ”Hasil tes pemeriksaan negatif pada spesimen tunggal, terutama jika spesimen berasal dari saluran pernapasan atas, belum tentu mengindikasikan ketiadaan infeksi. Oleh karena itu harus dilakukan pengulangan pengambilan dan pengujian spesimen.”
Dari pernyataan itu bisa disimpulkan, seorang pasien yang baru menjalani swab sekali dan hasil pemeriksaannya negatif tidak serta-merta dinyatakan negatif Covid-19. Oleh karena itu, dibutuhkan minimal dua kali swab untuk menetapkan status negatif Covid-19 terhadap seorang pasien.
Standar berbeda
Namun, meski BS tidak dinyatakan sebagai pasien negatif Covid-19 oleh Pemkab Sleman, pengecekan pada data Pemerintah Daerah (Pemda) DIY justru menunjukkan sebaliknya. Dalam data Pemda DIY, BS justru diberi keterangan sebagai pasien negatif Covid-19.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinkes Sleman Novita Krisnaeni menyebut, BS terdata sebagai PDP nomor 289 dalam data milik Pemda DIY. Dalam situs resmi Pemda DIY yang beralamat di Corona.jogjaprov.go.id, PDP 289 memang memiliki ciri yang sama dengan BS, yakni laki-laki usia 47 tahun dan berasal dari Kecamatan Ngaglik, Sleman.
Namun, dalam situs tersebut, PDP 289 diberi keterangan negatif. Informasi ini menunjukkan, dalam data Pemda DIY, BS telah dinyatakan sebagai pasien negatif Covid-19 kendati belum menjalani uji swab. Hal ini juga menunjukkan perbedaan standar penetapan pasien negatif Covid-19 antara Pemkab Sleman dan Pemda DIY.
Penelusuran data lebih jauh juga mengungkap bahwa ”standar ganda” itu tidak hanya terjadi pada kasus BS. Berdasarkan perbandingan data hasil pemeriksaan laboratorium dengan data Pemda DIY, ditemukan sejumlah PDP meninggal di DIY dinyatakan negatif Covid-19 meski belum menjalani dua kali uji swab. Pada periode 15 Maret-15 Mei 2020 ditemukan sedikitnya 12 PDP meninggal di DIY yang masuk kategori itu.
Sebanyak 12 PDP meninggal itu merupakan warga dari tiga kabupaten/kota di DIY, masing-masing 3 orang warga Kota Yogyakarta, 2 warga Kabupaten Bantul, dan 7 lainnya warga Kabupaten Sleman.
Baca juga : Menolak Takluk kepada Pandemi Covid-19
Dari 12 PDP meninggal tersebut, tujuh orang di antaranya baru menjalani sekali swab dan bahkan lima lainnya belum menjalani swab sama sekali. Data itu didapat dari beberapa laboratorium pemeriksa spesimen Covid-19 dan rumah sakit rujukan Covid-19 di DIY.
Meski begitu, dalam data yang dimiliki Pemda DIY, 12 PDP meninggal itu justru diberi keterangan sebagai pasien negatif Covid-19. Data Pemda DIY mengenai kondisi para PDP yang meninggal itu, antara lain, bisa dilihat dari situs Corona.jogjaprov.go.id.
Keberadaan sejumlah PDP meninggal yang dinyatakan negatif Covid-19 tanpa menjalani swab minimal dua kali itu diduga menjadi salah satu faktor penyebab banyaknya jumlah PDP meninggal berstatus negatif Covid-19 di DIY. Bahkan, jumlah PDP meninggal dengan status negatif Covid-19 jauh lebih banyak dibandingkan PDP meninggal dengan status positif Covid-19.
Keberadaan PDP meninggal yang dinyatakan negatif Covid-19 tanpa uji swab minimal dua kali itu diduga menjadi salah satu faktor penyebab banyaknya jumlah PDP meninggal berstatus negatif Covid-19 di DIY.
Dalam periode 15 Maret sampai 4 Juni 2020, jumlah PDP meninggal berstatus positif Covid-19 di DIY sebanyak delapan orang. Sementara pada periode yang sama ada 68 PDP meninggal berstatus negatif Covid-19. Dari waktu ke waktu, jumlah PDP meninggal dengan status negatif Covid-19 itu juga terus meningkat, sedangkan jumlah PDP meninggal dengan status positif Covid-19 tak bertambah signifikan.
Sebagai catatan, 68 orang yang meninggal itu sebelumnya sudah ditetapkan sebagai PDP oleh dokter yang merawat di rumah sakit. Namun, karena kemudian dinyatakan negatif Covid-19, mereka dianggap bukan bagian dari korban terkait Covid-19.
Padahal, sebagaimana terlihat dari beberapa data, penetapan status negatif Covid-19 terhadap sejumlah PDP meninggal itu diduga bermasalah. Dengan kondisi itu, pasien meninggal yang belum menjalani uji swab minimal dua kali sebenarnya lebih tepat dimasukkan ke dalam kategori PDP meninggal.
Kategori pendataan itu dinilai lebih tepat karena bisa menggambarkan lebih akurat jumlah korban selama pandemi Covid-19 di suatu wilayah. Sebab, sesuai pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), orang meninggal dengan gejala klinis diduga Covid-19 harus dimasukkan sebagai korban pandemi (Kompas, 30/4/2020).
Mengacu pada pedoman itu, korban meninggal selama pandemi Covid-19 tidak hanya dihitung dari jumlah pasien positif meninggal. Oleh karena itu, PDP dan orang dalam pemantauan (ODP) yang meninggal juga harus dihitung sebagai korban pandemi.
Baca juga : Perlu Penelusuran Kontak Terkait PDP Meninggal yang Belum Dites
Berdasarkan diagnosis
Juru bicara Pemda DIY untuk penanganan Covid-19, Berty Murtiningsih, mengakui adanya beberapa PDP meninggal di DIY yang baru menjalani sekali swab, tetapi kemudian dinyatakan sebagai pasien negatif Covid-19. Para pasien itu dinyatakan negatif Covid-19 karena hasil pemeriksaan swab sekali yang mereka jalani menunjukkan hasil negatif.
”Ada yang meninggal, tetapi baru swab sekali. Kalau itu (swab sekali) hasilnya negatif, ya, kami negatifkan,” ujar Berty.
Menurut dia, keputusan memasukkan PDP meninggal yang baru swab sekali ke dalam kategori negatif Covid-19 itu juga dilakukan berdasarkan diagnosis dari rumah sakit yang merawat. Jika diagnosis rumah sakit menyatakan sang pasien meninggal bukan karena Covid-19, pasien itu akan dinyatakan negatif Covid-19.
”Kami harus konsultasi ke rumah sakit yang merawat, apakah ini benar-benar bisa dinegatifkan,” kata Berty yang juga Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinkes DIY.
Selain itu, Berty juga mengakui adanya PDP meninggal yang belum menjalani swab, tetapi kemudian dimasukkan dalam kategori pasien negatif Covid-19. Dia menuturkan, PDP meninggal yang belum diambil swab itu dinyatakan negatif Covid-19 jika hasil diagnosis rumah sakit yang merawat menyatakan pasien meninggal bukan karena Covid-19. ”Ada hasil cause of death (penyebab kematian) yang menyatakan bukan Covid-19,” ucapnya.
Meski begitu, Berty memastikan, petugas dinas kesehatan kabupaten/kota di DIY tetap melakukan penelusuran kontak terhadap para PDP meninggal yang belum menjalani swab itu. Penelusuran kontak dilakukan untuk mengetahui orang-orang yang telah melakukan kontak dengan sang pasien. ”Itu untuk memutus mata rantai penularan,” katanya.
Terkait hal ini, Kepala Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) Yogyakarta Irene punya pendapat berbeda. BBTKLPP Yogyakarta merupakan instansi di bawah Kemenkes yang menjalankan tugas pemeriksaan spesimen terduga Covid-19 dari wilayah DIY dan Jawa Tengah.
Irene menyatakan, seseorang yang dicurigai terinfeksi Covid-19 harus menjalani swab minimal dua kali. Sesuai Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 terbitan Kemenkes, swab untuk PDP dan ODP dilakukan pada dua hari berurutan.
Kalau swab-nya baru satu dan hasilnya negatif, belum bisa kami simpulkan. Tetapi kalau hasilnya positif, itu sudah bisa kami simpulkan dia positif Covid-19.
Irene menyebut, jika seorang pasien baru menjalani satu kali swab dan hasil pemeriksaannya negatif, pasien tersebut belum bisa dinyatakan negatif Covid-19. Sebaliknya, jika seseorang baru menjalani sekali swab dan hasil pemeriksaannya positif, dia langsung bisa dinyatakan sebagai pasien positif Covid-19.
”Kalau swab-nya baru satu kali dan hasilnya negatif, belum bisa disimpulkan. Tetapi kalau hasilnya positif, itu sudah bisa disimpulkan dia positif Covid-19,” ujar Irene.
Baca juga : Transparansi Data Covid-19 Semakin Mendesak
Dia menambahkan, seseorang baru bisa dinyatakan negatif Covid-19 apabila sudah menjalani pengambilan spesimen minimal dua kali dan hasil pemeriksaan dua spesimen itu semuanya negatif. ”Kalau swab pertama negatif, harus diperiksa swab kedua. Harus dua-duanya negatif baru bisa dinyatakan negatif Covid-19,” katanya.
Irene mengakui, ada beberapa PDP meninggal di DIY yang baru sempat menjalani swab satu kali. Sebagian di antara mereka bahkan baru diambil swab setelah meninggal atau post mortem. ”Kalau pasien baru kami ambil swab setelah meninggal, hanya satu spesimennya,” tuturnya.
Menurut Irene, spesimen para PDP meninggal yang baru sekali menjalani swab itu tetap diperiksa oleh laboratorium. Jika hasilnya positif, mereka dinyatakan sebagai pasien positif Covid-19.
Namun, apabila pemeriksaan spesimen tunggal itu menunjukkan hasil negatif, PDP meninggal itu tak bisa dimasukkan ke dalam kategori pasien negatif Covid-19. ”Tidak bisa disimpulkan karena baru satu kali swab,” ujar Irene.
Baca juga : Akurasi Data, Instrumen Penting Pengendalian Pandemi Covid-19
Agresif
Pakar biologi molekuler Ahmad Rusdan Handoyo Utomo mengatakan, pengambilan dan pemeriksaan spesimen pasien terduga Covid-19 seharusnya dilakukan secara agresif agar hasil pemeriksaan yang didapatkan benar-benar akurat. Upaya agresif ini dibutuhkan karena virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 tergolong sebagai virus yang tak mudah dideteksi.
”Kalau pasien sudah ditetapkan sebagai PDP, pengambilan swab harus dilakukan seagresif mungkin untuk betul-betul memastikan dia pasien Covid-19 atau bukan. Tentu dibarengi dengan data klinis yang lain,” ungkap Ahmad yang menyelesaikan studi doktoral di University of Texas Health Science Center at San Antonio, Amerika Serikat (AS).
Ahmad memaparkan, virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 hanya bisa dideteksi keberadaannya ketika jumlah virus tersebut cukup banyak di dalam tubuh. Dengan kondisi itu, dia menuturkan, jika seorang PDP baru diambil swab sekali dan pemeriksaannya menunjukkan hasil negatif, pasien itu tak bisa langsung dinyatakan negatif Covid-19.
Bisa jadi pengambilan spesimen dari PDP itu dilakukan ketika jumlah virus SARS-CoV-2 di dalam tubuh belum cukup banyak sehingga keberadaan virus tersebut belum bisa terdeteksi.
Sebab, bisa jadi pengambilan spesimen dari PDP itu dilakukan ketika jumlah virus SARS-CoV-2 di dalam tubuh belum cukup banyak sehingga keberadaan virus tersebut belum bisa terdeteksi. ”Begitu seorang pasien dites dan hasilnya negatif, harus diulang lagi tesnya dalam waktu yang berbeda. Kalau cuma sekali (diambil swab), ya, kurang,” kata Ahmad.
Dia menambahkan, selain jumlah spesimen yang diambil, waktu pengambilan spesimen juga harus diperhatikan. Jika spesimen diambil pada masa awal pasien mengalami gejala, bisa jadi virus SARS-CoV-2 belum bisa terdeteksi karena jumlah virus itu belum cukup banyak.
”Kalau terlalu cepat, misalnya baru dua hari setelah demam atau pilek langsung swab, bisa jadi hasilnya negatif. Makanya, harus ditunggu mungkin seminggu untuk melakukan tes lagi karena kita harus menunggu jumlah virusnya lebih banyak,” tutur Ahmad yang juga meraih beasiswa pascadoktoral di Harvard Medical School, AS.
Baca juga : Titik Kritis Membendung Laju Pandemi di Yogyakarta
Di sisi lain, lokasi pengambilan spesimen juga mesti diperhatikan. Hal ini karena virus SARS-CoV-2 relatif lebih sulit ditemukan di dalam tubuh karena virus itu tersembunyi di saluran pernapasan dan tidak menyebar di dalam darah.
”Virus ini memang susah diambil, beda dengan virus yang ada di darah. Kalau virus yang ada di darah, kan, sebarannya merata. Jadi, virus ini benar-benar harus dicari di mana dia ngumpet, yaitu di rongga pernapasan,” ujarnya.
Oleh karena itu, Ahmad menyebut, pengambilan spesimen dari saluran pernapasan atas, seperti nasofaring dan orofaring, terkadang tak cukup mendeteksi keberadaan virus SARS-CoV-2. Sebab, bisa jadi virus itu telah bergerak menuju saluran pernapasan bawah sehingga tak terdeteksi ketika spesimen hanya diambil dari saluran pernapasan atas.
Menurut dia, pengambilan spesimen dari saluran pernapasan bawah itu bisa dilakukan dengan mengambil sputum atau dahak dari saluran pernapasan bawah. Selain itu, pengambilan spesimen dari saluran pernapasan bagian bawah juga bisa dilakukan dengan teknik bronchoalveolar lavage, yakni memasukkan selang kecil ke dalam rongga pernapasan. ”Namun, prosedur bronchoalveolar lavage pada manusia itu berisiko tinggi,” ujarnya.
Otopsi
Untuk PDP yang meninggal, tetapi belum diambil swab atau baru menjalani swab sekali, Ahmad menjelaskan, seharusnya ada upaya lain untuk memastikan pasien tersebut positif terinfeksi Covid-19 atau tidak. Salah satunya dengan melakukan otopsi pada jenazah pasien.
Ia mencontohkan, pentingnya otopsi itu antara lain ditunjukkan dalam kasus yang terjadi di Oklahoma, AS. Dalam kasus itu, ada seorang pasien dengan riwayat penyakit jantung yang mengalami sesak napas dan kemudian meninggal. Karena ada gejala yang mengarah ke Covid-19, petugas melakukan otopsi untuk mengambil spesimen dari jenazah pasien.
Spesimen itu kemudian diperiksa dengan metode PCR dan hasilnya menunjukkan pasien tersebut positif Covid-19. ”Studi-studi mengenai otopsi terkait Covid-19 ini sudah mulai banyak. Dari studi-studi itu bisa disimpulkan bahwa untuk mengklarifikasi status kematian itu perlu dilakukan otopsi,” katanya.
Ahmad memahami, otopsi terhadap jenazah belum bisa diterima secara luas oleh masyarakat Indonesia. Namun, jika ada dugaan kuat kematian seorang pasien berkaitan dengan Covid-19, otopsi merupakan langkah yang perlu dipertimbangkan. ”Selama ada dugaan yang sangat kuat dan kita perlu memberikan kejelasan, otopsi itu merupakan opsi yang perlu dipertimbangkan," katanya.
Ia juga mengingatkan, kebijakan Pemda DIY yang memasukkan PDP meninggal sebagai pasien negatif Covid-19 meski belum menjalani swab atau baru swab sekali bisa menimbulkan konsekuensi ke depan. Salah satunya, kebijakan semacam itu berpotensi melemahkan penelusuran kontak terhadap pasien terduga Covid-19.
Selain itu, jenazah PDP yang dinyatakan negatif bisa jadi tak akan dimakamkan dengan prosedur Covid-19. Hal ini berpotensi memicu penularan jika PDP yang meninggal itu ternyata telah terinfeksi Covid-19.
Kebijakan semacam itu berpotensi melemahkan penelusuran kontak terhadap pasien terduga Covid-19.
”Harapannya, PDP meninggal yang dinyatakan negatif itu betul-betul negatif. Yang tidak diharapkan adalah ketika pasien yang diklaim negatif itu ternyata positif dan hal itu menimbulkan kluster penularan baru,” ucapnya.
Konsekuensi lain yang bisa muncul, lanjut Ahmad, adalah soal ketidakakuratan data. Jika PDP meninggal yang belum menjalani swab atau baru swab sekali dimasukkan ke dalam data pasien negatif, hal itu berpotensi mengaburkan data jumlah korban meninggal terkait Covid-19 yang sesungguhnya.
Implikasinya, jika data korban yang sesungguhnya tak bisa diketahui, dampak riil pandemi Covid-19 pun menjadi tak bisa dipahami. Jika itu terjadi, kebijakan yang diambil untuk mengatasi pandemi Covid-19 bisa tak tepat sasaran.
Baca juga : Siapkan Normal Baru, DIY Gelar Tes Cepat Acak di Pasar Tradisional
Sejumlah konsekuensi tersebut penting diingatkan karena jumlah PDP meninggal di DIY dengan status negatif Covid-19 tergolong tinggi. Ahmad menyatakan, tingginya jumlah PDP meninggal dengan status negatif Covid-19 itu perlu diteliti lebih lanjut. Hal ini penting untuk memastikan semua pasien meninggal yang dinyatakan negatif itu benar-benar memenuhi syarat untuk dinyatakan negatif Covid-19.
Dia juga menyebut, jika benar-benar dibutuhkan, bisa saja dilakukan otopsi terhadap sebagian jenazah pasien yang dinyatakan negatif tersebut. Namun, jika otopsi tidak dimungkinkan, bisa dilakukan biopsi atau pengambilan jaringan tubuh untuk pemeriksaan laboratorium.
”Ini kalau saya jadi peneliti di sana, saya cari itu. Saya akan lihat pasien-pasien itu gejalanya seperti apa, hasil pemeriksaan laboratoriumnya seperti apa, dan saya tanya seberapa agresif pengambilan sampelnya. Kalau perlu, ya, otopsi atau minimal biopsi paru,” kata Ahmad.
Tanpa pembenahan metode pendataan pasien, kebijakan penanganan Covid-19 di DIY dikhawatirkan seperti menyulut api dalam sekam. Bahaya lebih besar mengancam kapan saja. Sebelum semua pihak makin asyik berwacana soal normal baru, lebih baik rampungkan dulu pekerjaan rumah yang berserak.